| 290 Views
Represifnya Aparat Bukti Demokrasi Antikritik

Oleh : Raodah Fitriah, S.P
Telah terjadi demonstrasi pada Kamis, 22 Agustus 2024. Demonstrasi dilakukan untuk menolak RUU Pilkada. Ribuan massa aksi terlibat bentrok dengan tim gabungan TNI-POLRI. Terjadi pelemparan batu yang dilakukan oleh massa aksi, kemudian dibalas dengan tembakan gas air mata (kabar24.bisnis.com, 22/08/2024).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Jakarta dan beberapa daerah lainnya. Terjadi puluhan tindakan represif, intimidasi sampai kekerasan. Bahkan tercatat sebelas massa aksi tertangkap dan kena doxing (tempo.co, 25/08/2024).
Tindakan represif aparat penegak hukum ini bukan pertama kalinya terjadi. Banyak yang menilai bahwa menganggap massa aksi sebagai musuh akan selalu berakhir ricuh dan gaduh. Seperti demo yang baru-baru ini terjadi, buah dari peringatan darurat yang beredar di sosial media. Masyarakat yang terdiri dari mahasiswa, akademisi, komika, artis dan yang lainnya tergerak hatinya untuk turun aksi di depan gedung DPR.
Aparat Represif Bukti Demokrasi Antikritik
Direktur Ekskutif Amnesty Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan bahwa tindakan brutal aparat bukan pertama kali terjadi. Seolah tidak mau belajar dari sejarah bahwa penggunaan kekuatan eksesif telah merenggut hak asasi manusia. Mulai dari hak untuk berkumpul hingga hak untuk hidup, tidak disiksa dan diperlakukan tidak manusiawi. Mereka tidak melakukan tindak kriminal, melainkan warga yang ingin mengkritik pejabat dan lembaga negara. Bahkan jika melanggar hukum pun, tidak boleh diperlakukan dengan tindakan brutal.
Usman menambahkan, ini mencerminkan aparat penegak hukum yang anti kritik. Jika ada peserta yang melakukan perobohan pagar Gedung DPR, polisi tidak bisa menggunakan kekuatannya untuk melawan rakyat. Seharusnya kekuatannya hanya digunakan untuk melindungi atau menyelamatkan jiwa, baik jiwa peserta aksi maupun petugas. Kekerasan yang dilakukan aparat sangatlah tidak perlu sehingga tidak ada jiwa yang terancam (amnesty internasional, 22/08/2024).
Salah satu mahasiswa Unibba, Andi Andriana, menjadi korban dari represifnya aparat. Ia terancam kehilangan mata kirinya akibat terkena lemparan batu saat unjuk rasa (kompas.com, 24/08/2024).
Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi tidak memberi wadah bagi rakyat untuk mengkritik dan mengoreksi kinerja pemerintah. Seharusnya negara memberi ruang dialog, menerima utusan dan tidak mengabaikannya. Artinya demonstrasi bukanlah langkah yang tepat untuk menyelesaikan masalah di negara penganut sistem kapitalisme, yang justru hanya mencetak pemerintah yang represif dan anti kritik.
Demokrasi Melahirkan Pemimpin yang Rakus
Pemerintah membatasi ruang gerak masyarakat dan menutup pintu untuk beraspirasi. Bahkan menganggap pendemo sebagai musuh yang bisa mengancam keutuhan negara. Adanya aparat penegak hukum bukan lagi melindungi masyarakat, namun melanggengkan kekuasaannya.
Apapun yang dilakukan hanya mendatangkan segudang keburukan dari secuil kebaikan yang ada. Hal ini memang sesuai dengan asas demokrasi. Manusia lah yang berdaulat penuh atas hukum. Membuat, merevisi bahkan menghapus hukum yang telah disepakati menjadi hal yang lumrah terjadi. Sangatlah wajar jika akhirnya pemerintah berbuat semaunya.
Beginilah sistem kapitalisme. Apapun yang dilakukan berasaskan kepentingan untuk mencari keuntungan. Untung rugi menjadi pertimbangan dan perbuatan dilandasi kemanfaatan. Karena pemimpin hari ini bukan yang berjiwa raa'in atau mengurus rakyat, namun pemimpin yang berjiwa bisnis.
Pemimpin yang rakus dibentuk dari sistem kufur demokrasi yang lahir dari sistem sekularisme. Seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya yang berjudul "Demokrasi Sistem Kufur" bahwa pertama, kedaulatan yang katanya di tangan rakyat hanya fatamorgana semata. Kedua, prinsip kebebasan yang terdiri dari kebebasan berpendapat, kepemilikan, berekspresi dan kebebasan beragama pada faktanya tidak demikian.
Suara rakyat dibungkam dengan sederet aturan dan pasal berlapis yang mengikat dan menakutkan. Begitupun dalam hal kepemilikan, demokrasi membuat manusia boleh memiliki segalanya tanpa batas asal punya cuan. Walaupun itu kekayaan milik umum seperti SDA dan tambang. Demikian juga kebebasan berekspresi dan beragama, manusia bebas mengekspresikan aktivitas seksual seperti L8BT yang melanggar fitrah.
Sudah sangat jelas bahwa demokrasi hanya mengantarkan manusia pada kehancuran dan kekufuran. Tentu saja hal ini berkaitan dengan keimanan. Yaitu menjadikan selain aturan Allah sebagai aturan bagi kehidupan. Padahal Allah telah berfirman yang artinya, "Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (QS. Al-Maidah [5] : 50).
Akuntabilitas Negara Hanya Ada dalam Wujud Khilafah
Dalam sistem Islam ada mekanisme muhasabah lil hukkam, yaitu mengontrol dan mengkritisi para pejabat pemerintahan yang menjadi kewajiban setiap muslim. Selain itu, kaum muslim juga berhak mengadakan syura (konsultasi) dan menyampaikan pendapat yang dilakukan oleh majelis umat.
Majelis umat dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat memiliki hak untuk bicara dan menyampaikan pendapat tanpa takut dibungkam atau dipenjarakan. Bahkan pandangan majelis dalam menilai kinerja khalifah (pemimpin negara Islam) dalam urusan dalam dan luar negeri, keuangan, ketentaraan dan lain-lain sifatnya mengikat.
Kemudian dalam khilafah ada lembaga peradilan tertinggi yaitu mahkamah mazhalim yang berwenang memberhentikan setiap pejabat negara termasuk khalifah jika menyimpang dari kewajibannya. Ada qadhi mazhalim (hakim pengawas pemerintah) yang bertugas mengawasi seluruh pejabat negara dan hukum perundang-undangan agar berjalan sesuai syariat. Lembaga ini mencegah terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak masyarakat, menyelesaikan sengketa antar masyarakat dan aparat pemerintah termasuk khalifah, para pembantunya, para pelayan publik atau siapapun.
Tidak seperti di sistem demokrasi, qadhi mazhalim bebas dari pengaruh politis. Syariat membatasi kekuasaan eksekutif khalifah agar tidak memiliki wewenang memberhentikan seorang qadhi mazhalim dari jabatannya. Oleh karena itu, jika qadhi mazhalim sudah mengeluarkan keputusan, sekalipun bertentangan dengan khalifah, harus tetap ditaati oleh seluruh lembaga negara seperti polisi, tentara maupun lembaga keuangan (baitulmal).
Alhasil dalam sistem Islam tidak akan terjadi kezhaliman dan tidak akan menciptakan keburukan terhadap masyarakat. Tidak ada demo dan aparat penegak hukum yang represif karena aturan yang digunakan bukan aturan buatan manusia, namun aturan dari Allah SWT. Sudah selayaknya bagi kaum muslimin untuk meninggalkan sistem kufur demokrasi yang ada saat ini dan beralih kepada sistem Islam.