| 9 Views
Pelaparan Sistematis Gaza Akan Berakhir Dengan Jihad Dan Khilafah

Oleh: Ummu Abiyu
Di tengah meningkatnya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza yang terkepung, Lembaga Penyiaran Israel (KAN) mengonfirmasi militer Israel telah menghancurkan puluhan ribu paket bantuan. Bantuan yang dihancurkan itu termasuk sejumlah besar makanan dan obat-obatan yang ditujukan bagi penduduk Gaza yang kelaparan.
Mengutip sumber-sumber militer Israel, laporan tersebut mengungkapkan lebih dari 1.000 truk bantuan kemanusiaan sengaja dihancurkan.
Sumber yang sama mengakui, "Masih ada ribuan paket bantuan yang tersisa, dan jika tidak diangkut ke Gaza, kami terpaksa menghancurkannya." Meskipun tekanan internasional yang semakin meningkat untuk memfasilitasi pengiriman bantuan, otoritas Israel mengklaim penghancuran tersebut disebabkan oleh dugaan kegagalan dalam "mekanisme distribusi bantuan" di Gaza.
Langkah ini telah memicu kecaman luas karena terjadi di tengah apa yang disebut oleh para ahli kemanusiaan dan organisasi internasional sebagai kelaparan yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Seluruh penduduk Jalur Gaza—lebih dari 2,3 juta orang—telah terdesak ke ambang batas kelangsungan hidup akibat perang, pengepungan, dan kebijakan kelaparan yang disengaja selama lebih dari 21 bulan. Laporan dari dalam Gaza menggambarkan kenyataan yang semakin suram: orang-orang bertahan hidup hanya dengan pakan ternak, rumput, atau tidak makan apa pun.
Kebiadaban Zionis Yahudi makin meningkat, bahkan tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, seolah mereka bukan manusia, membiarkan krisis kelaparan yang sangat mengerikan. Bahkan nampak kelaparan sebagai cara genosida baru. Gaza, dengan 2 juta jiwa yang terjebak dalam blokade, merasakan kelaparan hebat. Sejak gencatan senjata enam pekan gagal diperpanjang dan Israel memberlakukan blokade penuh pada 2 Maret 2025, truk bantuan hanya diperbolehkan masuk dalam jumlah yang nyaris simbolik. Menjadikan kelaparan sebagai alat genosida adalah cara yang sangat keji.
Yang lebih menyakitkan, para penguasa negeri muslim hanya menjadi penonton genosida di Gaza, padahal rakyat di berbagai negara terus-menerus menyuarakan dukungan pada Palestina dan kecaman terhadap entitas Yahudi. Bukan hanya diam, para penguasa Arab itu justru melakukan pengkhianatan terhadap Gaza, Baitulmaqdis, kaum muslim, dan terhadap Allah dan Rasul-Nya dengan menerima tawaran dari Trump maupun Netanyahu untuk melakukan normalisasi hubungan dengan Zion*s Yahudi melalui Aliansi Abraham.
Badan Internasional semisal Liga Arab dan OKI tidak punya gigi setiap kali menghadapi krisis Gaza. Tidak pernah sekalipun mereka melakukan tindakan yang mampu meruntuhkan kebiadaban Zion*s Yahudi.
Berharap PBB menyelesaikan masalah Gaza juga hanya mimpi. Pasalnya PBB adalah bagian dari pilar kekuatan kolonialisme untuk melanggengkan penjajahan negara-negara imperialis, seperti Amerika dan sekutunya. Kepatuhan negara-negara Barat terhadap PBB hanya berlaku jika sejalan dengan kepentingan mereka. Belum lagi, beberapa negara memiliki hak veto yang digunakan untuk mencegat setiap keputusan PBB—meskipun disepakati oleh mayoritas anggota—jika tidak sejalan dengan kepentingan kolonialisasi mereka. Buktinya sangat nyata, betapa banyak resolusi PBB yang menyoal kejahatan entitas Yahudi diveto oleh Amerika.
Kondisinya tidak jauh berbeda dengan hukum internasional dan lembaga-lembaga internasional yang digagas oleh Barat, semuanya impoten saat bertentangan dengan kepentingan Barat. Mahkamah Internasional (ICJ) telah membuka penyelidikan atas kejahatan perang entitas Yahudi sejak 2021. Jaksa Mahkamah Pidana Internasional (ICC) telah mengajukan surat penangkapan untuk Netanyahu pada 2024 atas genosida yang dilakukan, tetapi hingga kini tidak ada tindak lanjutnya.
Kasus AS kepada Pelapor Khusus PBB dan segala fasilitas, baik permukiman, bantuan makanan, serta layanan darurat kesehatan yang tidak luput dari serangan militer Zion*s membuktikan bahwa PBB di mata Zion*s dan negara adidaya tidak memiliki posisi kuat dan strategis. Hal yang bisa PBB lakukan hanyalah memberikan kecaman dan desakan gencatan senjata yang AS sudah memvetonya berulang kali.
Melihat fakta ini, umat Islam seharusnya tidak lagi menggantungkan nasib Palestina kepada PBB, organisasi global sejenis, atau belas kasih AS dan negara adidaya lainnya. Umat juga harus sadar bahwa untuk menyelamatkan Palestina tidak mungkin dengan berharap pada pemimpin negeri muslim yang tidak melakukan tindakan dan pembelaan apa pun kepada saudara seiman mereka.
Begitu pun dengan solusi dua negara yang didukung negara-negara Barat adalah solusi semu bagi Palestina. Umat semestinya tidak terlena dan termakan narasi solusi yang seolah-olah menjadi jalan damai bagi Palestina dan Zion*s. Umat Islam harus tahu bahwa penderitaan kaum muslim Palestina dimulai dari Deklarasi Balfour pada 2 November 1917 yang dilakukan Inggris. Deklarasi tersebut mengumumkan dukungan serta menjanjikan pembentukan sebuah “rumah nasional” bagi bangsa Yahudi di Palestina, meskipun wilayah tersebut telah dihuni oleh penduduk asli (muslim, Kristen, dan Yahudi non-Zionis) selama berabad-abad.
Setelah Perang Dunia I berakhir, eksodus warga Yahudi Zion*s ke Palestina meningkat pesat didukung AS dan Inggris. Resolusi 181 yang dikeluarkan PBB pada akhir 1947 menambah panjang derita Palestina. Dari sinilah negara Zion*s lahir dan solusi dua negara diusulkan PBB melalui UN Partition Plan pada 1947. Usulan ini bertujuan membagi wilayah Palestina menjadi dua negara, yaitu satu untuk Yahudi Zion*s dan satu untuk penduduk asli Palestina.
Dengan memahami asal usul berdirinya negara Zion*s di tanah Palestina, umat harus sadar bahwa akar masalah Palestina adalah penjajahan Zion*s yang didukung negara-negara Barat. Jadi, bagaimana mungkin kita menyepakati solusi dua negara sebagai bentuk persetujuan damai, sedangkan solusi inilah yang memicu lahirnya entitas benalu bernama Zion*s di tanah Palestina yang notabene sudah menjadi milik kaum muslim ratusan tahun, serta dijaga oleh para khalifah dari masa ke masa.
Selain itu, menyepakati solusi dua negara adalah sama halnya melegitimasi penjajahan, menormalisasi kekejaman, dan mengakui Zion*s sebagai sebuah negara. Sikap ini menyalahi para khalifah terdahulu yang begitu gigih melindungi Palestina dari rongrongan Barat dan penjajah.
Atas dasar itu, kebutuhan akan hadirnya Khilafah sebagai perisai umat harus terus digaungkan oleh mereka yang benar-benar tersadar, yaitu para pengemban dakwah yang memahami bahwa akar masalah Palestina adalah penjajahan dan solusinya hanya dengan jihad dan Khilafah, bukan yang lain.
Para pengemban dakwah harus mengembalikan gelar umat terbaik yang diberikan Allah Taala dengan membangkitkan pemahaman Islam umat secara menyeluruh. Harus diingat bahwa kemunduran kaum muslim mulai tampak tatkala mereka meninggalkan dan meremehkan ajaran-ajaran agama, membiarkan peradaban asing masuk menyerbu negeri-negeri mereka, dan membiarkan paham-paham Barat bercokol dalam benak mereka. Kemunduran itu terjadi pada saat kaum muslim mengabaikan qiyadah fikriyah (kepemimpinan berpikir) Islam.
Upaya ini tidak cukup dilakukan oleh individu pengemban dakwah, tetapi dibutuhkan pergerakan dakwah yang rapi dan kukuh oleh jemaah dakwah ideologis yang berjalan mengikuti metode dakwah Rasulullah ﷺ. Jemaah dakwah ideologis harus hadir di tengah-tengah umat untuk menjelaskan dan memahamkan kerusakan kepemimpinan sistem sekuler kapitalisme, juga pentingnya persatuan dan kesadaran bersama dalam menerapkan sistem Islam secara kafah dalam naungan negara Khilafah.
Selain itu, para pengemban dakwah harus terus menjaga keistikamahan melaksanakan dakwah sesuai metode Rasulullah ﷺ, meningkatkan kemampuannya dalam membangun kesadaran umat, juga menguatkan hubungan dengan Allah agar pertolongan Allah segera datang hingga Palestina dan negeri-negeri muslim lainnya dapat dibebaskan dari penjajahan.
Wallahu a'lam bishshawab.