| 191 Views

UKT Memanas, Paradigma Pendidikan Tidak Jelas

Oleh : Anne
Pegiat Literasi, Ciparay Kab. Bandung

Masyarakat kini tengah dihebohkan dengan pemberitaan biaya kuliah yang tinggi. Bahkan Kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) ini menuai aksi protes dari para mahasiswa di berbagai wilayah. Mereka menuntut agar pihak rektorat dan pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan UKT dan mencari solusi yang lebih pro rakyat.

Terkait hal ini, Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie merespons gelombang kritik terkait uang kuliah tunggal (UKT) di perguruan tinggi yang kian mahal. Dimana Tjitjik menyebut pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti di negara lain. Sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Sedangkan, mengenai banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. (www.cnbcindonesia.com)

Pendidikan tinggi sesungguhnya memiliki peran strategis untuk kemajuan bangsa. Meski terkategori sebagai program lanjutan (pendidikan tersier), pendidikan di tingkat tinggi menjadi batu loncatan untuk menghasilkan inovasi dan teknologi berbekal ilmu pengetahuan yang mumpuni. Peran krusial yang akhirnya terkesan "sepele" karena paradigma pendidikan tinggi saat ini bergeser pada komersialisasi pendidikan. Pernyataan bahwa pendidikan tinggi sebagai pendidikan tersier adalah konsekuensi dari kapitalisme pendidikan. Sistem pendidikan sekarang ini secara perlahan melepaskan tanggung jawab pemerintah dalam penyelenggaraan pendidikan, dan membebankannya kepada masyarakat. Polemik UKT yang masih terus bergulir hingga hari ini adalah salah satu konsekuensinya.

Ilmu di pendidikan tinggi tidak lagi menarik tatkala negara menjadi "sales pendidikan" berbasis pasar. Sederhananya, ilmu tidak begitu penting, yang terpenting adalah skill dan cara agar terserap di dunia kerja dalam waktu singkat. Inilah bencana kapitalisme bagi kemajuan peradaban. Padahal sejatinya, pendidikan adalah kebutuhan dasar rakyat. Negara berkewajiban menjalankan prosesnya tanpa mengalihkannya kepada pihak mana pun.

Di dalam Kapitalisme, semua menjadi jual beli. Satu-satunya nilai yang diperhitungkan di dalam peradaban Kapitalis adalah nilai ekonomi. Semua dihitung berdasarkan untung rugi materi. Tak ayal, ranah pendidikanpun diukur dengan untung rugi. Maka rugi kalau tak dijual dengan harga tinggi.

Hal ini tentu berbeda dengan konsep Islam yang di masa kejayaannya mampu menjadi role model dalam mewujudkan peradaban tangguh dan menjadi pusat pendidikan yang maju pada masanya. Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan dasar manusia. Atas dasar ini, setiap muslim-termasuk para penguasa yang mengemban amanah pemerintahan, memahami dengan cermat peran strategis pendidikan. Sehingga Negara tidak akan mengalihkan tanggung jawabnya kepada pihak lain. 

Fakta memang, bahwa pendidikan membutuhkan biaya tinggi. Dalam Islam, pendidikan wajib gratis. 
Untuk memenuhi seluruh kebutuhan rakyat, yang mana pendidikan masuk di dalamnya, maka dalam sistem Islam, negara mengandalkan sumber pemasukannya yang ada di baitulmal. Sumber pemasukan itu antara lain kharaj, jizyah, ganimah, 'usr, dan sumber- sumber harta umat seperti sumber daya air, api, dan vegetasi. Adapun jika kas baitulmal kurang, negara dapat mengerahkan rakyatnya yang memiliki kelebihan harta (aghniyah) untuk menginfakkan hartanya. Sebagaimana hari ini pun kita menyaksikan banyak yang tulus menyumbangkan hartanya di bidang pendidikan.

Dalam Islam, mendidik rakyat adalah soal kemanusiaan, bukan jual beli. Karena salah satu tugas negara adalah mendidik rakyatnya, maka tak ada istilah untung rugi. Secara konsep, paradigma Islam jauh berbeda dengan kapitalisme. Karena konsepnya disesuaikan dengan apa yang di syari'at kan oleh Sang Pengatur Kehidupan. Sehingga dipastikan akan membawa keberkahan. Makan itu sudah selayaknya konsep-konsep Islam kembali mengisi ruang diskusi akademik sebagai komparasi atas sistem kapitalisme yang berjalan hari ini. Wallahu a'lam bish shawwab.


Share this article via

83 Shares

0 Comment