| 407 Views

UKT Batal Naik, Pendidikan Tetap Sulit Digapai

Oleh :  Nur Sila
Pemerhati Masalah Generasi

Protes mahasiswa atas kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di sejumlah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) beberapa waktu lalu, rupanya membuahkan hasil. Dilansir dari Kompas.com (27/5), Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akhirnya membatalkan kenaikan UKT. Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim menyebut bahwa hal ini berdasarkan masukan masyarakat terkait implementasi UKT Tahun Ajaran 2024/2025 dan sejumlah koordinasi dengan PTN, termasuk PTN Berbadan Hukum (PTN-BH).

Di pihak yang lain, Presiden RI Joko Widodo menyebut bahwa UKT batal naik tahun ini, namun ada kemungkinan kenaikannya di tahun depan. Beliau menginginkan agar kebijakan tersebut ditinjau ulang dan menginginkan Menteri Nadiem mencari cara agar tarif UKT tidak memberatkan mahasiswa (cnnindonesia.com, 27/5/2024). 

Biaya Kuliah Tetap Mahal

Semua orang sepakat bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar masyarakat, seperti halnya sandang, pangan, papan, kesehatan, dan sebagainya. Karena itu, mestinya sudah menjadi tanggung jawab negara untuk menjamin pemenuhannya dengan memudahkan aksesnya bagi seluruh rakyat. 

Tetapi apa jadinya jika pemerintah terkesan abai dengan nasib para pelajar yang terpaksa mengubur mimpi melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi akibat biaya kuliah yang mahal. Terlebih jika ia tergolong dalam keluarga dengan ekonomi menengah ke bawah. Pendapatan orang tua yang secukupnya, kemudian menggunakannya untuk memenuhi kebutuhan keluarganya, jika harus menyisihkan sisanya untuk biaya semester anaknya, tentu saja sangat memberatkan.

Beratnya beban kuliah, bukan saja karena kebijakan yang baru saja dibatalkan. Sekalipun UKT batal naik, biaya kuliah masih mahal, dan tetap saja pendidikan sulit digapai. Banyak pelajar miskin yang mau tidak mau harus mengurung niatnya mengenyam pendidikan tinggi karena terkendala biaya, padahal mereka berprestasi. Alhasil tujuan pendidikan untuk mencerdaskan bangsa gagal dengan sendirinya. Faktanya, orang cerdas tapi miskin secara tidak langsung dilarang sekolah setinggi mungkin.

Sangat disayangkan, kampus yang seharusnya menjadi tempat terbuka bagi setiap warga negara mendapatkan hak mereka berupa pendidikan, kini hanya menjadi tempat yang hanya bisa dimasuki oleh kalangan tertentu, yang mampu secara finansial. Tentu saja hal ini bertentangan dengan amanat negeri ini bahwa pendidikan adalah hak setiap individu rakyat.

Namun wajar realita semacam ini terjadi. Sebab negara yang mengadopsi cara pandang kapitalistik, menjadikan pendidikan sebagai salah satu target kapitalisasi. Realisasinya ketika kampus berstatus PTN-BH, konsep bisnis dengan mahasiswa benar-benar nyata di dalamnya. Pemerintah berlepas tangan dalam pembiayaan pendidikan anak negeri. Sehingga untuk mengakses pendidikan, tergantung kesanggupan rakyat untuk membelinya. Layaknya komoditas barang yang diperjual-belikan, siapa yang mampu membeli, ialah yang dapat mengonsumsi. Sebaliknya, jika seseorang tidak mampu membelinya, maka tidak ada harapan untuk menikmatinya.

Sungguh, penyelenggaraan pendidikan dalam sistem kapitalisme zalim terhadap rakyat. Orientasinya yang serba memperhitungkan keuntungan dan manfaat, apapun diperdagangkan. Dalam sistem ini, pendidikan menjadi barang sukar bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang notabenenya hidup di bawah garis kemiskinan. Maka sangat wajar jika kualitas SDM di negeri ini begitu rendah, sebab ketiadaan fasilitas pendidikan dari negara, yang mampu membuat generasi mengenyam pendidikan setinggi-tingginya, meningkatkan keterampilan sebanyak mungkin. Tidak lain karena harga pendidikan yang setinggi langit.

Untuk itu, polemik UKT ini tidak cukup hanya membatalkannya sesuka hati. Naik-turun-naik biaya kuliah bukanlah solusi yang tepat bagi dunia pendidikan tinggi negeri ini, melainkan harus benar-benar dihentikan. Bahkan juga wajib mengganti sistem yang turut melahirkannya secara total. Sistem pengganti tersebut tidak lain adalah sistem Islam. 

Islam sebagai Solusi Karut-Marut Dunia Pendidikan

Atas dasar ini, Islam menjadikan pendidikan sebagai salah satu kebutuhan primer rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan sangat mungkin gratis. Selain itu, semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk bisa menikmati pendidikan  pada berbagai jenjang, mulai dari prasekolah, sekolah dasar, sekolah tingkat menengah, hingga pendidikan tinggi.

Dengan tata kelolanya yang benar sesuai tuntunan syariat, dimana pelayanan pendidikan bersih dari unsur komersial. Negaralah yang menjamin setiap individu warga negaranya untuk mendapatkan pendidikan gratis serta berkualitas. Ini karena Islam telah menjadikan menuntut ilmu sebagai kewajiban setiap muslim yang pemenuhannya dilakukan oleh negara. 

Berikutnya seorang pemimpin bertanggung jawab penuh memberikan pelayanan dalam pendidikan. Dalam hal pembiayaan,  negara memiliki anggaran yang memadai untuk mewujudkan pendidikan gratis dan berkualitas tersebut. Negara menjamin seluruh pembiayaan pendidikan, baik berkaitan dengan gaji para guru ataupun dosen, termasuk sarana dan prasarana pendidikan. 

Pada masa penerapan sistem Islam dahulu, dengan penyelenggaraan pendidikannya yang juga berbasis Islam, telah nyata melahirkan output pendidikan yang andal, bahkan lahir ilmuwan-ilmuwan hebat yang diakui dunia. 

Maka hanya dengan kembali kepada Islam, karut-marut yang membelit dunia pendidikan saat ini dapat diselesaikan. Anak negeri dapat mengakses pendidikan yang bebas biaya, yang kemudian mampu membangun peradaban. Wallahu a'lam bi showwab.


Share this article via

56 Shares

0 Comment