| 157 Views
Kontroversi UU Pilkada, Patutkah Demokrasi Dipertahankan?

Oleh: Haerini Udin
Pemerhati Masalah Politik
Warganet di media sosial dengan kompak mengunggah gambar yang bertuliskan "Peringatan Darurat" sebagai respon atas putusan Mahkamah Konstitusi yang tengah dijegal oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). (Bisnis.com. 21/8/24).
Baleg DPR menetapkan RUU Pilkada hanya akan mengakomodasi sebagian putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024. DPR direncanakan mengesahkan RUU Pilkada dalam rapat paripurna hari Kamis (22/8/2024), mulai 09.30 WIB. Sebelumnya, putusan MK telah mengubah ambang batas pencalonan calon kepala daerah dan calon wakil kepala daerah. Baleg DPR kemudian dinilai melangkahi konstitusi setelah melihat hasil rapat tentang Rancangan Undang-Undang (RUU) Pilkada. Hal itu kemudian memicu aksi demonstrasi dari sejumlah kalangan (tirto.id. 22/8/24).
Berpikir Keras
Berbagai kalangan masyarakat menilai Baleg DPR telah menghina konstitusi dan tidak menghormati antar lembaga negara. Berbagai kebijakan pemerintah sarat akan kepentingan politik dan hanya berpihak pada kaum elit, tetapi hanya dianggap sebagai ancaman demokrasi. Semua kecurangan yang dilakukan pejabat negara masih dianggap sebagai dinamika politik dalam demokrasi.
Dengan segala kekacauan sistem yang telah merenggut kemerdekaan hakiki, masyarakat seharusnya dapat berpikir, benarkah demokrasi untuk rakyat?
Demokrasi Sistem Gagal
Secara teori, demokrasi adalah sebuah sistem pemerintahan yang dilakukan oleh rakyat, dari rakyat dan untuk rakyat. Namun, pada faktanya, para wakil rakyat bukan dari rakyat tapi dari partai, oleh partai, dimana anggota legislatif yang dipilih oleh rakyat sebagai wakil (DPR/DPRD) adalah kader-kader partai dan partai politik pastinya hanya akan mengusung caleg yang mau tunduk dan patuh kepada visi, misi, dan kepentingan partai bukan kepentingan rakyat.
Dalam demokrasi, kekuasaan legislatif (membuat dan menetapkan hukum) berada di tangan wakil-wakil rakyat. Anggota dewan diberikan kesempatan untuk membuat aturan dan hukum. Mereka yang berkuasa tentu saja akan menggunakan kekuasaannya untuk memenuhi kepentingan diri, partai, dan oligarki. Jadi, semboyan "untuk rakyat" itu utopis. Mereka masuk senayan hanya untuk merevisi, intervensi, dan membuat aturan hukum agar sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan kroninya.
Dalam sistem demokrasi, politik adalah panggung yang sangat mahal. Untuk memenangkan pemilu, para caleg membutuhkan modal yang sangat besar. Sementara, demokrasi membuka aliran cuan dari para pengusaha kepada calon-calon pemimpin. Ini memungkinkan terjadinya hubungan simbiosis mutualisme, hubungan yang menguntungkan antara penguasa dan pengusaha. Para pengusaha memberikan aliran dana untuk membiayai kampanye dan manuver politik. Sebagai "tanda terima kasih" para penguasa akan memuluskan dan melindungi urusan bisnis para pengusaha.
Inilah wajah demokrasi yang sebenarnya. Jadi, semua kerusakan sistematik yang terjadi hari ini sebenarnya bukan hanya karena politikus tertentu tetapi karena sistem demokrasi itulah yang memungkinkan dan memfasilitasi kerusakan yang terjadi.
Untuk itu, dengan berbagai ilusi yang melekat pada demokrasi, sudah selayaknya kita menyerukan peringatan sistem darurat untuk segera meng-uninstall sistem tersebut. Sistem sosialisme-komunisme sudah runtuh sehingga mustahil dipilih menjadi sistem pengatur hidup manusia. Satu-satunya pilihan hanyalah Islam yang akan mengatur manusia dengan syariat-Nya. Allah berfirman, “Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” (QS Yusuf [12]: 40).
Wallahua'lam bisshawab.