| 259 Views
Tradisi Mudik Menjadi Pelik

Oleh : Sumiati
Pendidik Generasi dan Member Akademi Menulis Kreatif
Tradisi tahunan setiap hari raya Idul Fitri sudah menjadi pemandangan yang biasa. Inilah negeriku tercinta, dengan beragam ceritanya. Momen mudik di hari besar Islam, sesuatu yang tak bisa dihindari untuk saat ini, seolah, itu momen wajib bagi setiap perantau yang meninggalkan kampung halaman mereka.
Sebetulnya, mudik merupakan singkatan dari mulih dilik, yang artinya pulang sebentar. Sementara, dalam kamus KBBI, mudik artinya pulang ke kampung halaman. Dan, dalam beberapa keterangan, mudik berasal dari bahasa Betawi, yang memiliki hubungan dengan kata udik dan berarti kampung atau desa. Sehingga, mudik diartikan menuju udik atau menuju kampung.
Nah, di Indonesia, perihal mudik berawal di tahun 70-an. Para pekerja yang memilih bekerja di kota, ingin di hari raya berkumpul keluarga, sehingga mereka melakukan yang namanya mudik atau pulang kampung. Sehingga tradisi ini, berjalan hingga sekarang, bahkan tradisi mudik ada juga di negeri lain, walau tak sebesar tradisi di Indonesia. Seperti di Malaysia, Turky, India dan Mesir.
Mudik memiliki manfaat, salah satunya silaturahmi, sosial, ekonomi dan psikologis. Silaturahim, bisa merekatkan hubungan persaudaraan. Sosial, bisa bertemu dengan berbagai orang dari kalangan yang berbeda-beda. Ekonomi, dari sisi pariwisata, transportasi, perdagangan. Dan dari psikologis, setidaknya para pemudik, bisa istirahat sejenak dari aktivitas mereka di kota.
Di sisi lain, mudik juga menjadi hal yang memusingkan. Di antaranya, berdampak pada masyarakat miskin yang ingin mudik, tetapi tidak bisa mudik karena faktor ekonomi. Bagi mereka yang memiliki tabiat buruk, banyak diantaranya memilih mencuri barang orang, demi mudik, untuk biaya keluarganya. Sehingga, di akhir Ramadan, di mana umat muslim sedang berlomba mengumpulkan pahala, di sisi lain banyak warga yang kehilangan harta benda, saat rumah mereka ditinggal ke masjid.
Di tambah lagi, ketika mudik berlangsung, kemacetan di mana-mana. Hal ini tidak lain karena, mereka para perantau dari kampung berdatangan ke kota secara bertahap. Kemudian jadilah penumpukan masyarakat di berbagai wilayah, tanpa batasan. Hingga mereka berkeluarga, mendirikan rumah tanpa tata ruang yang dikelola. Akhirnya, terjadi penumpukan warga yang tak terbendung. Setelah itu, ketika terjadi mudik, mereka sekaligus melakukan mudik ke kampung halaman. Wajar, jika akhirnya terjadi kemacetan di banyak ruas jalan.
Di tambah lagi, setiap keluarga memiliki kendaraan, baik mobil mau pun sepeda motor. Otomatis mereka lebih memilih kendaraan pribadi ketimbang kendaraan umum. Disebabkan pelayanan kendaraan umum tak memadai atau bahkan tak memuaskan penumpang dari sisi pelayanan dan lain sebagainya. Sehingga mereka memilih kendaraan pribadi sebagai alternatif. Murah dan bisa kapan saja berhenti sesuai keinginan jika lelah. Bahkan, tidak jarang dianggap healing keluarga. Membawa bekal dari rumah, berhenti di pinggir jalan yang teduh, dan menikmati bekal bersama keluarga dengan canda dan tawa.
Hal lain yang membuat terjadinya kemacetan ketika mudik, adalah pengaturan pembelian kendaraan masyarakat yang tidak diatur oleh negara. Sehingga, siapa pun yang memiliki uang, mereka bebas membeli kendaraan, tidak memikirkan apakah akan terlalu memenuhi jalanan nantinya. Sehingga, ini juga yang menyumbang betapa peliknya musim mudik di hari raya, kemacetan di mana-mana, bahkan yang menyumbang terjadi banyak kecelakaan pun akibat para pengendara yang baru bisa mengendarai kendaraan, seperti mobil dan motor. Mereka belum paham marka jalan, sehingga musim mudik makin kacau.
Bagaimana Islam Mengatur Mudik Aman?
Tentu saja, negaralah yang memiliki peran penting dalam mengurusi hal tersebut. Di antaranya, memberikan pelayanan kendaraan umum yang baik, menyenangkan dan nyaman. Baik dari kendaraannya, supir yang mahir, sabar, ongkos yang murah. Sehingga pemudik akan memilih kendaraan umum ketimbang kendaraan pribadi. Kemudian membatasi masyarakat dalam pembelian kendaraan pribadi, diarahkan dan difasilitasi untuk menggunakan kendaraan umum. Ada pembinaan khusus untuk para sopir kendaraan umum, agar menjalankan kendaraan sesuai aturan, berkarakter baik, sehingga tidak membuat kapok penumpang. Memberikan penjagaan di dalam kendaraan umum, sehingga tidak terjadi kejahatan seperti pencopetan dan penjambretan. Perbaikan jalan sebelum hari raya, sehingga meminimalisir kecelakaan akibat jalan yang buruk. Jika semua itu ditempuh, tentu saja, masyarakat akan memilih kendaraan umum, dan mereka tinggalkan kendaraan pribadinya, karena sudah nyaman dengan pelayanan negara. Demikianlah, jika negara mengurus masyarakat dengan aturan Islam, tidak ada yang dirugikan, semua bahagia.
Wallahu a'lam bissawab