| 205 Views
Diskriminasi Jurnalis Lingkungan, Bukti Kebebasan Berpendapat Dibungkam

Oleh : Jasmine Fahira Adelia Fasha
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Dalam laporan yang berjudul Press and Planet in Danger, analisis UNESCO mengungkapkan setidaknya 749 jurnalis dan media berita yang melaporkan isu-isu lingkungan menjadi sasaran pembunuhan, kekerasan fisik, penahanan dan penangkapan, pelecehan daring, atau serangan hukum pada periode 2009-2023. Lebih dari 300 serangan terjadi antara 2019-2023, meningkat 42% dari periode lima tahun sebelumnya 2014-2018 (www.unesco.org, 17/5/2024).
Ternyata, kondisi pers secara global tidak dalam kondisi baik-baik saja di tengah slogan ‘kebebasan berpendapat’ begitu diagungkan. Kebebasan berpendapat rasanya hanya diperuntukkan bagi para pejabat dengan takhta tinggi yang dimilikinya. Kebebasan berpendapat seolah tidak berlaku pada masyarakat kecil. Bahkan seorang jurnalis yang memiliki hak untuk bisa menyuarakan suatu peristiwa atau kejadian yang terjadi di tengah masyarakat saat ini justru dibungkam bahkan dilecehkan dan mendapatkan diskriminasi.
Namun berbicara mengenai kebebasan, Islam sendiri tidak mengenal kata kebebasan yang sebagaimana dinyatakan kapitalisme. Islam merupakan agama dengan aturan-aturan yang wajib dijalankan oleh manusia. Meski begitu, aturan yang dibuat bukanlah aturan yang mengekang manusia. Namun aturan yang sangat memuliakan manusia dan tidak ada diskriminasi sama sekali. Karena aturan yang dibuat Sang Pencipta ini sesuai dengan fitrahnya manusia.
Berbeda dengan aturan yang dibuat oleh manusia hanya berdasakan kepentingan individu maupun kelompok. Aturan yang justru menjerat manusia, hanya memberikan kesenangan bagi individu maupun kelompok, tapi menyengsarakan rakyat banyak.
Para jurnalis yang biasa dan berani bersuara, justru kini dibungkam bahkan tak sedikit disomasi ataupun dikucilkan. Nampak jelas tidak adanya keadilan bagi seluruh rakyat. Itulah sejatinya kapitalisme bermain, tidak ada keadilan namun justru keberpihakan pada suatu kepentingan dunia yang fana dan semu.
Oleh karena itu, seharusnya masyarakat bisa menilai, aturan mana yang menjerat manusia dan aturan mana yang justru memberikan kesejahteraan nyata bagi keberlangsungan hidup manusia. Apakah aturan yang dibuat manusia atau aturan dari Sang Pencipta manusia itu sendiri yang akan kita ambil?[]