| 152 Views

Pinjol untuk Pendidikan, Negara Kok Tega?

Oleh : Wa Ode Vivin
Aktivis Muslimah

Ramai kabar tentang fenomena pinjaman online (pinjol) yang makin meresahkan sampai pada dukungan seorang pejabat Menteri untuk pembayaran kuliah dengan pinjol, sebagai bentuk inovasi teknologi. Memberikan kelonggaran kepada mahasiswa untuk terjebak dalam pusaran pinjol yg menyesatkan.
 
Dilansir dari tirta, Rabu 3/7/2024). Muhadjir sebagai Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga turut mendukung pemanfaatan pinjaman online bagi penggunaan di ruang akademik. Muhadjir meyakini keberadaan pinjol di lingkungan akademik bisa membantu mahasiswa yang mengalami kesulitan membiayai pendidikannya.

Sikap pejabat yang demikian menunjukkan rusaknya paradigma kepemimpinan  dalam sistem sekuler kapiitalisme yang malah mendukung pengusaha pinjol,  yang menghantarkan kerusakan dan merusak masyarakat. 

Apalagi dihujani dengan kemajuan bidang teknologi informasi yang meningkatkan akses masyarakat terhadap berbagai produk layanan keuangan. Dengan pinjol, masyarakat dapat meminjam tanpa perlu bertatap muka secara fisik.

Kemudahan pinjaman online sejatinya hanyalah jebakan. Manis diawal karena berhasil mendapatkan sejumlah uang yang kita butuhkan, di akhir terjebak dengan lilitan bunga. Kalau dikalkulasikan pasti 'bunyi' juga nilainya. 

Hegemoni kapitalisme luar biasa, orang akan di dorong betul untuk menjadi konsumtif. Setiap hari iklan melalui berbagai macam marketplace, ada dari Shopee, Lazada, Bli-bli, Tokopedia dan sebagainya.

Di sisi lain, proses pinjam meminjam yg sangat mudah tanpa ribet sangat memudahkan masyarakat dalam memenuhi 'kebutuhan' hedonisnya. Berbeda dengan prinsip pinjaman dalam Islam, kebaikan atau qardhul hasan. Sepenuhnya berangkat dari niat yang tulus, tidak mengharap sesuatu bahkan tidak boleh untuk memungut sesuatu apapun tambahan dari yang memberikan pinjaman. Sebab Allah Swt. mengharamkan secara tegas praktik riba. Allah Set. berfirman dalam QS. Al Baqarah 275:
اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ فَمَنْ جَاۤءَهٗ مَوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّهٖ فَانْتَهٰى فَلَهٗ مَا سَلَفَۗ وَاَمْرُهٗٓ اِلَى اللّٰهِ ۗ وَمَنْ عَادَ فَاُولٰۤىِٕكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Artinya: "Orang-orang yang memakan riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan setan karena gila. Yang demikian itu karena mereka berkata bahwa jual beli sama dengan riba. Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Barangsiapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barangsiapa mengulangi, maka mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya."

Potret pendidikan kapitalisme adalah materi. Standar halal haram bukan lagi menjadi pertimbangan, terlebih jika usaha itu tidak mendatangkan materi yang banyak. Penguasa yang seharusnya bertanggungjawab atas pendidikan seluruh rakyatnya justru abai. Kurikulum yang dibuat bukan menjadikan seseorang menjadi beriman, berakhlak mulia, dan menjadi pembangun peradaban dunia. Hanya berorientasi materi. 

Lepasnya tanggungjawab negara dalam tercapainya tujuan pendidikan, menjadikan mahasiswa lupa akan orientasi pada pendidikan yang sebenarnya. Sehingga menciptakan rusaknya masyarakat dan pragmatisme akibat kemiskinan pola pikir.

Kondisi ini tentu saja tidak bisa dibiarkan terjadi terus menerus. Mahasiswa sebagai agen of change harus dilepaskan dari kungkungan sistem kapitalisme. Pemuda Muslim harus dikembalikan pada jati dirinya sebagai seorang Muslim dengan ideologi Islam sebagai pemikiran dan arah perjuangannya.

Sesuai fitrahnya, pemuda yang memiliki jiwa kepemimpinan, menjadi garda terdepan dalam mengatasi problem solving, walaupun dalam lingkup negara. 

Oleh karena itu, dalam Islam, pendidikan merupakan tanggung jawab negara. Bersama dengan kebutuhan pokok lainnya yaitu pangan, sandang dan papan serta kesehatan dan keamanan. Dengan kata lain tiga kebutuhan ini wajib tersedia secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara. Termasuk mewujudkan kesejahteraan dan komitmen dalam mewujudkan tujuan Pendidikan khususnya.

Islam menetapkan Negara sebagai teladan umat, pemimpin umat yang senantiasa taat syariat, dan menjadikan pemanfaatan teknologi sesuai dengan tuntunan syariat. 

Oleh karena itu, Negara harus kembali pada perannya, khususnya dalam lingkungan pendidikan, yakni mengembalikan peran mahasiswa untuk menjadi para ilmuwan yang menggunakan ilmunya untuk kemashlahatan umat bukan mencari keuntungan materi. Menjadikan mereka pengubah peradaban dunia ke arah lebih baik. Dan itu hanya bisa tercapai dalam sistem Islam. 

Wallahualam bissawab.


Share this article via

64 Shares

0 Comment