| 39 Views

Vasektomi, Kemiskinan, dan Negara yang Gagal Paham

Oleh : Welly Okta Milpia

Kabar mengejutkan kembali datang dari Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi. Beberapa kebijakan dan rencana kebijakannya menuai sorotan publik. Mantan Bupati Purwakarta ini dikenal kerap melontarkan gagasan yang dianggap sensasional. Bahkan, Gubernur Kalimantan Timur, Rudy Mas’ud, dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI dan Kementerian Dalam Negeri pada 29 April 2025, menyebut Dedi sebagai “gubernur konten”. Salah satu kebijakan kontroversialnya, yaitu program pembatasan kelahiran melalui metode vasektomi dan kebiri, mendapat penolakan dari berbagai pihak seperti Komnas HAM dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) (TEMPO.CO 4\5\2025).

Dalam dunia medis, kebiri dan vasektomi merupakan dua metode yang digunakan untuk menghentikan kemampuan reproduksi pria. Keduanya mengakibatkan kemandulan, meskipun memiliki mekanisme berbeda. Kebiri melibatkan pengangkatan testis, sedangkan vasektomi memutus jalur sperma melalui vas deferens. Meski seorang pria yang divasektomi tetap dapat melakukan hubungan badan, ia tidak lagi mampu menghamili pasangan. Program ini menjadi kontroversial ketika dijadikan kebijakan negara yang bersifat memaksa.

Dalam pandangan Islam, kebiri maupun vasektomi dikategorikan sebagai perbuatan haram. Keharaman kebiri ditegaskan dalam hadis riwayat al-Bukhari dari Abdullah bin Abbas ra., yang menyebut bahwa Rasulullah saw. secara tegas melarang tindakan kebiri saat para sahabat mempertimbangkannya ketika berjihad. Islam justru mendorong umatnya untuk menikah dan memiliki keturunan. Rasulullah saw. bersabda, “Menikahlah kalian dengan wanita yang penyayang dan subur, karena aku akan berbangga dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan para nabi pada Hari Kiamat.” (HR Ahmad).

Oleh karena itu, menjadikan kebijakan pembatasan kelahiran—baik melalui vasektomi maupun kebiri—sebagai program negara yang dipaksakan merupakan bentuk kezaliman. Negara seharusnya tidak membatasi jumlah anak rakyatnya, melainkan memastikan kesejahteraan setiap warga. Islam akan menempatkan mereka pada tempat paling aman, nyaman dan manusiawi dalam mewujudkan keseimbangan ekonomi dan kesejahteraan, antara lain:

Pertama : Memberikan harta milik negara yang tercatat di Baitul Mal, termasuk harta fa’i, kepada rakyat yang membutuhkan.

Kedua : Mendistribusikan tanah—baik produktif maupun tidak—kepada rakyat yang tidak memiliki lahan. Tanah yang tidak digarap oleh pemiliknya dapat dialihkan. Negara juga wajib memberikan subsidi bagi warga yang tidak mampu mengelola tanah.

Ketiga : Melunasi utang warga yang tidak mampu membayarnya melalui dana zakat atau harta fa’i.
Penting untuk ditegaskan bahwa kemiskinan struktural di Indonesia tidak disebabkan oleh jumlah anak yang banyak, melainkan oleh sistem ekonomi kapitalistik yang selama ini dijalankan. Sistem ini telah memberikan kekuasaan atas sumber daya alam kepada segelintir oligarki, sementara mayoritas rakyat tidak memiliki akses. Padahal, Allah Swt. berfirman, “Agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS Al-Hasyr: 7).

Sudah saatnya kita membuka mata terhadap realitas ini. Ideologi kapitalisme telah gagal mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan. Sebaliknya, Islam hadir sebagai sistem hidup yang paripurna, menawarkan solusi tuntas dan adil untuk setiap persoalan kehidupan. Dengan penerapan Islam sebagai ideologi negara dan sistem kehidupan, insyaAllah keberkahan dan keridhoan Allah Ta’ala akan terwujud.


Share this article via

12 Shares

0 Comment