| 5 Views

Urgensitas Perhatian Pendidikan Pada Remaja Kini

Oleh : Neng Rohimah
Muslimah Peduli Remaja Islam

Dunia remaja dikenal dengan kelabilan, pencarian jatidiri. Remaja akan tumbuh dengan gemilang ketika  potensi yang ada terarah, terdidik, termotivasi. Sebaliknya generasi bisa hancur ketika yang berpengaruh pada diri generasi sebuah tindakan keliru yang dicekoki secara tidak sadar ke tubuh generasi.

Fakta yang menimpa remaja begitu komplek mulai dari cakupan pendidikan dengan sesuatu yang instan, seperti sekedar mengisi soal ujian saja menyontek, tidak mau ribet harus menghafal, berfikir keras, bagaimana menghadapi ujian hidup yang keras???

Diberitakan, banyak siswa menyontek pada Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) seleksi Nasional berdasarkan Tes (SNBT). Dalam dua hari pertama ujian (23-24 April). Panitia menemukan total 14 kasus total kasus kecurangan oleh para peserta. Ketua Umum Penanggung Jawab SNPMB prof. Eduart Wolok menyampaikan bahwa kecurangan terjadi pada 0.0072 persen dari 196.328 peserta yang hadir pada sesi 1-4. Meski persentasenya tampak kecil, fakta ini tidak bisa diabaikan.

Belum lagi fakta yang melibatkan generasi dalam melakukan kekerasan di dunia pendidikan makin mengkhawatirkan. Trennya terus mengalami kenaikan signifikan sejak 2020. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan tahun ini angkanya mengalami lonjakan hingga 100%, dari 285 kasus pada 2023 menjadi 537 kasus pada 2024.

JPPI pun melaporkan bahwa kasus kekerasan di dunia pendidikan terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Pada 2024, kasus terbanyak terjadi di Jatim dengan 81 kasus, diikuti Jabar (56 kasus) dan Jateng (45 kasus). Adapun jenisnya, kekerasan seksual menjadi yang paling banyak terjadi, yaitu sebanyak 42%, disusul kasus perundungan (bullying) sebanyak 31%.

Kasus kekerasan di dunia pendidikan justru paling banyak terjadi di sekolah, yakni sebanyak 58% kasus. Di luar sekolah seperti di jalan atau lingkungan rumah hanya 27%. Miris, sekolah seharusnya menjadi tempat ternyaman dan teraman bagi peserta didik dalam menuntut ilmu.

Hal ini makin miris saat ditemukan bahwa pelaku kekerasan di dunia pendidikan terbesar dilakukan oleh guru, yakni 43,9%. Peserta didik yang menjadi pelaku kekerasan sebesar 13% dan pelaku dari kalangan lainnya seperti kakak senior dan masyarakat sebanyak 39,8%. Menyedihkan, guru seharusnya menjadi tempat perlindungan terbaik bagi peserta didik dalam upayanya mengejar cita-cita. Untuk itu, kita semestinya mencari dan melihat akar permasalahannya.

Munculnya opini pengiriman siswa nakal ke barak militer yang dicetuskan bapak  gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi menjadi seolah membawa solusi  kenakalan remaja.

Akar persoalan maraknya kekerasan di sekolah tidak bisa dilepaskan dari peta jalan pendidikan negeri ini yang makin sekuler. Ini terlihat dari Peta Jalan Pendidikan Nasional 2020—2035. Pemerintah menghilangkan frasa agama dalam visi pendidikannya. Agama semestinya menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat.

Dampak penerapan pendidikan sekuler di antaranya, pertama, sistem pendidikan sekuler tidak menyandarkan agama sebagai landasan. Sistem pendidikan sekuler hanya bersandar pada akal manusia yang lemah dan terbatas. Dalam penetapan arah dan tujuannya, sistem pendidikan sekuler kerap menimbulkan pertentangan dan perselisihan. Pendidikan sekuler hanya fokus pada pencapaian materi dan mengabaikan ajaran agama.

Buktinya, pelajaran agama hanya dua jam pelajaran per pekan dan itu pun membahas syariat hanya di permukaan saja. Akidah yang menjadi landasan hidup seseorang tidak dibahas secara mendalam. Akibatnya, anak-anak tumbuh tanpa memiliki pondasi akidah yang kuat. Mereka tidak memahami hakikat penciptaan. Tujuan mereka diciptakan dan hidup di dunia, tidak dipahami dengan benar. Inilah faktor yang menyebabkan para peserta didik kehilangan motivasi tertingginya dalam menuntut ilmu. Ini juga menjadi peluang bagi makin besarnya kenakalan anak-anak, termasuk tindak kekerasan.

Kedua, politik pendidikan sekuler yang kapitalistik ini pun menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Materi yang diajarkan di sekolah disesuaikan dengan permintaan pasar. Luaran (output) pendidikan lebih dekat dengan capaian materi dan keuntungan korporasi, bukan kemaslahatan umat. Mereka dididik untuk bisa berkontribusi terhadap kemajuan ekonomi bukan kemajuan peradaban.

Pendidikan sekuler melahirkan peserta didik yang fokus pada materi. Mereka hanya mengejar ijazah/sertifikat untuk kepentingannya diterima di dunia kerja. Orientasi mereka hanya mengejar materi dan kesejahteraan diri tanpa peduli dengan kondisi umat.

Ini pula yang menjadikan pola relasi antara peserta didik dan guru di sekolah hanya sebatas kepentingan materi, bukan relasi antarsesama manusia yang saling membutuhkan. Sekolah tidak lagi menjadi tempat menuntut ilmu yang menyenangkan melainkan tempat menuntut ilmu yang menegangkan. Tidak heran, lingkungan sekolah menjadi tempat terjadinya kasus kekerasan dengan jumlah tertinggi di dunia pendidikan.

Ketiga, politik pendidikan sekuler yang liberalistik menjadikan nilai-nilai Barat lebih banyak diadopsi daripada nilai-nilai agama. Ide kebebasan alias liberalisme ditanamkan kepada anak didik. Atas nama HAM, mereka pun terdidik untuk memperjuangkan kebebasan. Pola sikap liberal inilah yang memunculkan makin tingginya potensi kekerasan seksual dan perundungan.

Peran guru tidak lebih dari sekadar profesi untuk mendulang cuan. Pola ajar para guru kepada peserta didik bagaikan sales dan pembeli. Bukan karena kecintaannya pada ilmu dan murid. Inilah yang memicu terjadinya tindak kekerasan guru pada murid atau sebaliknya. Tidak heran jika data JPPI menyatakan bahwa mayoritas pelaku kekerasan di lingkungan sekolah adalah guru karena para guru itu pun lahir dari sistem pendidikan sekuler.

Upaya Setengah Hati dan Kontraproduktif
Pemerintah memang telah mengupayakan berbagai cara untuk menyelesaikan tindak kekerasan di sekolah. Namun upaya tersebut tampak setengah hati, sebab alih-alih persoalannya selesai, yang terjadi justru angkanya kian bertambah tiap tahunnya. Upaya itu pun tidak menyentuh akar persoalan maraknya kekerasan di lingkungan sekolah.

Upaya tersebut cenderung fokus pada upaya kuratif, tetapi minim dari upaya preventif. Ini tidak ubahnya hanya meredam kebakaran tanpa mencari asal kobaran api. Pemerintah bahkan kerap menetapkan kebijakan yang kontraproduktif dengan upayanya dalam memberantas kekerasan di sekolah.

Ini seperti yang dilakukan Kementerian PPA yang gencar menyosialisasikan kampanye “Dare to Speak Up” agar anak-anak ataupun masyarakat berani melaporkan pada guru atau pada duta antikekerasan di sekolah atau langsung ke Kementerian PPA jika melihat/menjadi korban kekerasan di sekolah. Namun upaya tersebut tidak akan efektif untuk menyelesaikan, karena hanya menyentuh aspek kuratifnya.

Begitu pun yang baru saja dilakukan Kemendikdasmen terkait pembentukan 406 ribu satgas pencegahan dan penanganan kekerasan di lingkungan pendidikan per 27 Desember 2024. Upaya ini diduga tidak akan efektif mencegah terjadinya kekerasan dalam sekolah. Sebabnya, ini bukan pertama kalinya satgas diturunkan untuk menyelesaikan persoalan yang serupa. Belum lagi polemik UU Pidana Anak yang sering kali meloloskan napi anak, padahal sering kali mereka sudah termasuk usia baligh. Hal ini menjadikan anak-anak tidak takut untuk melakukan kejahatan.

Realitas ini makin buruk ketika media seolah-olah begitu bebas memuat konten budaya Barat masuk ke negeri kita tanpa filter. Ini sebagaimana game online yang menyuguhkan banyak adegan kekerasan fisik. Alih-alih dibatasi, negara malah mendukungnya dengan menciptakan cabang baru olahraga e-sport. Demikian halnya tontonan kartun dan anime yang―pada kenyataannya sedang membudayakan kekerasan dalam benak anak-anak―malah banyak ditayangkan dan dibiarkan masuk tanpa sensor.

Negara sekuler kapitalis hanya memosisikan dirinya sebatas regulator sehingga menanggapi persoalan pendidikan hanya dari sudut pandang keuntungan materi bukan kemaslahatan umat. Negara juga kerap abai dalam banyak persoalan. Akibatnya, banyak kebijakan kontraproduktif yang negara tetapkan.

Negara menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan kebutuhan publik yang harus dipenuhi oleh negara. Negara lepas tangan dalam pengelolaannya termasuk pembiayaannya. Komersialisasi di bidang pendidikan adalah keniscayaan. Negara memang memberikan subsidi kepada pendidikan, namun itu hanya sedikit dan tampak sebagai sekadar formalitas.

Arah dan tujuan serta kurikulum pendidikan sekuler hanya akan melahirkan individu yang pragmatis, apolitis, dan individualistis. Mereka hanya berpikir agar dirinya sejahtera secara materiil. Mereka merasa tidak perlu memikirkan umat sebab semua itu tidak mendatangkan keuntungan bagi mereka.

Kebijakan populis yang saat ini yang digadang gadangkan bukan solusi tuntas problem pendidikan.
Dari sini bisa kita melihat bahwa negara abai terhadap pembentukan kepribadian mulia pada generasi. Generasi hanya dipandang sebagai objek cuan dan dipersiapkan untuk menjadi budak korporat yang akan selalu siap mendukung kebijakan yang berpihak pada oligarki. Pendidikan pun tidak ubahnya mesin pencetak generasi sekuler yang lekat dengan budaya rusak, termasuk kekerasan.

Secara umum tujuan pendidikan Islam adalah membangun kepribadian Islam yang mumpuni, baik berupa pola pikir (akliah) maupun pola sikap (nafsiah) pada individu umat. Pendidikan juga berperan mempersiapkan generasi menjadi para ulama dan ahli di berbagai aspek kehidupan. Menurut Islam, orientasi pendidikan adalah membangun peradaban dan mewujudkan kemaslahatan umat.

Dalam sistem pendidikan Islam, generasi dididik dengan pondasi akidah yang mumpuni kuat sehingga mereka memahami benar mengenai tujuan penciptaannya di muka bumi ini, yakni menyembah Allah Swt.. Para peserta didik akan memahami tujuan hidupnya, yakni dalam rangka menjalankan perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya.

Pada titik ini, persoalan kekerasan di sekolah bisa selesai sebab tiap individu memahami hal-hal yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan oleh hamba-Nya. Mereka akan bertindak sesuai dengan syariat. Pola relasi antarindividu adalah taawun yakni tolong-menolong. Tiap orang akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjauhi kemudaratan.

Kurikulumnya yang berbasis akidah Islam dan independen alias terbebas dari kendali oleh berbagai pihak. Hal ini akan melahirkan peserta didik dan juga tenaga pendidik yang menguasai multidisiplin ilmu yang berguna bagi kehidupan umat manusia. Individu yang memiliki kepribadian Islam akan menjadi generasi yang inovatif, menguasai iptek, menjadi problem solver, dan mampu memimpin peradaban. Inilah yang menjadikan pendidikan berkaitan erat dengan pembangunan peradaban.

Politik pendidikan Islam memiliki paradigma bahwa pendidikan adalah hak bagi seluruh rakyat dan negara yang bertanggung jawab terhadap pemenuhannya. Dalil terkait hal tersebut antara lain, dari Abu Musa ra., Nabi saw. bersabda, “Perumpamaan petunjuk dan ilmu yang Allah mengutusku dengannya adalah bagai ghaits (hujan yang bermanfaat) yang mengenai tanah…” (HR Bukhari).

Islam memandang ilmu bagaikan jiwa dalam tubuh manusia. Ilmu juga ibarat air bagi kehidupan. Jelas, pendidikan merupakan perkara yang sangat vital yang harus diperoleh oleh tiap individu. Pendidikan seharusnya masuk ke dalam kebutuhan pokok masyarakat yang harus dijamin penyelenggaraannya oleh negara. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam adalah pemimpin yang akan diminta pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).

Negara bertanggung jawab penuh dalam penyelenggaraan pendidikan, termasuk pembiayaannya. Baitulmal (kas negara) yang kuat akan mampu menjadikan pendidikan gratis dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Ketersediaan sarana dan prasarana akan terwujud di seluruh penjuru negeri. Pendidikan berkualitas pun akan dirasakan oleh seluruh umat.

Terkait dengan tindak kekerasan di sekolah, negara akan sangat peduli dan berupaya menyelesaikannya. Upaya preventifnya adalah dengan memastikan bahwa tujuan pendidikan terealisasi―yakni membentuk kepribadian Islam―sehingga kontrol ketakwaan dari tiap individu akan berfungsi dengan baik.

Selain itu, pemerintah akan menetapkan kebijakan yang mendukung untuk terselesaikannya persoalan tersebut, di antaranya dengan mengontrol konten di media. Seluruh media baik media massa maupun media sosial tidak boleh bermuatan negatif termasuk adegan kekerasan yang menjadi stimulus anak-anak melakukan tindak kekerasan.

Media harus dalam kendali negara sebagai alat syiar Islam. Begitu pula dengan program/aplikasi yang mendatangkan kemudaratan akan dilarang masuk ke dalam negara, seperti game online atau judi online. Teknologi mumpuni yang dimiliki negara akan mampu menghadang penyelewengan teknologi digital.

Upaya kuratifnya adalah dengan memberikan sanksi yang tegas kepada anak sekolah yang usianya sudah mencapai balig. Seseorang yang berusia balig sudah terbebani pelaksanaan hukum syariat secara sempurna pada dirinya sehingga ia wajib bertanggung jawab atas tiap amal perbuatannya. Jika pelaku kekerasan adalah guru atau orang dewasa, tentu hukumannya harus tegas dan bersifat menjerakan.

Demikianlah sistem pendidikan Islam yang hanya akan terwujud dalam naungan sistemnya, yakni sistem kehidupan umat yang berlandaskan Al-Qur’an dan Sunah. Sistem kehidupan yang islami ini akan tegak dengan penerapan syariat Islam urusan manusia, yaitu Khilafah ala minhajin nubuwwah.

Wallahu 'alam bishshawab.


Share this article via

0 Shares

0 Comment