| 66 Views

Standar Hidup yang Layak Tapi Tak Layak

Oleh : Enyrf
Bogor
 
Kira-kira kalau menurut nalar angka 1,02 Juta untuk biaya hidup yang layak dalam satu bulan cukupkah? 
Boro-boro untuk biaya makan saja jauh dari cukup, harga-harga pangan mengalami kenaikan yang luar biasa, belum lagi pengeluaran untuk biaya pendidikan, kesehatan dan lain-lain nya.
 
BPS (Badan Pusat Statistik) merilis standar hidup layak di Indonesia tahun 2024 sebesar1,02juta per bulan. Pertanyaannya darimana angka tersebut didapat? Padahal fakta yang ada dilapangan  tidak mencerminkan hasil survei statistik BPS, jauh dari keadaan yang riil.
 
Padahal patokan hidup layak semestinya menghitung juga beberapa komponen lain, bukan hanya kebutuhan makanan pokok. Komponen itu antara lain biaya untuk pendidikan, akses pada kesehatan, dan pemenuhan makanan yang bernutrisi. 
Karena definisi hidup layak bukan semata-mata jumlah uang yang dihabiskan untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga kondisi yang memungkinkan seseorang meningkatkan kualitas hidupnya lewat pendidikan dan kesehatan yang bermutu.
 
Sungguh data tersebut merupakan kebohongan besar, yang bisa mengelabui jumlah orang miskin yang terlihat seolah-olah semakin sedikit. Tidakkah melihat keadaan dimasyarakat yang sebenarnya? kemiskinan semakin melonjak efek dari perekonomian yang babak belur. 
 
Dari angka yang  dirilis BPS tersebut bisa mempengaruhi  pemerintah mengikuti prinsip standar hidup layak untuk menghitung upah minimum regional. Dan akan dipakai pengusaha sebagai argumen  untuk menekan upah pekerja seminimal mungkin. Dengan begitu akan merugikan kaum buruh dan pastilah kesejahteraan buruh tak akan bisa meningkat. Masyarakat juga akan mengalami hal yang sama.
 
Sungguh sangat dholim, Ketidaksinkronan data standar hidup layak dan kondisi riil di masyarakat ini sungguh berbahaya karena berdampak pada kebijakan dan program pemerintah yang berpeluang salah sasaran gara-gara data yang menyesatkan. Kesejahteraanpun akan  sulit tercapai. 
 
Dalam Kapitalisme kesejahteraan diukur dari pendapatan perkapita, yang akan membuat ukuran bersifat kolektif dan menyamarkan keberadaan individu miskin. Karena itu ukuran berdasarkan angka sejatinya adalah ukuran yang menyesatkan. Termasuk ukuran yang dirilis oleh BPS. 
 
Lain halnya dengan Islam kesejahteraan diukur individu per individu. Dan penguasa wajib mengurusi segala urusan yang menyangkut kebutuhan rakyatnya. 
 
Negara juga akan memakai sistem ekonomi Islam dimana konsep tentang kepemilikan harta akan diberlakukan, dan menetapkan apa saja yang termasuk kepemilikan umum yang wajib dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada swasta atau asing dan hasil pengelolaan ini akan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan rakyat, baik  kebutuhan pokok, sandang, pangan dan papan juga layanan kesehatan dan pendidikan, Dan memang itu adalah menjadi tanggung jawab negara. Dengan begitu masyarakat akan mendapatkan kesejahteraan. 
 
Maka saatnya beralih pada sistem aturan islam karena aturan tersebut berasal dari sang Pencipta. 
Wallahu'alam.

Share this article via

40 Shares

0 Comment