| 216 Views
Paus Berkunjung ke Mesjid Istiqlal, Misi Politik Apa di Baliknya?

Oleh : Sukey
Aktivis Muslimah Ngaji
Paus Fransiskus tiba di Indonesia pada 3 September 2024, setelah menempuh penerbangan selama 14 jam dari Roma dengan pesawat Italian Airways. Setelah menyelesaikan kunjungannya di Indonesia, ia akan melanjutkan perjalanan ke Papua Nugini , Timor Leste, dan Singapura. Pada Kamis, 5 September 2024, Paus Fransiskus kemudian menghadiri pertemuan dengan tokoh lintas agama di Masjid Istiqlal.
Di sana, ia menandatangani Deklarasi Istiqlal, sebuah dokumen yang menegaskan komitmen terhadap kerukunan antarumat beragama. Setelah itu, Paus akan memimpin misa akbar untuk umat Katolik di Gelora Bung Karno. Sejumlah tokoh lintas agama menyampaikan Deklarasi Istiqlal selama kunjungan Paus di Masjid Istiqlal. Deklarasi ini dibacakan secara bergantian oleh Monsinyur Tri Harsono dari Konferensi Waligereja Indonesia dan Ismail Cawidu dari Masjid Istiqlal (nasional.tempo.co/09/09/2024).
Di balik gempitanya sambutan Paus tersebut, ada beberapa hal yang patut kita cermati, yaitu:
1. Seruan perdamaian dunia dengan hadirnya Paus di Indonesia adalah hal yang aneh. Indonesia dalam kondisi damai. Sebagai pemimpin umat Nasrani sedunia, seharusnya Paus berkeliling mendatangi negara-negara Barat -mayoritas beragama Nasrani- yang membuat kekacauan serta merusak perdamaian dunia.
Palestina adalah salah satu negara mayoritas muslim dan menjadi korban genosida yang dilakukan oleh Zionis Israel dibantu oleh negara-negara Barat. Bahkan penduduk Palestina yang beragama Nasrani pun menjadi korban.
2. Perdamaian dunia tidak akan terwujud ketika kapitalisme masih menjadi sistem yang dipakai Barat dan dunia untuk melakukan hubungan ekonomi antar negara. Kapitalisme yang menciptakan penjajahan gaya baru untuk menguasai negara lain.
3. Penggantian azan magrib dengan running text "menabrak" prinsip toleransi ketika menjadi salah satu yang harus dikedepankan saat menyambut kedatangan Paus. Seharusnya kebiasaan atau tradisi suatu agama di negara tertentu tidak diganggu. Sebagai tamu, selayaknya memperhatikan "di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung".
Sayangnya, sungguh paradoks jika dikatakan Indonesia sangat toleran. Alih-alih mencerminkan negeri yang menghargai keberagaman, nyatanya dilansir dari halaman kumparan.com, 3/9/2024, Kementerian Agama (Kemenag) menyurati Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) untuk mengimbau televisi menampilkan running text saat azan Maghrib khusus saat misa bersama Paus Fransiskus agar penayangan misa tidak terputus oleh azan.
Padahal, siaran azan tidak berpengaruh sama sekali terhadap jalannya misa di Gelora Bung Karno. Apalagi, Indonesia merupakan salah satu negara mayoritas Muslim terbesar di dunia. Toh, selama ini kumandang azan tidak pernah mengganggu aktivitas ibadah umat lain. Hal tersebut justru seolah mencerminkan islamophobia di negeri tempat mayoritas umat Islam bermukim.
Aktivitas tersebut sangat disayangkan dilakukan oleh Muslim. Sebab, hal itu mencerminkan sinkretisme yaitu pencampuran elemen-elemen atau kepercayaan-kepercayaan yang saling bertentangan. Sinkretisme merupakan upaya untuk mencari titik temu persamaan dari semua ajaran. Padahal, setiap agama memiliki ajaran berbeda. Jelas hal ini sangat berbahaya terhadap pemahaman dan akidah umat Islam. Apalagi Masjid Istiqlal merupakan salah satu simbol Islam.
Allah SWT berfirman dalam Al Quran yang artinya:
“Jangan kalian mencampur kebenaran dengan kebatilan. Jangan juga kalian menyembunyikan kebenaran. Padahal kalian menyadarinya” (QS. Al-Baqarah: 42).
Kunjungan Paus jelas sekali mengokohkan nilai-nilai moderasi yang sangat kental di masyarakat. Faktanya, tanpa harus ada paham moderasi beragama pun Islam sangat menjunjung tinggi toleransi. Namun, bukan berarti sikap tersebut membuat kita sebagai muslim kehilangan identitas diri. Sejarah membuktikan bahwa selama dunia dipimpin oleh kepemimpinan Islam yakni Khilafah Islam, Bumi Palestina aman sentosa.
Yang membuat tidak habis pikir lagi. Laman berita cnnindonesia.com, 3/9/2024, menulis bahwa Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar alias Cak Imin menyebut kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia harus menjadi pengingat agar pembangunan di Indonesia senantiasa berkeadilan. Cak Imin meminta agar pemerintah ke depan harus mendasarkan prinsip keadilan dalam setiap pengambilan kebijakan dan tata kelola.
Faktanya, Vatikan tidak mampu menghentikan kekejaman yang terjadi di dunia, termasuk pembantaian Palestina. Bahkan nyaris tanpa kritik terhadap kekejian Zion*s Yahudi dan negara-negara Barat yang mendukung pembantaian ini. Omong kosong saat berbicara perdamaian, tetapi tidak ada upaya signifikan untuk menghentikan kebiadaban terhadap umat Islam, khususnya di Palestina.
Lucu sekali, mengapa para penguasa negeri ini justru mengambil contoh dari pemuka agama dan prinsip ajaran agama lain? Sementara Islam memiliki teladan sempurna dan aturan yang lengkap untuk menjalankan hidup termasuk sistem pemerintahan. Dalam Al Quran surat Al Anbiya ayat 107 Allah SWT berfirman yang artinya:
“Kami tidak mengutus engkau (Nabi Muhammad), kecuali sebagai rahmat bagi seluruh alam”.
Malik bin Anas, berkata;
“Ketika lonceng itu dibunyikan, maka kemarahan Allah ‘Azza wa Jalla memuncak sehingga para Malaikat turun, memegang setiap ujung bumi, dan selalu mengatakan, ‘Katakanlah [wahai Muhammad], Dialah Allah yang Maha Esa.’ (QS Al-Ikhlas: 1) sampai kemarahan Allah itu reda.”
Sejarah juga mencatat dengan tinta emas bahwa peradaban Islam yang maju memiliki peran besar terhadap kehidupan bangsa Eropa dan negeri-negeri lain.
Soal toleransi, sesungguhnya bagi umat Islam bukanlah sesuatu yang asing. “Mengapa? Karena Islam dengan jelas mengajarkan kepada kita [tentang] sikap kita kepada mereka yang beragama selain Islam. Sejarah juga sudah membuktikan hal itu. Saat Islam menguasai dan memimpin suatu wilayah yang di situ terdiri dari berbagai agama.
Ketika Islam berkuasa di Spanyol lebih dari 700 tahun. Para sejarawan menyebutkan sebagai Espanyol in three religion. Artinya, Spanyol dalam tiga agama. Ini karena Islam memimpin hidup damai sejahtera orang-orang Yahudi dan Nasrani. Bahkan, Karen Armstrong menyebut orang Yahudi itu enjoy their golden age under Islam in Andalusia.
Begitu pula dengan negeri Indonesia, toleransi umat Islam terlihat sangat nyata. Lihatlah bagaimana tempat ibadah nonmuslim, baik dalam bentuk gereja, wihara, pura, ataupun candi tetap kokoh berdiri berbilang abad lamanya. Para pemimpin agama mereka bisa datang dengan leluasa. Itu adalah bukti nyata bagaimana toleransi dilakukan umat Islam.
Jika kembali pada konsep Islam rahmatan lil alamin yang sesuai Al-Qur'an dan assunnah. Islam sebagai agama yang berasal dari Allah SWT pencipta alam semesta memiliki solusi tuntas untuk menyelesaikan tidak hanya krisis kemanusiaan dan krisis lingkungan. Bahkan krisis multidimensi yang terjadi saat ini. Khilafah dan jihad merupakan solusi tuntas penjajahan Israel atas Palestina. Khilafah akan mengakhiri penjajahan Kapitalisme AS atas negara-negara di dunia.
Hanya dalam naungan Khilafah, umat manusia dengan keyakinan berbeda bisa hidup damai dan sejahtera. Sayangnya, umat Islam saat ini tidak paham bahwa Islam merupakan ideologi. Mereka seolah tersihir dengan sistem demokrasi kapitalisme. Padahal, sejatinya Islam memiliki konsep hidup yang sempurna dan paripurna. Oleh karena itu, hanya dengan kembali pada aturan Islam saja-lah manusia akan hidup sejahtera dan barokah.
wallahu a'lam bishawab.