| 7 Views

Ketika Perundungan Menjadi Biasa, Siapa yang Bertanggung Jawab?

Oleh: Tresna Mustikasari
Pegiat Literasi

Barangkali, yang paling mengiris hati dari tragedi kemanusiaan hari ini bukanlah perang, bukan pula bencana alam. Tapi ketika seorang anak mendorong temannya ke dalam sumur hanya karena menolak menenggak tuak—kita perlu bertanya: nilai apa yang sedang diwariskan oleh dunia ini pada generasi mudanya?

Kisah itu bukan fiksi. Terjadi di Bandung, Juni 2025. Seorang bocah menjadi korban kekerasan sekelompok teman sebayanya. Ia dipukul, diludahi, hingga diceburkan ke sumur karena menolak minuman keras (CNN Indonesia, 26/06/2025). Ia bukan korban pertama. Setiap tahun, angka perundungan terus bertambah. Trauma, luka batin, hingga kematian menjadi konsekuensi yang nyata. Legislator pun angkat suara, tapi suara saja tak mampu menyelamatkan anak-anak dari reruntuhan moral bangsa. (RRI, 06/2023)

Mirisnya, pelakunya bukan preman, bukan orang dewasa—melainkan anak-anak. Usia belasan. Di usia seharusnya mereka belajar mencintai ilmu, mereka justru belajar mencederai sesama.

Fenomena Gunung Es di Tengah Bangsa yang Hilang Arah

Banyak ahli menyebut perundungan sebagai iceberg phenomenon. Yang tampak di permukaan hanyalah sebagian kecil dari realita yang jauh lebih besar dan lebih gelap di bawahnya. Ketika satu kasus mencuat, seribu lainnya tenggelam dalam senyap: tak dilaporkan, tak dicatat, tak diselesaikan.

Data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menunjukkan bahwa kasus perundungan terhadap anak terus mengalami peningkatan. Tahun 2019 tercatat 250 kasus, lalu naik menjadi 369 kasus pada 2020, dan melonjak lagi menjadi lebih dari 600 kasus pada 2022–2023. Namun KPAI sendiri mengakui bahwa ini hanya puncak gunung es. Banyak kasus tidak dilaporkan karena tekanan sosial, minimnya pemahaman orang tua, atau ketakutan korban terhadap pelaku. Yang lebih mengkhawatirkan, bentuk perundungan makin ekstrem—dari sekadar verbal, kini merambah fisik brutal, pelecehan seksual, hingga pemaksaan penggunaan zat terlarang. Di Sulawesi Selatan, seorang siswa SD disundut rokok oleh kakak kelasnya; di Malang, seorang pelajar dipukul ramai-ramai lalu direkam dan dijadikan bahan konten. Kejahatan ini bukan lagi kenakalan, tapi tanda bahwa anak-anak sedang meniru kekerasan yang mereka lihat di sekitar—baik dari lingkungan, media, maupun sistem yang membiarkan semua ini terjadi tanpa kontrol yang memadai.

Kapitalisme Sekuler: Pabrik Manusia Tanpa Akhlak

Ketika agama didepak dari kebijakan, maka nilai-nilai kehidupan pun kehilangan arah. Sistem sekuler kapitalistik—yang memisahkan keimanan dari urusan publik—telah melahirkan generasi yang lemah secara spiritual dan liar secara sosial. Tanpa pagar iman, pergaulan menjadi bebas. Tanpa standar halal-haram, anak-anak menganggap kekerasan sebagai konten hiburan. Bahkan ketika anak-anak minum tuak di usia SMP, masyarakat justru menyalahkan orang tua, sekolah, atau polisi—bukan sistem yang melahirkan semua kekacauan itu.

Masyarakat jadi abai, negara pun setengah hati. Padahal, perundungan adalah bentuk kezaliman, dan kezaliman dalam bentuk apa pun adalah haram menurut Islam. Bahkan menyebutkan celaan saja bisa menjadi dosa, apalagi sampai menganiaya fisik dengan minuman haram sebagai pemicunya.

Solusi Islam: Membangun Generasi dari Fondasi Akidah

Berbeda dari sistem sekuler, Islam menyiapkan anak-anak untuk menjadi manusia bertanggung jawab sejak sebelum mereka baligh. Pendidikan dalam Islam tidak netral nilai. Ia berpijak pada akidah Islam, membentuk cara berpikir dan bersikap anak agar terikat pada halal-haram, bukan sekadar baik-buruk menurut manusia.

Islam tidak menunggu anak dewasa baru mendidik mereka. Justru sejak kecil, anak dibiasakan dengan akhlak mulia, rasa malu, tanggung jawab sosial, dan kesadaran bertauhid. Ketika ia mencapai usia baligh—maka ia telah siap menjadi mukallaf, yakni individu yang wajib mematuhi hukum Allah.

Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa sejak seseorang mencapai baligh dan berakal, maka amalnya mulai dicatat dan ia bertanggung jawab di hadapan Allah. Maka dalam Islam, pelaku kekerasan yang sudah baligh tak bisa berlindung di balik status “anak-anak”—ia harus dihukum sesuai syariat. Ini bukan kekejaman, tapi keadilan yang mendidik.

Salah satu kelemahan besar sistem hukum hari ini adalah pendekatannya yang terlalu permisif terhadap pelaku kejahatan anak. Undang-undang Perlindungan Anak melindungi mereka dari sanksi berat hanya karena mereka belum berusia 18 tahun, meski tindakan mereka sudah setara dengan kejahatan orang dewasa. Dalam kasus perundungan Bandung, para pelaku hanya dikenai pembinaan dan pengawasan psikologis—sementara korban mengalami trauma mendalam dan kerusakan fisik. Ini tidak menciptakan efek jera, justru memperkuat budaya impunitas di kalangan pelajar.

Dalam sistem Islam, efek jera bukan hanya retorika, tetapi benar-benar terwujud melalui penerapan hukum yang tegas dan adil. Jika pelaku sudah baligh dan memiliki akal, maka ia adalah mukallaf yang bertanggung jawab secara hukum syar’i. Misalnya, jika seorang remaja terbukti memukul hingga melukai, maka qishas atau denda syar’i diberlakukan sesuai tingkat kerusakan yang ditimbulkan. Jika menyebabkan kematian, maka sanksinya bisa sampai hudud atau diyat, tergantung jenis kesengajaan. Islam memadukan tiga elemen utama: prevention (pencegahan melalui pendidikan akidah), deterrent (efek jera dengan sanksi tegas), dan reformation (taubat dan bimbingan agar tidak mengulangi). Ini jauh lebih adil dan berdampak daripada sekadar hukuman administratif atau pembinaan tanpa kekuatan hukum.

Negara Bertanggung Jawab Menjamin Pendidikan dan Lingkungan

Dalam sistem Islam, negara bukan hanya fasilitator. Ia adalah pengurus dan pelindung masyarakat. Negara wajib menyusun kurikulum pendidikan yang mencetak generasi berkepribadian Islam. Tak hanya di sekolah, tapi juga di keluarga, masyarakat, dan media.

Negara juga wajib menjaga lingkungan dari konten yang merusak akhlak. Tak ada ruang bagi konten kekerasan, pornografi, atau candu entertainment kosong dalam sistem Islam. Sistem informasi didesain untuk mencerdaskan, bukan membodohi. Sistem sanksi diberlakukan secara adil dan efektif untuk menjaga marwah masyarakat.

Saatnya Berani Mengubah Arah

Kasus perundungan demi perundungan bukan sekadar masalah anak-anak. Ia adalah cermin retaknya peradaban. Ketika pelajar menjadi pelaku kekerasan, saat itulah sistem pendidikan sedang dipertanyakan, dan paradigma negara pun harus digugat.

Islam tidak hanya menawarkan solusi kuratif. Ia hadir sebagai paradigma alternatif. Ia membangun manusia sejak dini, menyatukan antara iman, ilmu, dan amal. Maka perubahan bukan dimulai dari revisi undang-undang, tetapi dari mindset peradaban yang kita pilih untuk diwariskan.

Dan Islam, adalah satu-satunya sistem yang memuliakan anak-anak, bukan sekadar dengan kata-kata, tapi dengan sistem hidup yang menumbuhkan mereka sebagai generasi rahmatan lil ‘alamin. 

Wallohu'alam bishowab


Share this article via

8 Shares

0 Comment