| 349 Views
UU KIA; Solusi Kesejahteraan Ibu Dan Anak?

Oleh : Yulisma
Malang benar nasib anak dan perempuan hari ini. Mereka mengalami diskriminasi dalam sistem sekulerisme-kapitalis yang kian sadis. Jaminan kesejahteraan serta keamanan tidak mereka dapatkan. Hal ini tentu mengakibatkan ibu dan anak harus menanggung resiko berat bahkan sampai pada kekerasan fisik. Pemerintah berusaha menyelesaikan problem anak dan perempuan dengan mensahkan UU KIA (Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak) dalam rapat paripurna. Apakah UU KIA akan mampu menyelesaikan problem anak dan perempuan?
Wakil Ketua Komisi VIII, Rieke Diah Pitaloka mengatakan bahwa UU KIA tidak akan mendiskriminasikan perempuan yang bekerja dan cuti melahirkan selama tiga bulan adalah langkah yang tepat untuk memberikan jaminan kesejahteraan ibu dan anak dalam dunia pekerjaan. ( Tirto.id, 07/06/2024 ). Disebutkan juga bahwa pengesahan RUU KIA menjadi undang-undang merupakan wujud konkret dari komitmen DPR dan pemerintah untuk mensejahterakan ibu dan anak menuju Indonesia emas.
Pemerintah mengatakan bahwa setiap ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling singkat tiga bulan pertama dan paling lama tiga bulan berikutnya apabila terdapat kondisi khusus yang dibuktikan surat keterangan dokter. Ibu yang cuti melahirkan juga berhak mendapatkan upah penuh untuk tiga bulan pertama dan keempat, kemudian 75% dari upah bulan ke-5 dan ke-6. Mereka yang mengambil cuti tidak dapat diberhentikan dari pekerjaannya dan tetap mendapatkan haknya sesuai ketentuan aturan ketenagakerjaan. Selain itu, suami juga berhak atas cuti pendampingan istri pada masa persalinan selama 2 hari dan dapat diberikan paling lama tiga hari berikutnya atau sesuai dengan kesepakatan. ( detikNews, 07/06/2024)
Dari pernyataan di atas, sekilas seperti angin segar bagi para ibu dan ia tetap bisa terus berkarir. Namun secara tidak sadar masyarakat seolah dibutakan dengan kesejahteraan ibu dan anak hanya semata diberikan waktu pemulihan dan pemberian ASI selama tiga sampai enam bulan. Jika ditelusuri dengan cermat, jika alasan tidak sejahteranya Ibu dan anak adalah tidak adanya kebersamaan pada 6 bulan pertama saja, ini berarti para ibu rumah tangga atau ibu yang tidak bekerja saat ini sudah merasakan kesejahteraan. Namun hal in jelas jauh dari harapan.Standar kesejahteraan haruslah jelas terlebih lagi kesejahteraan terhadap wanita dan anak-anak.
Dalam sistem sekuler-kapitalis, wanita yang produktif ialah wanita bekerja yang bisa mengumpulkan harta dan menciptakan kemandirian ekonomi. Padahal ibu yang bekerja akhirnya lalai dalam menjalankan tugas utama yakni sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Wajarlah jika banyak perilaku anak yang menyimpang disebabkan pendidikan di rumah terlewatkan. Pengembangan diri anak diserahkan kepada orang luar ataupun sekolah. Padahal sekolah ataupun pendidikan lainnya hanyalah pelengkap dari didikan orangtua.
Islam sangat menghargai wanita dan menjaga kehormatannya. Ia diberikan seperangkat kewajiban sesuai dengan fitrah kewanitaannya. Allah SWT adalah zat yang telah menciptakan laki-laki dan perempuan tentulah paling mengetahui apakah sesuatu itu layak bagi laki-laki atau perempuan. Oleh karena itu, manusia harus membatasi aktivitasnya sesuai batasan yang sudah disyari’atkan dan tidak melampauinya.
Syari’at telah menetapkan bahwa aktivitas pokok wanita adalah menjadi seorang ibu dan pengatur rumah tangga. Betapapun banyak aktivitas yang harus dilaksanakan, wanita tetap saja harus mengutamakan aktivitas keibuannya. Ibu dan ayah bekerjasama dalam mendidik anak-anaknya menjadi anak yang berbakti dan bertakwa. Mulai dari dalam kandungan hingga baligh harus selalu dalam pantauan kedua orangtua, saling menasehati jika sudah dewasa.
Kesejahteraan ibu bukan hanya dari kebersamaan ayah dalam mendidik anaknya. Begitu juga kesejahteraan anak tidak cukup dengan perhatian penuh kedua orangtua. Banyak sekali faktor pendukung kesejahteraan Ibu dan anak selain dari aspek pengasuhan. Nafkah yang cukup akan memberikan perhatian Ibu pada anak secara penuh. Ibu tidak harus membagi waktu untuk mengasuh dan bekerja demi mencukupi kebutuhan karena biaya hidup yang sudah terpenuhi oleh ayah. Begitu juga gaya hidup Islami yang jauh dari hedonisme. Sistem sekulerisme-kapitalis sebagai sumber gaya hidup hedonisme telah menjangkiti masyarakat terutama pada wanita. Padahal hedonisme bertentangan dengan syari’at Islam.
Islam telah menegaskan pemenuhan nafkah sebagai tanggung jawab laki-laki. Sementara wanita menjalankan tanggungjawabnya sesuai fitrah wanita sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Jika hal ini terlaksana sesuai porsi masing-masing, maka tiada ibu yang harus menanggung beban diluar batas kewajarannya.
Mengembalikan posisi kewajaran wanita dan pria tidak akan didapatkan selain dalam sistem Islam, karena Islam datang dari Sang Maha Pencipta dan Pembuat Aturan. Kesejahteraan ibu dan anak merupakan masalah yang sistemik, maka perubahan sistemlah satu-satunya solusi yang solutif. Khilafah sebagai sistem pemerintahan Islam merupakan suatu keharusan dan kebutuhan mendesak bagi kesejahteraan Ibu dan anak. Menegakkannya kewajiban utama bagi seluruh kaum muslimin. waAllahu a’lam bi ash-showab.