| 289 Views
Pajak, Memakmurkan Pengusaha Menyengsarakan Rakyat?

Oleh : Yanti
Pegiat Literasi, Ciparay Kab. Bandung.
Orang bijak taat pajak. Kira-kira itulah bunyi salah satu slogan agar wajib pajak mau bayar pajak. Seakan-akan ingin mengatakan kalau kamu orang bijak, pasti taat membayar pajak. Jika sebaliknya, berarti tidak bijaksana. Bahasa itu tampaknya mampu menghipnotis setiap rakyat Indonesia hingga menjadikan mereka sebagai “sapi perah” untuk mendapatkan pemasukan.
Pajak merupakan pendapatan utama dalam sistem saat ini. Semua hal ada pajaknya, mulai dari pajak penghasilan, pajak kendaraan bermotor, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, dan sebagainya. Sebab pajak dianggap memiliki peran penting dalam pembangunan, Pemerintah Garut memberikan penghargaan wajib pajak atas kontribusi penerimaan pajak KPP Pratama Kabupaten Garut 2023. Dalam acara ini, pemerintah daerah Garut memberikan apresiasi bagi setiap wajib pajak yang taat membayar pajak karena membayar pajak artinya sudah ikut serta dalam pembangunan. (Jabarprov, 18-5-2024).
Slogan-slogan ajakan membayar pajak ternyata hanya berlaku untuk rakyat kelas bawah. Pada kenyataannya, demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar, pemerintah justru menghapus beberapa pajak. Kemenkeu telah memutuskan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Salah satunya adalah pajak penghasilan, contohnya Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100% untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN. Pengurangan PPh 100% atau 85% untuk badan yang bergerak di sektor keuangan IKN. Fasilitas fantastis ini berlaku selama 25 atau 20 tahun (Nasional Kontan, 19-05-2024).
Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan bahwa penerimaan pajak pada Maret 2024 ini sedang anjlok. Pada Maret 2024 (kuartal I-2024), pendapatan pajak sebesar Rp.393,9 triliun. Jumlah ini turun 8,8% dari penerimaan pajak Maret 2023, yaitu Rp.431,9 triliun. Ini disebabkan oleh turunnya setoran pajak industri. Penurunan ekonomi global membuat dunia industri sepi permintaan bahkan harga komoditas juga menurun, akibatnya setoran pajak mereka turun. (CNBC Indonesia, 20-04-2024).
Kebijakan pajak yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang menimbang segi untung ruginya. Jika pemerintah menemukan hal yang lebih urgen daripada membayar pajak, langsung memberikan keistimewaan. Sebagaimana di IKN, demi terwujudnya ibu kota negara yang baru, yang dianggap mempunyai keuntungan lebih besar, maka pemerintah memberikan penghargaan pada badan usaha/keuangan untuk tidak membayar pajak penghasilan.
Keputusan ini tentu membuat mayoritas rakyat sakit hati. Bagi rakyat biasa, berbagai macam slogan muncul agar mereka mau membayar pajak tepat waktu. Dilema, jika rakyat tidak membayar, pasti terkena denda. Namun, para pengusaha justru mendapatkan hak istimewa, seperti berbagai macam kemudahan, bahkan pembebasan dari pajak.
Lebih miris lagi, pendapatan pajak di sektor industri yang berkurang ternyata juga membuat pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan. Para pengusaha itu mendapatkan keistimewaan tax amnesty atau intensif lainnya. Ini menunjukkan bahwa negara dapat dengan mudah mengubah aturan agar tetap ada pemasukan atau agar mendapatkan keuntungan yang lainnya, padahal selama ini berbagai macam pajak yang ada justru sangat membebani masyarakat.
Inilah kelemahan sistem ekonomi kapitalisme, sistem yang mengandalkan pajak sebagai pendapatan utama. Hasilnya, rakyat justru mengalami pemerasan untuk membayar pajak. Setiap hal yang ada hubungannya dengan uang, langsung dikenai pajak. Itu dilakukan untuk mengisi APBN.
Indonesia merupakan negara yang mempunyai SDA. Sayangnya, dengan pengelolaan model sistem ekonomi kapitalisme membuat banyak SDA dikuasai asing dan swasta. Kekayaan alam tersebut diprivatisasi. Jadinya, yang mendapatkan keuntungan malah para pengusaha. Negara mendapatkan pemasukan dari SDA itu hanya dari besaran pajak yang dibayarkan.
Kebijakan kapitalisme sangat berbeda dengan Islam. Islam menjadikan akidah sebagai landasan utama pengambil keputusan. Dalam hal mengatur pendapatan, Islam punya aturan sendiri. Sesuai dengan hadis berkaitan dengan pengelolaan SDA, yaitu, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadist di atas adalah segala kekayaan alam, baik padang rumput, hutan, sungai, laut, danau, barang tambang, gas alam, ataupun minyak bumi, adalah milik rakyat. Negara punya kewajiban mengelola dan memberikan hasil pengelolaan kepada rakyat secara merata. Selain dari pengelolaan SDA, Islam juga mengatur pemasukan dari berbagai macam. Misalnya jizyah, fai, kharaj, dan ganimah. Semua pemasukan itu akan membuat kas negara baitulmal terisi dan bisa digunakan negara untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Pajak dalam Islam tidak menjadikannya sebagai pemasukan utama. Pajak hanya akan dipungut ketika negara mengalami kekosongan kas. Itu pun hanya untuk kaum muslim yang kaya. Bagi kaum muslim lainnya atau nonmuslim (kaya atau tidak) tidak akan mendapat kewajiban membayar pajak. Jadi peran negara yang bisa mengelola keuangan dengan baik, sehingga tidak akan membebani rakyatnya.
Wallahu a'lam bish shawwab.