| 296 Views
Pendidikan Tersier, Bukti Nyata Kapitalisasi Pendidikan

Oleh : Ummu Balqis
Aktivis Muslimah Ngaji
Bulan Mei yang identik dengan adanya peringatan hari pendidikan nasional (Hardiknas) di tahun ini bulan ini banyak sekali muncul gelombang protes terhadap dunia pendidikan terkhusus Perguruan Tinggi. Protes ini terkait dengan masalah semakin mahalnya biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT). Ditengah memanasnya mahasiswa dengan kebijakan ini muncul pernyataan dari pihak pemerintah yang disampaikan oleh Sekretaris Direktoral jendral Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek Tjitjik Sri Tjahjandarie.
Tjitjik menyebut kuliah harus dipenuhi oleh mahasiswa agar penyelenggaraan pendidikan itu memenuhi standar mutu. Tjitjik menyebutkan pendidikan tinggi di Indonesia belum bisa gratis seperti negara lain. sebab, bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN) belum bisa menutup semua kebutuhan operasional. Terkait banyaknya protes soal UKT, Tjitjik menyebut pendidikan tinggi merupakan pendidikan tersier atau pilihan yang tidak masuk dalam wajib 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni SD, SMP hingga SMA (CNNIndonesia.com/16/5/2024).
Namun, pernyataan itu seperti kontraproduktif dengan statement Presiden Joko Widodo sebelumnya. Presiden pada Januari 2024 lalu justru mengaku kaget ketika mengetahui rasio penduduk di Indonesia masih sangat rendah yakni di angka 0.45 persen. Bahkan Indonesia tercatat masih kalah dengan negara tetangga seperti Vietnam dan Malaysia. Sedangkan di negara-negara maju sendiri angka rasionya sudah mencapai 9.8 persen. Data yang lebih mengenaskan ada di tingkat perguruan tinggi. Berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk Indonesia usia 15 tahun ke atas yang sudah mendapatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi (RepublikaNews.com/17/5/2024).
Menurut Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengapa hal tersebut terjadi karena biaya yang mahal. Apalagi ditambah dengan pemerintah menganggap Pendidikan Tinggi sebagai kebutuhan tersier. Hal ini menurutnya telah melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah. Menurut, ubai meletakkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah salah besar (MediaIndonesia.com/17/5/2024).
Kapitalisasi Pendidikan
Sulitnya menggratiskan biaya pendidikan tinggi saat ini dikarenakan oleh paradigma kapitalis liberal yang diterapkan ditengah-tengah masyarakat saat ini. Tak terkecuali dengan dunia pendidikan. Paradigma yang lahir atas dasar pemisahan agama dari kehidupan dan memiliki standar materi (keuntungan) dalam kehidupan sehingga apa pun dinilai dari manfaat dan untung-rugi. Wajar dalam lini kehidupan apa pun akan dijadikan ladang bisnis oleh paradigma kapitalis-liberal.
Hal ini pun diterapkan dalam dunia pendidikan sehingga kebijakan pendidikan adalah kebijakan yang pro pada kepentingan pasar industri. Pendidikan menjadi produk pasar yang dapat ditransaksikan dan untuk hal demikian negara tidak akan mungkin mau rugi. Rakyat di sini diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar dengan harga tertentu jika ingin mengakses pendidikan tersebut. Pendidikan menjadi komoditi bisnis sehingga wajar biaya pendidikan makin hari makin menjulang tinggi dan wajar pemerintah menyampaikan bahwa pendidikan adalah kebutuhan tersier. Bagi yang mampu silakan untuk lanjut pendidikan hingga jenjang Pendidikan Tinggi jika tidak maka tidak usah dipaksakan (pilihan).
Pendidikan Tinggi Islam
Islam memberikan perhatian yang besar dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi. Islam memandang bahwa pendidikan adalah kebutuhan primer. Pendidikan Tinggi adalah institusi pencetak calon pemimpin penerus estafet kepemimpinan bangsa serta mencetak para intelektual yang ahli dalam bidangnya yang akan bertanggung jawab atas kemaslahatan umat dari hasil keintelektualannya. Sehingga penting memastikan setiap warga untuk mendapatkan pendidikan hingga perguruan tinggi.
Sistem Islam memiliki seperangkat mekanisme agar kebutuhan akan pendidikan dapat dijangkau oleh seluruh rakyat. Salah satunya adalah dengan kemandirian dalam bidang ekonomi. Sistem Islam memiliki sistem politik ekonomi yang akan mewujudkan kemaslahatan umat sehingga pendidikan pun bisa digratiskan. Salah satunya adalah dengan mengelola sumber daya alam yang melimpah sesuai dengan syariat Islam. Sumber daya alam tidak boleh dimiliki oleh individu dan tidak boleh diserahkan kepada swasta. Hal ini harus dikelola sepenuhnya oleh negara dan hasilnya akan dikembalikan dalam berbagai bentuk termasuk dalam pembiayaan pendidikan.
Hal yang membedakan antara Islam dengan neoliberalisme adalah dalam Islam pembiayaan pendidikan untuk seluruh tingkatan sepenuhnya merupakan tanggung jawab negara. Seluruh pembiayaan pendidikan, baik menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara. Ringkasnya, dalam Islam pendidikan disediakan secara gratis oleh negara. Seperti lembaga pendidikan Nizamiyah yang pernah didirikan pada masa dinasti Abbasiyah dan lain sebagainya, ditopang oleh subsidi yang berasal dari hasil pengumpulan zakat harta yang menjadi salah satu ajaran Islam yang disyari’atkan. Artinya kondisi yang demikian itu memang menuntut untuk mengalokasikan dana khusus dari baitul mal untuk kepentingan pendidikan.
Hal tersebut dikarenakan negara berkewajiban menjamin tiga kebutuhan pokok masyarakat, yaitu pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Berbeda dengan kebutuhan pokok individu, yaitu sandang, pangan, dan papan, di mana negaraw memberi jaminan tak langsung, dalam hal pendidikan, kesehatan, dan keamanan, jaminan negara bersifat langsung. Maksudnya, tiga kebutuhan ini diperoleh secara cuma-cuma sebagai hak rakyat atas negara.
Landasan Hukum atau dasar dari hal ini adalah hadits berikut:
عَنْ ابْنِ عُمَرَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ أَلَا فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Artinya :
“ Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan diintai pertanggung jawaban terhadap apa yang kamu pimpin. Seorang raja adalah pemimpin bagi rakyatnya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang suami adalah pemimpin bagi anggota keluarganya dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadap mereka. Seorang istri adalah pemimpin bagi rumah tangga, suami dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggung jawaban terhadapa apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin bagi harta majikannya, dan dia juga akan dimintai pertanggung jawaban terhadap apa yang dipimpinnya. Dan ingat setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggung jawaban terhadap kepemimpinannya.”
Tidak hanya pembiayaan pendidikan. Pendanaan ini juga akan digunakan Daulah Khilafah untuk menyediakan sarana prasarana yang memadai seperti kelas, observatorium, perpustakaan, laboratorium, asrama, kamar mandi bahkan gaji para pengajar/dosen pun diberikan yang terbaik sehingga pengajar/dosen hidup sejahtera di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah. Sejarah telah membuktikan bahwa peradaban Islam merupakan role model dalam penyelenggaraan sistem pendidikan bagi dunia selama belasan abad. Kuliah di univesitas-universitas Daulah Khilafah menjadi impian para pelajar dunia. Bahkan telah ditemukan dokumen surat dari George II, Raja Inggris, Swedia dan Norwegia yang dikirimkan kepada Khalifah Hisyam III di Andalusia yang mana memohon untuk pangeran dan putri mereka bisa mendapatkan pendidikan di Khilafah.
Walahuallam bishawab.