| 120 Views
Miris, Ibu Jual Bayi Karena Himpitan Ekonomi

Oleh : Erna Ummu Azizah
Hati siapa yang tak sedih saat mendengar ada seorang ibu menjual bayinya, darah dagingnya sendiri, yang sudah susah payah dikandungnya selama 9 bulan, dan ia lahirkan dengan penuh perjuangan. Apa sebab? Ternyata himpitan ekonomi membuatnya gelap mata, hingga tega menjual buah hatinya.
Hal ini sebagaimana dikutip dari laman berita online, "Seorang ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya Rp 20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Alasan SS karena kesulitan ekonomi. Sementara si pembeli bayi ini karena memang belum memiliki anak." (Kompas, 14/8/2024)
Kasus ini bukanlah kali pertama, entah berapa banyak kasus serupa terjadi menambah deret panjang fenomena mengiris hati yang seakan tak berkesudahan. Sebelumnya ada kasus seorang ibu di Jakarta Barat yang tega menjual bayinya sendiri Rp 4 juta (DetikNews, 24/2/2024). Juga ibu muda di Batam yang menjual bayinya yang baru berusia 6 bulan Rp 11 juta. (SindoNews, 1/8/2023)
Himpitan ekonomi mengakibatkan hilangnya akal sehat dan matinya naluri keibuan. Terlebih jika supporting system, seperti suami, keluarga, masyarakat maupun negara tidak berjalan. Tentu ini menjadi beban berat bagi para ibu, mereka dilanda dilema, bingung, tak tahu harus bagaimana.
Abainya negara dalam mewujudkan kesejahteraan telah menjadi momok menakutkan terjadinya kemiskinan ekstrim. Apalagi lapangan pekerjaan saat ini begitu sulit, hingga angka pengangguran begitu tinggi, sedangkan hidup harus terus berjalan. Terbayang, bagaimana penderitaan yang harus dilalui. Kecemasan, kelaparan, stres dan depresi.
Buah Pahit Penerapan Sistem Kapitalis
Inilah buah pahit hidup di bawah sistem kapitalis. Semuanya tak ada yang gratis, bahkan pelayanan negara kepada rakyat, tak ubahnya seperti berbisnis. Ada uang, rakyat bisa hidup senang dan tersenyum manis. Tak ada uang, siap-siap hidup malang dan penuh tangis. Sungguh miris!
Padahal kita tahu, negeri ini begitu berlimpah kekayaan alamnya. Mestinya bisa membuat rakyatnya sejahtera. Namun karena aturannya sekuler, yaitu memisahkan agama dari kehidupan, hingga pengelolaan SDA pun diatur dengan akal manusia yang berujung pada ketidakadilan dan kesengsaraan. Akhirnya yang kaya makin kaya, yang miskin kian sengsara.
Di sisi lain, banyaknya kasus ibu yang tega menjualnya bayinya, telah mencerminkan gagalnya sistem pendidikan dalam membentuk pribadi yang bertakwa. Apalagi negeri ini adalah mayoritas penduduknya muslim, yang seharusnya keimanan kepada Allah membuatnya takut berbuat dosa, berusaha bersabar dan tidak mudah putus asa. Namun, sistem pendidikan sekuler telah membuat manusia jauh dari iman dan takwa. Berani menghalalkan segala cara dan tak peduli akan dosa. Na'udzubillah..
Hidup Sejahtera Di Bawah Sistem Islam
Islam menetapkan peran negara sebagai raa’in atau pengurus rakyatnya, yang berkewajiban mewujudkan kesejahteraan bagi setiap warga negaranya. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW, "Imam (khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat), dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR. Bukhari)
Islam memiliki sistem ekonomi yang menyejahterakan rakyat melalui berbagai mekanisme, termasuk menyediakan lapangan pekerjaan. Sehingga para laki-laki, terutama suami/ayah yang di pundaknya ada kewajiban nafkah, mereka akan mudah mendapatkan pekerjaan dan tentunya dengan upah yang layak.
Islam juga memiliki sistem pendidikan yang akan membentuk kepribadian Islam. Sehingga lahirlah generasi yang takwa dan tangguh. Mereka akan menjadi insan-insan mulia yang senantiasa taat dan jauh dari maksiat. Media juga berperan mendukung terbentuknya keimanan, sehingga mencegah terjadinya kasus-kasus kejahatan.
Sungguh, hanya dengan penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh) dalam semua aspek kehidupan, maka akan terwujud kesejahteraan dan keberkahan. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya." (QS. Al-A’raf Ayat 96).
Wallahu a'lam bish-shawab.[]