| 547 Views

Pajak Naik, Kok Bangga?

Oleh : Saima, S.I.P

Keadaan penguasa hari ini bak lintah darat pengisap darah. Mengumpulkan pendapatan negara di atas penderitaan rakyat. Tidak hanya bumi dan bangunan, bahkan kesehatan, pendidikan, sembako dan seluruh pelayanan jasa telah dikenai pajak.

Perlu kita ketahui bersama bahwa untuk menjaga negara ini agar tercapai semua cita-citanya yakni agar bisa menjadi negara maju, sejahtera dan adil, tidak mungkin dicapai tanpa penerimaan pajak (cnnindonesia.com, 14/07/2024).

Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, merinci, misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp 13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp 400 triliun. Bahkan untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp 1.988,9 triliun.

Pajak, Sumber Tetap Pemasukan Negara

Hukum jika mengabdi hanya pada materi saja akan menimbulkan penderitaan rakyat yang bertubi-tubi. Sekiranya ungkapan seorang jurnalis sekaligus host berita, Najwa Shihab, tersebut benar adanya. Hukum jika dibuat hanya demi mengeruk materi, tidak akan merasa iba saat berulang kali menjadikan rakyat sebagai tumbalnya. Lagi-lagi rakyat dikorbankan. Ibarat membunuh tanpa menyentuh. Pemerintah terus menerus mencekik rakyat dengan kenaikan tarif pajak.

Pegambilan secara paksa melalui pajak ini bukanlah kebetulan. Namun memang diwajibkan secara global oleh sistem kapitalisme. Dalam sistem kapitalisme, pajak adalah sumber pemasukan utama bagi negara. Dengan penarikan pajak ini terlihat bahwa pemerintah abai terhadap rakyatnya.

Alih-alih banyak yang mengatakan pajak yang dipungut dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk infrastruktur, gedung dan lain-lain, namun kenyataannya rakyat harus mengeluarkan biaya yang mahal setiap kali menggunakan fasilitas umum. Artinya slogan pajak kembali ke rakyat hanyalah pemanis bibir saja.

Tipu Muslihat Slogan Pajak

Negara yang menganut ideologi kapitalisme demokrasi dengan akidah sekulernya menjadikan pajak dan utang luar negeri sebagai tulang punggung dan napas bagi perekonomian negara. Oleh sebab itu, pemerintah membabi buta menggalakkan pajak di setiap denyut kehidupan rakyat. Mulai dari rakyat dengan berpenghasilan menengah ke atas hingga masyarakat miskin sekalipun.

Artinya rakyat yang sudah berada dalam kemiskinan akan terus dikenakan pajak. Jangankan bisa menikmati hasil SDA yang melimpah, untuk merasakan jalan yang mulus saja tidak bisa. Sekolah yang layak untuk ditempati pun harus dibiayai sendiri oleh rakyat dengan membayar pajak. Belum lagi jika nantinya pajak tersebut dikorupsi, maka rakyat hanya bisa gigit jari. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Tidak heran jika pemerintah secara aktif mengklaim bahwa “orang bijak taat pajak” atau “bangga membayar pajak”. Slogan ini mendorong agar rakyat rajin membayar pajak. Kamuflase ini hanya ada dalam sistem sekularisme kapitalisme yang berorientasi pada keuntungan semata. Opini-opini semacam itu menjadi opini yang menyesatkan rakyat.

Pajak dalam Sistem Islam

Di dalam Islam, pajak akan diberlakukan apabila dana dalam baitulmal tidak tercukupi dan negara membutuhkan biaya untuk kebutuhan yang mendesak, seperti pembiayaan jihad dan segala hal yang berkaitan dengan kemaslahatan kaum muslimin. Pajak hanya diambil dari masyarakat yang kaya dengan cara yang makruf tanpa pemaksaan.

Pendistribusian baitulmal sendiri adalah untuk mendanai industri militer, pembiayaan para fuqaha, orang-orang miskin dan ibnu sabil serta pegawai, hakim, guru dan lain-lain yang melaksanakan tugasnya untuk kemaslahatan kaum muslim. Selain itu, pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan umat yang keberadaannya sangat dibutuhkan. Jika tidak dibiayai akan mendatangkan bahaya bagi umat. Misal untuk pembiayaan jalan umum, sekolah, universitas, rumah sakit, masjid, pengadaan saluran air minum dan lain-lain. Selanjutnya pembiayaan kondisi darurat (bencana) seperti angin topan, gempa bumi, tanah longsor dan lain-lain.

Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan atau untuk pungutan biaya dalam urusan administrasi negara atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-menyurat, gedung-gedung serta barang dagangan. Jika hal itu dilakukan maka negara telah berbuat zalim dan terlarang karena hal itu masuk dalam pungutan cukai.

Hadits dari Uqbah bin 'Amir bahwa Rasulullah Saw. bersabda, "Tidak akan masuk surga orang yang mengambil pajak (secara zalim)." (HR. Abu Dawud).

Sumber pemasukan negara Islam terdiri dari fai dan kharaj yang meliputi ganimah, anfal, kharaj, tanah-tanah usy'riyah dan tanah yang dimiliki negara. Di bagian kepemilikan umum meliputi minyak dan gas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput.

Selain itu, ada penghasilan zakat yang hanya diwajibkan bagi umat Islam. Zakat dipungut hanya pada harta yang telah mencapai nisab dan haul (satu tahun). Tersusun dari zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah-buahan, serta zakat ternak.

Untuk pos zakat akan ada pos khusus dalam baitulmal agar tidak tercampur dengan harta lainnya. Karena pendistribusian harta zakat juga telah ada pos khususnya, yakni orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, mualaf, untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan (ibnu sabil) sebagaimana yang telah diwajibkan Allah di dalam surat At-Taubah ayat 60.

Demikianlah Islam memberikan solusi terbaik dalam mengurusi rakyat. Negara Islam dapat membawa kemakmuran bagi rakyatnya tanpa tirani pajak yang menindas. Semua ini tentu saja hanya bisa diwujudkan di negara yang  menerapkan hukum Islam secara kaffah.


Share this article via

75 Shares

0 Comment