| 338 Views
Rangkaian UU Kontroversi Sepanjang Rezim Berkuasa

Oleh : Wakini
Aktivis Muslimah
Perjalanan sepuluh tahun pemerintahan Jokowi- Ma'aruf terasa sangat menyedihkan. Sedih karena banyaknya hak rakyat yang dikebiri. Susah karena kekuasaan di salahgunakan untuk memenuhi hajat kaum kapitalis. Harus ada evaluasi sepanjang sepuluh tahun pemerintahan Jokowi-Ma'aruf sejak di Lantik 20 Oktober yang lalu. Banyaknya hal yang disorot publik dalam pemerintahan Jokowi-Ma'aruf, terutama bagaimana negara memperlakukan proses legislasi baik saat merevisi atau membuat sebuah undang-undang.
Dalam sepuluh tahun berjalannya kekuasaan rezim, pemerintahan Jokowi-Ma'aruf lebih banyak memproduksi UU kontroversial yang banyak dihujani kritik dan kecaman publik sebut saja UU KPK, UU Minerba, UU MK, UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional, UU IKN ( Ibu Kota Nusantara) yang bertujuan untuk pembangunan dan pemindahan ibu kota yang baru, UU TPKS, UU PDP, UU DOB ( Daerah Otonomi Baru) untuk wilayah Papua yang di bagi menjadi empat daerah yaitu Papua Selatan, Papua Tengah, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya, selanjutnya yang tak kalah kontroversi yaitu terbaru adanya Peraturan Pemerintah yang tertuang dalam PP No 28/2024 tentang penyediaan alat kontrasepsi bagi usia sekolah dan remaja, kemudian PP No 21/2024 tabungan perumahan untuk rakyat, dan peraturan pemerintah tentang pengelolaan pertambangan yang tertuang dalam PP No 25/2024.
Publik memberikan kritikan dengan memberikan raport merah bagi pemerintahan Jokowi-Ma'aruf di karenakan produk hukum yang di buat sangat pro dengan oligarki kapital. Hal itu tampak dari di sahkannya UU Minerba dan Omnibus law Cipta Kerja di dalamnya banyak terdapat pasal yang terlalu menguntungkan lingkaran oligarki, mengabaikan hak masyarakat dan lingkungan. Di samping itu, pembuatan UU minim aspirasi publik, penilaian ini tercermin dalam proses pembuatan UU yang terkesan cepat, kilat, dan dipaksakan. Hal ini bisa dilihat dari pengesahan UU Minerba, UU MK, dan UU Omnibus Law Cipta Kerja. Alhasil, UU kontroversial itu menuai demo massa dan kericuhan di mana-mana. Hak konstitusi rakyat di rampas, saat rakyat menolak berbagai UU kontroversial tersebut, pemerintah jalan terus. Ibarat orang berjalan, rakyat ingin ke kanan, pemerintah malah berjalan ke kiri. Pada akhirnya pertentangan rakyat dan penguasanya semakin menganga.
Apa yang di lakukan rezim saat ini menunjukan bahwa penguasa sebagai fasilitor bagi kaum kapitalis. Sebagai contoh adanya revisi UU Minerba yang sarat dengan kepentingan para pemilik modal. Ekonom Faisal Basri menilai Revisi UU Minerba akan memberikan keuntungan kepada para pengusaha batu bara. Ibarat karpet merah yang membentang di tempat yang sama dengan Omnibus Law, karpet merahnya bertumpuk dan makin empuk bagi yang menapakinya. Salah satu poin yang disoroti adalah terkait perpanjangan kontrak. Dengan revisi itu, ada pasal yang membuat perpanjangan kontrak tidak lagi perlu lewat lelang.
Berdasarkan rilis Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), bagi perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu bara (PKP2B) dapat memperpanjang secara otomatis operasionalnya selama 2 x 10 tahun tanpa melalui penetapan Wilayah Pencadangan Negara (WPN) yang dilanjutkan dengan pelelangan Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Selanjutnya terkait Penerbitan Surpres RUU Polri menunjukkan arogansi Presiden Joko widodo dalam penyusunan regulasi. Lagi-lagi Presiden Jokowi kembali mengabaikan prinsip konstitusi dan kedaulatan rakyat dalam penyusunan undang-undang. Proses perencanaan dan penyusunan RUU Polri oleh DPR yang sembunyi-sembunyi, tergesa-gesa dan tidak memberikan ruang partisipasi bermakna kepada publik yang jelas-jelas melanggar aturan main demokrasi dan konstitusi justru disambut mesra oleh Presiden dengan dukungan surat Presiden. Pada akhirnya, proses pembahasan RUU Polri di DPR hanya akan mengukuhkan praktik Legislasi Otoriter dan melegitimasi kepentingan politik pemerintahan jokowi untuk memperkuat kekuasaan dan kendali terhadap ruang publik masyarakat.
Koalisi menilai RUU ini jelas bukan untuk melindungi rakyat tapi hanya dibuat untuk melindungi kepentingan kekuasaan. RUU ini juga bukan untuk melakukan koreksi terhadap institusi kepolisian yang bermasalah dan gagal dalam mereformasi institusi paska reformasi. Jika nantinya disahkan hanya akan menjadi legitimasi upaya paksa negara melalui aparat kepolisian kepada rakyat seperti penyadapan, memata-matai rakyat bahkan kriminalisasi termasuk politisasi dan multifungsi kepolisian. Betapa tidak, ditengah brutalitas dan buruknya kinerja kepolisian untuk melindungi rakyat yang nampak dalam berbagai kasus. DPR RI dan Presiden yang akan berakhir masa jabatannya pada Oktober 2024 nanti justru akan memberikan berbagai hadiah kewenangan baru kepada Kepolisian RI, bahkan tanpa mekanisme pengawasan dan kontrol yang memadai. Padahal, kewenangan besar tanpa kontrol hanya akan melahirkan korupsi dan kesewenang-wenangan.
Sebenarnya jika kita mau menoleh ke belakang, bukan hanya kali ini saja penguasa dan wakil rakyat mengeluarkan undang-undang bermasalah. Kapanpun periodenya, siapapun pemimpinnya. Dan terus berulang, pelakunya pun bukan 1 atau 2 orang, tapi satu lembaga penuh secara kompak mengiyakan lahirnya ragam undang-undang bermasalah ini. Ini bukan lagi oknum, tapi kerusakan yang masif dan terencana.
Maka, jangan heran bila UU yang sudah ada pun bisa direvisi berkali-kali demi meraih tujuan tertentu. Seperti nasib revisi UU KPK misalnya. Efek dominonya, KPK tak lagi bertaring seperti dulu. Fungsi KPK melemah semenjak disahkannya revisi UU KPK yang diusulkan dan disahkan DPR bersama pemerintah.
Betapa ruwet dan rumitnya penyusunan UU yang didasari pada pikiran manusia. Sudahlah terlalu rinci, membingungkan, menghabiskan dana yang tidak sedikit, eh ketika disahkan, regulasinya menyusahkan rakyat. Hukum dijadikan tameng menjaga kepentingan. Sering kali kita mendengar istilah “hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas.” Itulah yang terjadi dalam demokrasi. Sanksinya tak memberi efek jera. Ketika ada sanksi hukuman mati diterapkan misalnya, akan terhambat oleh pandangan lain, yakni Hak Asasi Manusia. Terus berputar seperti itu tak ada habisnya. Ada masalah, bikin Undang-Undang. Ketika UU-nya kontradiksi, lahirlah revisi.
Dengan melihat sisi rapuh dan lemahnya produk hukum dalam sistem demokrasi, tak ada alasan bagi kaum muslimin untuk terus berkutat dengan aturan buatan manusia yang serba lemah dan terbatas. Apalagi pada praktiknya, legalisasi hukum yang dihasilkan dalam demokrasi belum menjawab secara utuh persoalan kehidupan yang membelit umat manusia. Maka dibutuhkan UU yang menyolusi secara tuntas persoalan bagi negeri ini.
Permasalahan di negeri ini tidak akan selesai hanya dengan solusi tambal sulam. Karena yang diselesaikan hanya persoalan cabangnya, namun akar masalahnya dibiarkan begitu saja, yaitu sistem demokrasi kapitalisme itu sendiri. Sumber masalah bagi negeri ini adalah sistemnya. Mau ditambal dengan berbagai regulasi baru tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Yang ada, masalah makin bertumpuk dan UU nya pun juga bermasalah. Oleh karenanya, tidak ada jalan lain selain merombak total sistem yang diterapkan di segala aspek kehidupan. Lantas, apa solusi sistem alternatifnya? Islam jawabannya. Apa saja keunggulan sistem Islam dibanding sistem lainnya?
Pertama, aturan Islam bersifat tetap dan baku. Dalam pemerintahan Islam (khilafah), aturan yang diterapkan adalah syariat Islam. Legalisasi UU yang dihasilkan bersumber dari Al-Qur’an dan Sunah. Karena aturan yang berlaku adalah aturan Allah, tidak mungkin aturan ini berubah-ubah mengikuti kehendak manusia. Sebab, hak membuat hukum hanyalah milik Allah. Manusia tidak berhak membuat dan menyusun aturan sendiri. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah Yusuf ayat 40,
“Keputusan itu hanyalah kepunyaan Allah. Dia telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia. Itulah agama yang lurus.” Manusia hanyalah pelaksana hukum Allah. Wewenang untuk melaksanakan hukum Allah ini ada di tangan khalifah.
Kedua, keberadaan wakil rakyat dalam Islam bertugas untuk melakukan koreksi terhadap kebijakan penguasa, menerima keluhan masyarakat untuk disampaikan kepada penguasa, dan memberi masukan kepada khalifah meski masukan tersebut tidaklah mengikat khalifah.Dalam khilafah, wakil rakyat ini disebut majelis umat. Mereka dipilih karena kapasitasnya mampu merepresentasikan kepentingan umat. Majelis umat tidak memiliki wewenang membuat dan menyusun UU seperti halnya wakil rakyat dalam demokrasi. Dengan begitu, tidak akan terjadi politik transaksional untuk meloloskan UU sesuai pesanan dan kepentingan yang biasa terjadi dalam demokrasi.
Ketiga, standar penilaian dalam demokrasi adalah manusia. Sebab, demokrasi dibangun atas empat pilar kebebasan yakni kebebasan beragama, bertingkah laku, berpendapat, dan berekspresi. Ini berarti pendapat manusia menjadi dasar dalam penetapan hukum. Sementara penetapan hukum dalam Islam disesuaikan dengan pandangan syariah Islam. Inilah satu keunggulan Islam dibanding sistem lain. Hukumnya jelas dan terukur.
Keempat, dalam Islam, kedaulatan hanya di tangan syariat Islam. Islam hanya mengakui Allah Swt. sebagai pemilik otoritas dalam membuat hukum baik dalam perkara ibadah, muamalah, pakaian, makanan, dan uqubat (sistem persanksian). Manusia, apapun kedudukannya, baik rakyat atau kepala negara, dipandang sebagai mukallaf yang wajib tunduk dan patuh pada hukum Allah.
Dengan pandangan seperti ini, tidak akan ada celah hukum yang dimanfaatkan untuk menindas atau menzalimi pihak lain. Tidak ada yang lebih berkuasa membuat hukum sehingga bisa memaksakan kehendaknya kepada yang lain. Jika hukum Allah yang ditegakkan, keadilan akan tercipta. Pemenuhan hak dan kewajiban akan terlaksana dengan baik. Sebab, hukum Allah tidak mengenal kepentingan politik. Karena syariat Allah diterapkan bertujuan untuk memberi kemaslahatan bagi umat manusia.
Sehingga, merupakan sebuah tindakan gegabah jika mahasiswa dan masyarakat hari ini melakukan aksi responsif jika hanya menuntut penolakan atas dikeluarkannya kebijakan bermasalah. Padahal, duduk perkara sebenarnya ada pada penerapan sistem jahiliyah buatan manusia yeng serba terbatas, yaitu demokrasi.
Jika kita hanya memfokuskan perjuangan pada penolakan undang-undang bermasalah, tanpa adanya kesadaran untuk mengubah sistem demokrasi, kita hanya berusaha mengulur nasib buruk berulang yang akan terjadi. Sudah seharusnya perjuangan masyarakat hari ini adalah menuntut perubahan penerapan sistem pemerintahan demokrasi menjadi sistem pemerintahan Islam, yaitu Khilafah yang setiap perintilan aturannya bersumber dari Allah Yang Maha Menciptakan.
Islam memposisikan kekuasaan ada di tangan rakyat, namun kedaulatan ada di tangan Allah semata. Selain aturan Allah adalah aturan terbaik, menerapkan aturan Allah di atas muka bumi juga merupakan perintah dan bukti atas keimanan kita sebagai hamba yang yakin.
“Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih bak daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Q.S. Al-Maidah [5]: 50).
Wallahu a’ lam biashowab.