| 4 Views

Guru Sejahtera Di Bawah Sistem Kapitalis? Sebuah Mimpi Yang Utopis

Oleh : Haryani, S.Pd.I
Pendidik di Kota Bogor

Guru pahlawan tanpa tanda jasa, sebuah pepatah lama yang sekiranya masih relevan hingga saat ini. Perjuangannya demi mencerdaskan anak bangsa tidak sebanding dengan perhargaan yang diterimanya. Alih-alih hidup sejahtera, yang ada sebaliknya. Ditengah kehidupan yang serba mahal, tentu saja harus dibarengi dengan pendapatan yang signifikan, mampu mencukupi kehidupan dengan layak. Sayangnya dengan nasib guru, saat ini masih banyak yang hidup serba kekurangan, pekerjaan sebagai guru tidaklah menjanjikan, profesinya tidak dihargai sebagaimana pengorbananya.

Saat ini, kesejahteraan guru masih menjadi PR bagi pemerintah daerah dan pusat. Pemenuhan kesejahteraan tentu membutuhkan perhatian yang serius dari pemerintah. Penggajian guru erat dengan ketersediaan sumber dana negara.

Sudah seharusnya pemerintah menjadikan kesejahteraan guru sebagai prioritas utama. Karena guru adalah tulang punggung pendidikan yang mendidik generasi unggul berkualitas. Bagaimana guru bisa fokus mendidik anak didik jika pikiran mereka masih bercabang mencari sampingan misalnya. Apalagi biaya hidup hari ini makin besar. 

Fakta dilapangan betapa kecilnya gaji guru, terutama guru honorer, Di sejumlah daerah di Indonesia, gaji guru honorer masih jauh di bawah standar Upah Minimum Regional (UMR), yakni hanya sekitar Rp300.000 hingga Rp1.000.000 per bulan.

Survei terakhir yang dilakukan pada tahun 2024 dari Dompet Dhuafa dan Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) menyebutkan sebanyak 74,3% guru honorer masih menerima gaji di bawah Rp2 juta per bulan.  Lebih mengejutkan lagi, 20,5% guru honorer hanya menerima upah di bawah Rp500 ribu per bulan. (Dealls.com, 16 April 2025).

Angka yang sangat miris yang diterima seorang duta pendidikan, padahal tugasnya tidak main-main. Ditangannya lahir para pemimpin negeri ini, para dokter, pengusaha, dan lain sebagainya. 

Kebijakan ini lahir karena guru dianggap sama seperti profesi lainnya, sekadar sebagai pekerja. Di sisi lain, negara tidak sepenuhnya mengurusi pendidikan, namun juga menyerahkan kepada pihak swasta. Belum lagi sistem keuangan dalam sistem kapitalisme yang banyak menggantungkan kepada utang, sehingga gaji besar dirasakan membebani negara. Akibatnya banyak guru yang mencari kerja sampingan demi memenuhi kebutuhan kehidupannya sehari-hari.

Walaupun saat ini pemerintah telah berusaha keras untuk mensejahterakan guru melalui berbagai program, seperti pengangkatan PPPK, memberikan bantuan langsung tunai (BLT) pendidikan, sertifikasi guru, dll. Namun hal ini tidaklah serta merta menjadikan guru hidup sejahtera. Karena besaran tunjangan tersebut masih jauh di bawah standar UMR. 

Wajar jika sistem pendidikan saat ini tidak sama seperti dulu, output yang dihasilkan tidak sesuai yang diharapkan, peran guru dipandang sebelah mata, belum lagi pengaruh teknologi komunikasi yang semakin hari semakin canggih, makin menjauhkan peran guru dalam proses mendidik generasi penerus peradaban.

Berbeda dengan sistem pendidikan Islam yang mampu memberikan kesejahteraan kepada guru. Guru dalam Islam sangat dihargai dan dihormati. Guru memiliki peran strategis dalam membina generasi dan memajukan peradaban bangsa.

Negara Islam mampu memberikan gaji tinggi kepada guru karena negara Islam memiliki sumber pemasukan yang beragam dan dalam jumlah besar. Hal ini tak dapat dilepaskan dengan sistem ekonomi Islam yang menentukan  beragam sumber pemasukan, termasuk dari pengelolaan sumber daya alam yang dalam Islam merupakan kepemilikan umum yang dikelola negara.

Sebagai contoh pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, gaji guru ditetapkan sebesar 15 dinar per bulan, setara dengan sekitar Rp 33.870.000,- per bulan, menurut FKIP UAD (Fakultas Keguruan dan  Ilmu Pendidikan Universitas Ahmad Dahlan).

Dengan gaji yang fantastis tersebut tentunya seorang guru akan fokus mendidik generasi tanpa memikirkan pekerjaan sampingan yang lainnya.

Wallahu'alam 


Share this article via

0 Shares

0 Comment