| 79 Views
Tarik Ulur Biaya Haji: Efisiensi atau Populisme?

Oleh : Wahyuni M.
Aliansi Penulis Rindu Islam
Presiden terpilih Prabowo Subianto mengutarakan keinginannya untuk menurunkan biaya penyelenggaraan ibadah haji bagi masyarakat Indonesia. Wacana ini menuai perhatian luas, mengingat kompleksitas komponen biaya yang melibatkan kurs mata uang, akomodasi, hingga pengelolaan dana haji. Pertanyaannya kini, apakah keinginan tersebut realistis dan bagaimana strategi ke depan untuk menjadikannya terwujud?
Pemerintah bersama DPR RI telah menyepakati biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1446 H/2025 M sebesar Rp89.410.258,79 per jemaah. Angka ini turun sekitar Rp4 juta dibanding tahun 2024, yang sempat menyentuh Rp93.410.286. Namun, yang benar-benar dirasakan jemaah adalah biaya perjalanan ibadah haji (Bipih), yaitu bagian dari total biaya yang harus dibayar langsung. Untuk 2025, Bipih ditetapkan Rp55.431.750,78 atau sekitar 62% dari total biaya. Sisanya ditutup dari nilai manfaat hasil pengelolaan dana haji oleh Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
Pengamat haji dan peneliti LIPI, Dadi Darmadi, mengingatkan agar pemerintah tidak kembali menerapkan pola subsidi yang dinilai menyerupai “skema Ponzi” dalam pengelolaan dana haji. Ia merujuk pada praktik sebelumnya, di mana nilai manfaat dari Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) lebih banyak dialokasikan untuk menutup biaya jemaah yang berangkat tahun itu, ketimbang disimpan untuk jemaah yang masih menunggu giliran.
Ia mendorong pemerintah agar merancang ulang skema pembiayaan secara transparan dan adil. Salah satu alternatif yang ia ajukan adalah membuka partisipasi publik melalui program seperti wakaf haji, asalkan dikelola secara akuntabel dan terbuka.
BP Haji menerapkan beberapa langkah strategis untuk mewujudkan efisiensi dana haji, yaitu maksimalisasi pemanfaatan asrama haji, optimalisasi fasilitas klinik kesehatan di asrama haji untuk layanan umum, pembukaan toko haji sebagai pusat penjualan perlengkapan haji, peningkatan ekspor barang kebutuhan jemaah ke Arab Saudi, pembangunan perkampungan Indonesia, dan penyembelihan hewan dam dan kurban di Indonesia. Semua itu demi memperoleh keuntungan besar yang diharapkan bisa menurunkan biaya haji yang harus dibayar jemaah. Namun, solusi-solusi teknis ini tidak menyentuh persoalan mendasar, yaitu penyebab ONH mahal.
Mahalnya ONH adalah akibat dari pengaturan ibadah haji yang tidak profesional, pengaturan secara teknis dan administrasi yang lama dan ribet/bertele-tele. Pemindahan pengurusan dana haji ke BPKH juga menjadi bukti nyata kapitalisasi ibadah oleh negara pada rakyatnya. Kapitalisme mengubah fungsi negara yang seharusnya mengurus kebutuhan rakyat menjadi berbisnis dengan rakyat.
Praktik kapitalisasi dalam pengelolaan dana haji mencerminkan pergeseran peran negara dari pelayan rakyat menjadi sekadar pengatur lalu lintas bisnis. Fungsi negara sebagai penyelenggara haji perlahan digantikan oleh logika pasar. Pemerintah kini lebih banyak bertindak sebagai regulator, sementara operasional diserahkan kepada pihak swasta yang memegang kontrak tender.
Alhasil, penyelenggaraan haji semakin kental nuansa komersial. Rakyat tak lagi diposisikan sebagai warga negara yang haknya harus dipenuhi, tetapi sebagai pelanggan jasa keagamaan. Mulai dari transportasi, konsumsi, hingga akomodasi, semua dibebankan kepada mekanisme pasar yang berorientasi pada keuntungan.
Alih-alih memprioritaskan pelayanan dan memastikan ibadah berjalan sesuai tuntunan, negara justru terkesan membiarkan ruang-ruang suci itu dikelola dengan pendekatan dagang. Kepentingan bisnis lebih dominan dibanding misi ibadah. Konsekuensinya, kualitas pelayanan cenderung tidak maksimal dan umat Islam menjadi pihak yang dirugikan.
Dalam Islam, penguasa adalah sebagai raa’in (pengurus rakyat), sehingga akan memudahkan urusan rakyat terlebih dalam penunaian ibadah. Khilafah akan mengatur penyelenggaran ibadah haji dengan serius. Prinsip pelayanan terhadap rakyat adalah sederhana dalam sistemnya, eksekusinya cepat, dan ditangani oleh orang yang profesional.
Dalam sistem Khilafah, pelayanan administrasi haji dirancang untuk benar-benar memudahkan jemaah. Mengacu pada pemikiran Syekh Abdul Qadim Zallum dalam bukunya Struktur Negara Khilafah, terdapat tiga prinsip utama yang menjadi fondasi pelayanan publik: aturan yang sederhana, proses yang cepat, dan pelaksana yang kompeten.
Aturan yang tidak berbelit akan membuat prosedur lebih praktis, sementara kecepatan dalam melayani kebutuhan masyarakat memastikan mereka tidak terbebani. Di sisi lain, penempatan tenaga profesional menjamin kualitas dan ketepatan layanan.
Negara hadir secara menyeluruh mengurus secara detail aspek teknis penyelenggaraan haji agar jemaah dapat beribadah dengan tenang dan khusyuk, tanpa terganggu oleh kekacauan administratif atau pelayanan yang buruk.