| 4 Views

Perang 12 Hari Ditutup Gencatan Senjata: Wujud Lemahnya Penguasa Muslim Hari ini

Oleh: Ainul Mizan
Peneliti LANSKAP

Perang Iran vs Israel telah berlangsung selama 12 hari. Perang tersebut dimulai dari serangan Israel ke Iran pada Jumat, 13 Juni 2025. Setelah itu Iran pun membalas pada Sabtu, 14 Juni 2025. Serangan saling membalas tak bisa dielakkan lagi. Sejumlah korban dari kedua belah pihak berjatuhan. Jumlah korban di pihak Iran sebanyak 627 orang meninggal dunia dan lebih dari 4.706 orang luka-luka. Sedangkan korban di pihak Israel menurut Times of Israel sebanyak 28 orang meninggal dunia dan 3000 orang lebih mengalami luka-luka.

Masalah Nuklir Iran

Pada bulan Februari 2025, sebagai gebrakan perdananya setelah terpilih sebagai presiden AS, Trump ingin menghentikan program pengembangan nuklir Iran. Trump memberikan masa tenggat waktu 2 bulan ke depan agar Iran melucuti program nuklirnya. Tentunya ini sejalan dengan semboyannya MAGA (Make America Great Again). AS harus tegas dalam hal ini. Menghentikan nuklirnya atau perang.

Sebenarnya upaya untuk menghentikan laju nuklir Iran sudah dilakukan melalui Kesepakatan 2015. Pada 14 Juli 2015 di Wina terjadi kesepakatan antara Iran dengan 5 negara anggota tetap DK PBB. Program nuklir Iran di bawah pengawasan ketat PBB. Batas pengayaan uranium adalah 3,67 persen. Imbalannya Iran mendapat keringanan sangsi setelah 12 tahun krisis.

Pada tahun 2018, Trump keluar dari kesepakatan tersebut. Trump berkata: "Kami tidak dapat mencegah bom nuklir Iran di bawah struktur perjanjian yang sekarang ini membusuk". AS menerapkan kembali sangsi terhadap Iran.

Iran sendiri keluar dari Kesepakatan 2015 di tahun 2019 sebagai balasan terhadap Trump. Bahkan Iran terus melakukan pengembangan nuklirnya. Pengayaan nuklir Iran mencapai 60 persen. Padahal perjanjian NPT (Non poliferasi nuklir) memberikan batasan 3,67 persen. Untuk menjadi senjata nuklir, Iran membutuhkan pengayaan nuklirnya mencapai 90 persen.

Kini di tahun 2025, AS ingin lebih tegas terkait nuklir Iran. Pasalnya AS mengetahui nuklir Iran ini meresahkan Israel. Pembicaraan nuklir Iran dengan AS hingga 5 putaran. Pada putaran ke-5, perwakilan Iran, Araghchi menyatakan bahwa Iran menuntut pencabutan sangsi ekonomi AS atas Iran dan Iran tidak bisa menghentikan pengayaan uraniumnya. Iran menegaskan kembali bahwa pengayaan uranium Iran digunakan untuk kepentingan sipil seperti yang tertera dalam perjanjian NPT (Non Poliferasi Treaty).

Hanya saja AS melalui perwakilannya, Steve Witkoff, menyatakan bahwa Iran harus menghentikan kegiatan pengayaan uraniumnya. Hal ini sebagaimana yang dituntut oleh Benyamin Netanyahu kepada Donald Trump. Artinya serangan Israel atas Iran di pertengahan Juni 2025 sudah diketahui oleh AS. Dengan kata lain, AS memberikan lampu hijau pada Israel untuk menyerang Iran pada 13 Juni 2025.

Serangan Israel yang dibantu AS dengan mengirim 300 rudal jenis AGM-114 Hellfire. Bahkan AS sudah terlibat cukup jauh dalam perang Iran vs Israel. Pada 22 Juni 2025, AS memborbardir situs nuklir Iran baik di Fordow, Natanz dan Isfahan. AS yakin bila Iran tidak akan bisa mengembalikan nuklirnya hingga beberapa tahun ke depan.

Anehnya pada 23 Juni 2025, Iran melakukan serangan balasan ke pangkalan militer AS di Qatar dan Doha. AS sendiri justru mengucapkan terima kasih ke Iran karena sebelum melakukan serangan balasan, Iran memberitahu AS. Dengan begitu tidak ada korban jiwa dari pihak militer AS yang ada di Qatar maupun Doha. Trump sudah memberikan warning agar personalnya yang ada dipindahkan.

Target AS Menghentikan Program Nuklir Iran

Dalam perang Iran vs Israel, posisi AS jelas. AS pendukung penuh entitas Yahudi. Meskipun Iran juga berada dalam orbit AS. Pengaruh regional Iran di kawasan memang tidak bisa dilepaskan dari peran AS. Ambil contoh saat Bashar Asad berkuasa. Maka Iran mengambil peran berkerja sama dengan Suriah guna menguatkan posisi Asad. Sementara Bashar Asad sendiri adalah boneka AS.

Akan tetapi saat penggulingan Asad di akhir 2024 lalu, posisi AS jelas mengijinkan Israel untuk menghancurkan fasilitas militer Suriah maupun Iran. AS dan Israel ingin memastikan jika Suriah yang baru benar-benar berkomitmen pada demokratisasi yang dikehendaki AS.

Netanyahu berambisi untuk melucuti nuklir Iran. Trump menyetujuinya. Bagi Netanyahu, denuklirisasi Iran seperti yang terjadi di Libya.

Pada 21 Desember 2003, merupakan tanggal pelucutan total nuklir Libya. AS dan Inggris yang langsung mengawasi pelucutan tersebut.

Inilah harga mahal yang harus dibayar rejim Qaddafi. Qaddafi memulai program nuklirnya di tahun 1969. Dicurigai secara diam-diam oleh intelijen AS mengembangkan senjata nuklir dalam periode 1980-1990. Apalagi terungkap keterlibatan Libya dalam pemboman Pesawat Pan AM 103 tahun 1988 di Scotlandia. Aksi tersebut menewaskan 270 orang. Pada 1992, DK PBB menjatuhkan beberapa sangsi ke Libya.

Embargo udara atas pesawat Libya, embargo persenjataan dan embargo ekonomi dikenakan oleh PBB. Sementara AS sejak 1980-an sudah memberikan sangsi ekonomi terhadap Libya. Dasar sangsi ini adalah kecurigaan atas pengembangan senjata nuklir Libya secara diam-diam.

Begitu pula yang akan diterapkan pada Iran. Dengan pendekatan militer, Trump berusaha menghancurkan situs nuklir Iran. Setelah serangannya pada 22 Juni 2025, Trump menyatakan: "Kemampuan nuklir Iran telah berakhir dan mereka tidak akan pernah kembali membangun nuklir mereka. Ia melanjutkan: "Israel tidak akan menyerang Iran...dan gencatan senjata berlaku" (al-Jazeera, 24/06/2025).

Setelah itu Trump kemungkinan akan membahas untuk membantu Iran termasuk mengurangi sangsi ekonomi atas Iran guna mendapatkan dana 30 milyar dollar AS dari Iran yang dipakai untuk pengembangan nuklir bagi kepentingan sipil di Iran. Proposal yang diajukan Trump sejak awal hingga berkembang pada proposal-proposal berikutnya terhadap Iran adalah dengan syarat yang tetap tidak bisa ditawar yakni penghentian total pengayaan uranium oleh Iran.

Gencatan Senjata dan Sangsi Ekonomi terhadap Iran

Setelah mengalami kebuntuan dalam 5 kali putaran pembicaraan nuklir Iran, dengan masa maksimal 60 hari. Pada hari ke-61, AS memberikan lampu hijau agar Israel menyerang Iran. Pada 16 Juni 2025 Trump menegaskan tidak ada tawar menawar terkait program pengayaan uranium Iran. Hingga pada tanggal 22 Juni 2025, AS memborbardir 3 situs nuklir Iran yakni Natanz, Fordow dan Isfahan. Dengan serangan tersebut, Trump memastikan jika Iran tidak akan bisa lagi membangun program nuklirnya. Keesokan harinya pada tanggal 23 Juni 2025, Iran membalas serangan ke pangkalan militer AS di Qatar tanpa menimbulkan jatuh korban sama sekali dari pihak AS. AS berterima kasih kepada Iran. Artinya ini adalah sinyal yang ditunjukkan Iran jika peluang gencatan senjata terbuka. Walhasil pada tanggal 24 Juni 2025, AS mengumumkan gencatan senjata mendadak antara Iran vs Israel.

Setelah mengumumkan gencatan senjata, Trump dalam KTT NATO (25/06) menegaskan bahwa Iran tidak ada lagi keinginan untuk mengembangkan pengayaan uraniumnya dan lebih fokus memulihkan kondisi negerinya dan membangunnya. Artinya terbuka adanya pelonggaran sangsi minyak atas Iran.

Meskipun menurut Dirjen IAEA, Rafael Grossi bahwa pengetahuan dan kapasitas industri Iran tidak bisa dihapus dengan bom. Ia mengingatkan perlunya jaminan jangka panjang terhadap Iran berupa perjanjian diplomatik non poliferasi nuklir yang stabil.

Bila perang Iran vs Israel ini tidak segera dihentikan, tentunya Iran akan melakukan serangan efektif berupa penutupan Selat Hormuz. Sementara keberadaan Selat Hormuz menjadi lalu lintas bagi minyak mentah dunia. 20 juta barel minyak per hari atau 20 persen pasokan minyak dunia melewati selat Hormuz pada 2024. Artinya dengan penutupan Selat Hormuz akan menyebabkan naiknya harga minyak dunia sekitar 120-130 US dollar per barel.

Dampak kenaikan minyak ini akan dirasakan oleh negara-negara teluk Persia dan sekitarnya. Terutama akan dirasakan oleh 8 negara yang boleh impor minyak Iran sejak 2018 yakni China, Korsel, Jepang, Turki, Itali, UEA, Taiwan, dan India. AS sendiri di tahun 2024 mengimpor 7 persen minyak Iran meskipun ini yang terendah sejak 40 tahun terakhir.

Saat terjadinya sangsi impor minyak Iran oleh AS, Arab Saudi siap memasok cadangan minyak yang hilang akibat sangsi atas Iran. Padahal Iran adalah negara OPEC produsen ketiga minyak dunia. Tentunya ini menjadi tekanan psikologis bagi negara arab di sekitarnya bila sangsi ekonomi AS atas Iran sedemikian ketatnya. Akhirnya pemerintah AS berusaha untuk meringankan sangsinya atas Iran. Salah satunya dengan memberi pengecualian negara yang bisa impor minyak Iran. Harga minyak dunia waktu itu turun di level 83 US dollar per barel.

Tidak Melulu Soal Nuklir

Serangan Israel termasuk intervensi AS tidak melulu soal nuklir. Bukan lantas Israel yang kuatir akan ancaman nuklir Iran. Dari sisi AS, tentunya Trump mempunyai kepentingan tersebut meskipun Badan IAEA menyatakan tidak ada bukti akurat klaim persenjataan nuklir Iran.

Hanya saja Israel yang merupakan anak emas AS akan mendapat dukungan penuh. Lobi-lobi Yahudi di parlemen AS begitu kuat. Dana sekitar 500 juta US Dollar per tahun digelontorkan untuk itu.

Sejak 2021 Netanyahu diterpa oleh isu penggulingan dirinya. Netanyahu tersandung kasus korupsi berupa Kasus 1000, Kasus 2000, kasus 3000 dan kasus 4000. Bahkan Netanyahu terhitung sudah 22 kali menghadiri sidang terkait kasus dugaan korupsi yang melibatkan dirinya.

Di samping itu, oposisi dari partai sayap kanan-tengah dan kiri yang berseberangan dengan Partai Likud Netanyahu membentuk koalisi untuk memakzulkan Netanyahu. Mantan PM Israel Ehud Barak sejak 2023 menyuarakan agar rakyat Israel melakukan aksi menyuarakan penggulingan Netanyahu. Bahkan suara penggulingan Netanyahu dibahas dalam rapat parlemen Israel pada Mei 2025. Kalangan oposisi menyodorkan aturan untuk menggulingkan Netanyahu. Dari 120 anggota parlemen, 63 suara menolak dan 59 menerima. Belum lagi kasus kejahatan perang yang dilakukan oleh Netanyahu di Gaza. Sejak Oktober 2023, korban di Gaza mencapai lebih dari 50 ribu yang kebanyakan terdiri dari wanita, anak-anak dan orang tua. Desakan dunia Internasional untuk melakukan gencatan senjata di Gaza begitu kuat.

Hanya saja, di tengah keterjepitan dan ancaman perang saudara di dalam negerinya, Netanyahu melakukan politik Diversionary. Sebuah politik untuk mencari musuh dari luar guna mengamankan posisinya dari suara-suara musuh di dalam negeri. Dengan adanya musuh dari luar, maka semua kalangan di Israel akan menganggap itu sebagai ancaman bersama. Dengan demikian posisi Netanyahu aman. Dengan demikian perang yang dilakukan Israel adalah Face Saving saja.

Sementara di pihak Iran, bisa dikatakan Iran itu hanya membela diri. Artinya Iran membalas serangan sebagai upaya untuk menaikkan posisi tawarnya. Meskipun diberikan sangsi atas minyaknya, Iran masih bisa mengekspor minyak ke negara-negara pesaing ekonomi AS seperti China. Apalagi jika tekanan militer AS melalui Israel diteruskan tentunya Iran menggunakan alternatif untuk menutup Selat Hormuz. Dengan begitu akan ada anggapan internasional bila AS mengusik ekonomi China misalnya.

Jadi dalam perang ini, Iran kalah. Program nuklirnya dilucuti, sementara itu Gaza tidak bisa dibebaskan dari cengkeraman Zionis.

Sebuah Ibroh

Telah nyata kehancuran dan keterpurukan umat ini dikarenakan lemahnya para pemimpin dan penguasa negeri-negeri mereka. Jika Iran memang kuat dan pemberani, mestinya Iran tidak menunggu tatkala Trump memberikan pilihan Menghentikan Program Nuklir atau Perang. Justru Israel menyerang terlebih dulu dan menewaskan 7 perwira Garda Revolusi termasuk ahli nuklirnya. Terlihat sekali jika Iran tidak siap untuk berkonfrontasi terbuka dengan AS.

Di samping itu, syarat pelucutan nuklirnya sebagai pelonggaran sangsi ekonomi dan politik dalam satu dekade ini merupakan kelemahan penguasa Iran. Sikap lemah penguasa Iran, termasuk penguasa muslim lainnya, justru mereka mengambil solusi-solusi yang ditawarkan oleh negara imperialis seperti AS merupakan bencana besar bagi umat Islam. Bukankah Allah Ta'ala sudah memperingatkan dalam firman-Nya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah mengambil teman dekat (penolong) dari selain kalangan kalian. Tidak henti-hentinya mereka menginginkan kesusahan menimpa kalian. Sungguh telah nyata kebencian dari mulut-mulut mereka. Sementara yang ada dalam hati mereka, lebih besar lagi kebenciannya terhadap kalian. Sungguh Kami telah menjelaskan ayat-ayat Kami pada kalian jika kalian termasuk orang-orang yang berakal (Surat Ali Imron ayat 118). 

Di dalam ayat ini Allah telah mengharamkan umat Islam mengambil teman dekat sebagai penolong dari kalangan bangsa-bangsa kafir dan atau kalangan munafik. Keduanya sangat menyukai sesuatu musibah yang menimpa kaum muslimin. Dalam hal ini, adalah kesalahan fatal menjadikan AS sebagai rujukan solusi atas persoalan-persoalan umat Islam termasuk persoalan dunia. AS hanya mementingkan dirinya sendiri. AS adalah penjajah yang mencangkokkan Israel sebagai penyakit dalam tubuh umat Islam.

Saatnya umat Islam untuk bersatu menegakkan kembali Khilafah Islamiyyah. Khilafah dengan tegas akan menolak semua tawaran solusi dari bangsa-bangsa imperialis. Termasuk Khilafah tidak akan tunduk pada perjanjian-perjanjian internasional yang melemahkan umat Islam. Perjanjian non poliferasi nuklir adalah perjanjian haram yang hanya membawa kemudhorotan bagi kaum muslimin.

Begitu pula setelah berhasil melucuti nuklir Iran, AS membiarkan Israel bisa konsentrasi memborbardir Gaza Palestina. Meskipun dalam waktu dekat Trump akan segera mewujudkan gencatan senjata di Gaza. Tentunya hal demikian tidak keluar dari solusi 2 negara yang sejatinya penuh kebusukan dan hanya akan menyengsarakan dan menghinakan kaum muslimin.


Share this article via

0 Shares

0 Comment