| 81 Views

Wacana Kabinet Gemuk, Untuk Kepentingan Rakyat ?

Oleh : Lestia Ningsih S.Pd

Visi misi dan efesiensi kerja pemimpin negara harus jelas dan penuh inovatif demi kemajuan negeri kita tercinta. Tahun 2024 negeri ini akan dikuasai pemimpin baru yaitu Prabowo dan wakilnya Gibran maka banyak harapan rakyat Indonesia bertumpu pada pemimpin baru ini agar negeri ini bisa sejahtera dan menjadi lebih baik.

Pada masa kampanye suara merdu janji-janji maka rakyat menuntut bukti bahwa penguasa dengan wajah baru mampu menjadikan negeri ini menjadi lebih baik. Kini kebijakan berupa wacana untuk menambah jumlah kementrian dalam kabinet Prabowo - Gibran yang menjadi 44 kementerian yang sebelumnya 34 dengan tujuan untuk menjadikan kinerja kementerian bisa lebih fokus dan tersentral.

Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan bahwa kabinet gemuk yang diproyeksikan dibentuk pada pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menambah nomenklatur kementerian akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral.

"Justru harapannya bisa lebih efektif karena ada fokus dari kementerian yang tersentral di situ," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa. (AntaraNews.com, 18/9/2024)

Justru yang menjadi pertanyaan, apakah kebijakan ini untuk kepentingan rakyat? Pertanyaan sederhana ini bukan atas dasar sentimen atau provokatif semata, pasalnya Indonesia terkenal dengan karupsi dan nepotisme yang tinggi yang terjadi di parlemen. Jauh dari kata sejahtera negeri ini semakin terpuruk dengan hutang, pengelolaan SDA yang semakin buruk pertanda jumlah banyaknya menteri tidak berpengaruh banyak pada kinerja yang optimal tentu rakyat mewanti-wanti agar tidak ada kebijakan diluar kepentingan khalayak umum rakyat Indonesia.

Bertambah jumlah menteri tentu akan bertambah pula anggaran gaji dan kebutuhan dana lainnya. Tentu hal ini beresiko semakin bertambahnya utang negara sebab anggaran APBN negara dalam keadaan defisit, lalu dari mana anggaran untuk menggaji para menteri baru?

Tentu ini akan menjadi beban rakyat, sebab dari mana lagi pemasukan APBN negara selain dari pajak, tentu pemasukan devisa negara tidak bisa berharap banyak dari hasil pengelolaan sumber daya alam, sebab sumber daya alam sudah dikuasai oleh asing. Jalan buntu yang bisa ditempuh negara untuk memastikan APBN aman agar bisa menggaji para menteri maka hanya bisa berharap dari hutang luar negeri.
Dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat hanya paradigma kosong yang tidak akan pernah terwujud di dalam sistem demokrasi. Faktanya kebijakan hanya berpihak kepada kepentingan kelompok maupun individu. Buktinya semakin banyak menteri namun tidak menyelesaikan masalah rakyat Indonesia. Bahkan menjadikan wajah negeri ini semakin buram buktinya ekonomi kian sulit, pendidikan semakin amburadul, kesehatan yang semakin sulit dicapai oleh orang miskin untuk bisa berobat, kerusakan moral dan akhlak dalam sistem sosial negeri ini sangat mengkhawatirkan, kriminalitas yang luar biasa semakin banyak, sumber daya alam yang dikelola penuh oleh asing. Maka di mana letak pentingnya menambah menteri baru?

Beginilah sistem demokrasi, sistem rusak buatan manusia yang lebih menuruti keserakahan dan kerakusan manusia. Maka kekuasaan hanya sebagai media untuk melanggar kecintaan mereka terhadap dunia tanpa memikirkan apa sebenarnya amanah yang mereka tunaikan.

Di dalam Islam menteri disebut sebagai Wazir, wajir dipilih secara langsung oleh Khalifah untuk menjalankan Syariah Islam. Sebagai khalifah mereka tidak membuat aturan sewenang-wenang pribadi mereka melainkan atas dasar arahan Khalifah, adapun ketika memerlukan suatu keputusan mereka akan menggali berdasarkan hukum syariat Islam. Jelas ini berbeda dengan makna menteri di dalam sistem demokrasi sebab dalam sistem demokrasi para menteri akan memberlakukan undang-undang berdasarkan aturan buatan manusia yang ini mudah untuk ditunggangi kepentingan pribadi ataupun kelompok. Sedangkan di dalam Islam aturan yang diberlakukan adalah syariat Islam semata. Tidak sama dengan sistem sekarang, Islam akan membutuhkan banyak wasir ataupun menteri untuk menyelesaikan masalah di seluruh pelosok negeri karena mereka merupakan wakil dari Khalifah untuk menjalankan syariat di wilayah tersebut.
Maka tidak akan ada istilah bagi kursi/bagi kue kekuasaan sebab menteri ataupun Wazir dipilih langsung oleh Khalifah untuk menerapkan hukum syara bukan untuk menerapkan peraturan atau kebijakan yang ditunggangi kepentingan kelompok.

Beginilah para pemimpin dalam sistem Islam, sebab yang menjadi dasar bagi mereka menjalankan amanahnya hanya karena mengharap ridho Allah SWT bukan karena harta, ketenaran, kekuasaan ataupun privilege lainnya. Ketakwaan individu dalam sistem Islam menjadikan para pemimpin tidak akan semena-mena terhadap aturan yang diberlakukan sebab kekuasaannya akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat kelak.

Allahu a'lam bishawab


Share this article via

111 Shares

0 Comment