| 294 Views
Tindak Kriminal Menjadi Lumrah di Sistem Sekuler Kapitalis

Oleh : Alin Aldini
Aktivis Muslimah
Sekali tepuk dua lalat, habis KDRT terbitlah penistaan agama. Kasus ini memang tidaklah seviral pembunuhan yang seakan direncanakan oleh pihak atau badan hukum di Indonesia ini, atau memang hanya momen saja agar tiket film yang katanya mengungkap fakta habis terjual. Lagi dan lagi kasus kriminal dijadikan bahan dan lahan untuk berbisnis. Apa sih yang tidak menjadi ‘duit’ di sistem kapitalisme saat ini? Hampir tidak ada, semua bisa jadi ‘duit’.
Termasuk kasus penistaan agama ini, kalau tak punya uang ujung-ujungnya bisa bui, lain hal kalau punya uang. Kasus selingkuh hingga KDRT bisa berujung bui. Seperti yang terjadi dalam kasus Asep Kosasih. Kuasa hukum Vany, Sunan Kalijaga, mengatakan Asep Kosasih sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus KDRT sejak April 2024. Selain kasus KDRT, Asep Kosasih pun ketahuan selingkuh. Meski sudah jadi tersangka, ia belum ditahan hingga saat ini (tribunnews.com, 18/5/2024)
Kini kliennya Vany (istri Asep Kosasih) melaporkan kembali dengan kasus yang berbeda, yakni ada dugaan penistaan agama terjadi saat Asep Kosasih ketahuan selingkuh. Asep Kosasih bersumpah tidak selingkuh dengan menginjak Al-Qur’an. Setelah ditelusuri melalui video, Asep Kosasih adalah pria yang adalah pejabat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) yang bertugas sebagai Kepala Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke.
Itulah yang terjadi di sistem sekuler kapitalis. Sistem sekuler kapitalis menjadikan tindak kriminal makin lumrah. Pasalnya, sistem buatan manusia ini merupakan buatan manusia, menjadikan administrasi yang berbelit dan bertele-tele membuat hukum tumpul ke atas. Hukuman yang diberikan pun tidak memberi pengaruh apa-apa, kalaupun ada itu hanya sementara apalagi pejabat atau pegawai negeri yang melakukan. Seakan semua itu bisa diselesaikan hanya dengan ‘meminta maaf’ bahkan dianggap hal yang lumrah, karena bebas mengeluarkan pendapat/ berekspresi.
Paham ini yang menjadi akidah/landasan hidup seseorang sekarang untuk melihat perkara yang ditopang oleh empat pilar kebebasan, yakni bebas berakidah; bebas berperilaku/berekspresi; bebas berpendapat; dan bebas memiliki. Pada akhirnya, kasus sederhana bisa menjadi bola salju yang menggelinding, semakin kencang semakin besar. Akar masalahnya tidak pernah dilihat, yang dilihat hanya kasus dari yang melapor pada yang terlapor. Kalau tidak ada yang melapor, tentu tidak akan dipidana apalagi diselidiki. Penegak hukum butuh makan yang tidak dijamin negara, mereka mencari duit dari kasus per kasus.
Jikalau yang menista ‘agama’ bukanlah orang yang beragama sekalipun, tetap diperlukannya sanksi (bukan hanya penjara atau hanya dibebastugaskan), butuh efek jera agar yang melakukan tidak mengulanginya lagi dan yang tidak melakukan bisa mendapatkan pelajaran supaya tidak ikut-ikutan. Jadi tidak ada juga yang ‘main hakim’ sendiri, kalau penegak hukum bertindak tegas, juga penguasa membuat aturan yang menimbulkan efek jera.
Islam memandang kasus ini tidak terkotak-kotak, tetapi menyeluruh dan terintegritas. Mengapa ada penistaan agama dengan menginjak kitab suci? Karena ada KDRT. Mengapa ada KDRT? Karena adanya perselingkuhan. Mengapa adanya perselingkuhan? Karena sistem/gaya hidup yang memisahkan Islam dari ranah hukum sipil (dan bahkan negara), adanya sekularisme yang pada akhirnya mengkapitalisasi (menuhankan uang) untuk kepentingan pribadi, asal punya uang semua bisa dibawa ke ranah hukum. Kalau tidak? Menjadi beban pribadi yang negara saja abai bahkan tak peduli.
Kasus penistaan ini sudah menjadi ranah umum yang seyogyanya diselesaikan juga di depan umum oleh badan/penegak hukum secara terbuka. Justru kasus KDRT dan perselingkuhan adalah kasus pribadi (efek domino) dari penerapan sekularisme-kapitalisme dalam kehidupan, yang sepatutnya pula negara turun tangan menyelesaikannya dengan mengganti gaya hidup sekuler kapitalis tersebut.[]