| 212 Views

Pergantian Presiden Harapan Baru atau Hanya Semu

Oleh : Wahyuni M 
Aliansi Penulis Rindu Islam

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara, telah menyelesaikan pemilu. Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden ke-8 dan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-14 di Gedung Nusantara, kompleks parlemen (MPR/DPR/DPD RI), Senayan, Jakarta, pada Minggu (20/10/2024). 

Presiden ke-8 Republik Indonesia Prabowo Subianto menyampaikan pidato perdana selepas dilantik. Di dalam pidatonya, Prabowo menyinggung berbagai hal, mulai dari potensi ancaman dan tantangan ke depan bagi Indonesia, upaya memerangi korupsi, mengajak konsolidasi seluruh komponen bangsa untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, sampai janji untuk terus memperjuangkan kemerdekaan Palestina.

Mengusung visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045. Prabowo-Gibran yakin hanya dengan persatuan, kesatuan, dan kebersamaan bangsa ini bisa mencapai cita-cita Indonesia Emas. 

Selama masa transisi menuju pemerintahan baru, sejumlah kebijakan yang akan diterapkan Prabowo dalam lima tahun ke depan sudah mulai diketahui khalayak. Diantaranya yakni Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka berencana membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) untuk memusatkan pendapatan negara dari sektor pajak, non-pajak, dan bea cukai melalui satu pintu. Program ini bertujuan untuk meningkatkan rasio penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, dari sekitar 10% menjadi 23%.

Pada sektor Pertumbuhan Ekonomi, Prabowo menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8% selama masa pemerintahannya. Prabowo juga berencana menghapus pajak properti yang saat ini totalnya mencapai 16%, yang terdiri dari PPN sebesar 11% dan BPHTB sebesar 5%. Langkah ini diharapkan dapat menjadi katalis positif bagi sektor properti, dengan meningkatkan minat masyarakat untuk membeli rumah tanpa harus membayar DP di awal.

Dengan latar belakang militer dan politisi, pola kepemimpinan Prabowo Subianto diharapkan menonjolkan ketegasan, kemandirian, dan kedisiplinan, dengan komitmen yang kuat terhadap keamanan negara, pembangunan ekonomi, serta kesejahteraan rakyat.

Harapan Baru atau Semu?
Bersikap optimis tentu sah-sah saja. Namun jangan lupa, warisan masalah yang ditinggalkan rezim-rezim sebelumnya, terutama pada era 10 tahun kepemimpinan Jokowi, bukanlah perkara yang bisa diremehkan. Faktanya, tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak dikungkung oleh persoalan krusial. Bahkan, satu sama lain semburat seperti benang kusut yang makin sulit untuk diuraikan.

Bidang politik misalnya, negeri ini fix dikuasai oleh kekuatan modal dari dalam dan dari luar. Para pejabatnya makin kehilangan empati dan menjadikan urusan rakyat sebagai permainan dan jalan menarik keuntungan. Sementara itu, pada bidang ekonomi, negeri ini sudah dalam posisi nyaris tergadai. Utang riba menumpuk hingga lebih dari Rp8.500 triliun. SDA dikuasai asing, hingga negara kehilangan modal untuk menyejahterakan rakyatnya. Rakyat malah digempur dengan tekanan pajak dan “tsunami” PHK yang tidak bisa dikendalikan, juga oleh inflasi yang sulit dikendalikan.

Adapun pada bidang sosial, kehidupan masyarakat makin jauh dari kebaikan. Masalah moral melanda seluruh level generasi dengan kadar kerusakan yang sulit dinalar. Bukannya berkurang, abainya rezim pada masalah moral dan agama, serta pengarusan moderasi beragama arahan barat, membuat kasus-kasus amoralitas makin merajalela dan mendegradasi kualitas generasi yang akan datang. Begitu juga pada bidang hukum dan hankam, negara  pun tampak makin kehilangan kendalinya. Hukum dan perangkatnya makin mandul akibat kekuatan uang. Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah nyaris kehilangan wibawa dan kemandirian. Oleh karenanya, bagaimana bisa muncul optimisme sedemikian, seakan semua persoalan itu bisa diselesaikan semudah membalik telapak tangan?

Semakin Semu dan Ragu
Pergantian pemimpin dianggap sebagian orang sebagai harapan baru adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam anggapannya, keberhasilan berada di dalam individu pemimpin. Padahal selama sistem masih sama, yaitu demokrasi kapitalisme tidak akan mengalami perubahan. Pasalnya sistem yang diterapkan ini adalah sistem yang cacat sejak lahir, sistem rusak dan merusak. Berbagai problem  didunia saat ini, adalah akibat buruk penerapan sistem ini. Sementara keberhasilan dipengaruhi oleh individu dan juga sistem yang digunakan.

Jika kemajuan ekonomi suatu bangsa hanya diukur dari angka pertumbuhan ekonomi dan GDP per kapita, tentu sangat naif dan tidak bisa menggambarkan kenyataan soal kesejahteraan orang per orang. Indikator dan nilai akhir yang dicapai dari perhitungan angka-angka ini hanya merupakan nilai rata-rata yang kesimpulannya bisa menyesatkan. 

Itulah yang terjadi sekarang, yakni ada segelintir orang kaya raya yang bisa menghabiskan makan siang dengan budget jutaan per orang atau memiliki tas seharga miliaran, sedangkan mayoritas masyarakat lainnya terseok-seok mencari uang sekadar untuk menutup rasa lapar.

Tidak heran jika kita melihat susunan kabinet sekarang, wajah pemerintahannya justru makin tidak karuan. Selain superjumbo yang berimplikasi pada membengkaknya anggaran, para menteri, wakil menteri, maupun kepala lembaga yang disiapkan terdiri dari orang-orang yang kredibilitas dan kapabilitasnya sangat dipertanyakan. Selain ada mantan menteri yang justru selama ini bertanggung jawab memunculkan berbagai persoalan, juga ada dari kalangan artis, aktivis ormas, bahkan ustadz moderat dan liberal, hingga eks olahragawan.

Harapan Baru Butuh Perubahan Menyeluruh
Kebaikan hanya akan terwujud dalam naungan sistem shahih, yaitu sistem Islam yang datang dari Zat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah swt.  Kepemimpinan dalam Islam dipahami sebagai amanah besar. Tidak hanya berdimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi. Seorang pemimpin harus siap dimintai pertanggungjawaban atas setiap orang yang ia pimpin. Alhasil dalam Islam, mengukur keberhasilan pengurusan, yakni kesejahteraan rakyat, bukanlah dilihat dari angka rata-rata, melainkan wajib dipastikan per kepala. 

Islam menetapkan tujuh kriteria pemimpin sebuah negara  yakni Islam, laki-laki, baligh, berakal, merdeka, adil, dan memiliki kemampuan. Islam juga menetapkan tugas pemimpin negara adalah  melaksanakan sistem Islam secara kafah dan berperan sebagai raa’in dan  junnah bagi rakyatnya. Dalam mekanisme sistem Islam inilah harapan kehidupan yang lebih baik dan juga keberkahan akan dapat diwujudkan. Hal ini membutuhkan adanya perjuangan untuk mewujudlkannya. Inilah PR kita bersama, yakni menyadarkan umat tentang jati dirinya. Bahwa umat Islam adalah entitas yang mulia dan kemuliaannya hanya ada pada Islam dan sistem kepemimpinannya.


Share this article via

74 Shares

0 Comment