| 132 Views
Ramadan di Gaza: Di Tengah Puing-Puing, Iman Tetap Kokoh

DItulis Oleh : Esraa Abo Qamar
Penulis Palestina yang berbasis di Gaza
Esraa Abo Qamar adalah seorang penulis Palestina yang berbasis di Gaza. Ia merupakan mahasiswa Sastra Inggris di Universitas Islam Gaza.
Saat dunia menyambut Ramadan dengan sukacita dan penuh kegembiraan, Gaza menjalani bulan suci ini dalam duka dan kesedihan. Kehancuran akibat perang masih terasa, meninggalkan luka mendalam bagi rakyatnya. Ketika keluarga-keluarga di berbagai belahan dunia bersiap untuk berpuasa dan beribadah, warga Gaza menghadapi ketidakpastian, tanpa jaminan bahwa gencatan senjata yang sedang berlangsung akan bertahan lama.
Kenangan Perang dan Ramadan yang Tak Terlupakan
Bagi banyak warga Gaza, menjalani Ramadan di bawah serangan bukanlah pengalaman baru. Pada tahun 2014, saat saya berusia sembilan tahun, saya masih ingat bagaimana kami berbuka puasa di tengah serangan udara, dan bagaimana kami harus berlari keluar rumah dalam gelap, meninggalkan segalanya untuk menyelamatkan diri.
Namun, Ramadan tahun lalu jauh lebih buruk dari apa pun yang pernah saya alami. Kelaparan menjadi bagian dari keseharian kami.
Kami berpuasa sepanjang hari, hanya untuk berbuka dengan satu kaleng hummus atau kacang-kacangan yang dibagi untuk enam orang. Tanpa listrik, kami makan dalam kegelapan, bahkan hampir tidak bisa melihat wajah satu sama lain di meja makan.
Ramadan, yang seharusnya menjadi bulan penuh kebersamaan, justru menjadi bulan perpisahan dan keterasingan. Keluarga besar saya, yang biasanya berkumpul saat Ramadan, tercerai-berai. Nenek, bibi, dan sepupu saya terpaksa mengungsi di tempat berbeda—sebagian tinggal di tenda pengungsian, sebagian lagi terjebak di utara Gaza.
Kami kehilangan kebahagiaan Ramadan. Kami merindukan suara adzan saat magrib untuk berbuka dan saat fajar untuk memulai puasa. Tetapi suara itu tak pernah terdengar. Setiap masjid telah dihancurkan. Ada beberapa orang yang ingin mengumandangkan adzan, tetapi mereka takut—takut bahwa suara mereka akan mengundang serangan udara, menjadikan mereka target berikutnya.
Alih-alih berbuka dengan suara muazin dari masjid, kami berbuka dengan suara dentuman rudal dan tembakan.
Gencatan Senjata, Tapi Jauh dari Kata Normal
Tahun ini, Ramadan dimulai di tengah gencatan senjata. Untuk pertama kalinya dalam beberapa bulan, tidak ada serangan udara yang mengguncang tanah saat kami berbuka puasa, tidak ada ledakan yang menggema di kesunyian fajar. Kehidupan, yang sempat terhenti, perlahan mencoba kembali ke jalanan Gaza.
Toko dan pasar yang masih bertahan dari kehancuran mulai dibuka kembali, para pedagang kaki lima kembali berjualan. Hyper Mall di Nuseirat, salah satu pusat perbelanjaan terbesar di Gaza, telah membuka pintunya lagi.
Sebelum Ramadan, ayah saya mengajak saya dan saudara saya ke sana. Kami hampir tak bisa menahan kegembiraan saat melangkah ke dalam mall yang terang benderang. Sesaat, kami merasa seperti kembali ke masa sebelum perang. Rak-rak toko kembali terisi dengan cokelat, biskuit, dan jajanan yang telah lama kami rindukan, serta lampu-lampu hias Ramadan, kurma, dan buah-buahan kering warna-warni.
Namun, semua kelimpahan ini menipu. Sebagian besar barang yang mengisi rak berasal dari truk dagang, yang lebih diprioritaskan dibandingkan bantuan kemanusiaan. Harga-harga melambung tinggi, membuat banyak orang tidak mampu membeli kebutuhan pokok setelah kehilangan rumah dan pekerjaan mereka.
Iftar yang Berbeda
Bagi sebagian besar keluarga di Gaza, menu berbuka tahun ini sedikit lebih baik daripada sekadar kaleng kacang—mungkin sepiring nasi, molokhia, atau sayuran yang masih bisa mereka beli.
Keluarga saya merasa beruntung bisa menyantap musakhan, makanan khas Palestina yang terbuat dari ayam, roti saj, dan banyak bawang bombay. Ayam segar telah kembali ke pasar, tetapi dengan harga dua kali lipat dibanding sebelum perang, menjadikannya barang mewah yang tidak terjangkau bagi banyak orang.
Namun, bukan hanya makanan tradisional yang hilang dari meja iftar di Gaza. Lebih dari 48.000 orang telah terbunuh dalam perang ini. Seluruh keluarga lenyap dari catatan sipil dan tidak akan pernah lagi menjalani Ramadan.
Di banyak meja iftar, akan ada kursi kosong—seorang ayah yang tak lagi bisa memanggil anak-anaknya untuk makan, seorang anak yang tak lagi bisa menunggu azan dengan penuh semangat, atau seorang ibu yang tak lagi bisa menyiapkan makanan dengan tangannya yang terampil.
Saya juga kehilangan orang-orang yang saya cintai. Suami bibi saya, yang setiap tahun mengundang kami untuk berbuka bersama, dibunuh dengan kejam. Teman-teman saya—Shaima, Lina, dan Roaa—yang biasa saya temui di masjid setelah tarawih, kini telah syahid.
Iman di Tengah Puing-Puing
Semangat perayaan Ramadan mungkin telah hilang, tetapi maknanya tetap ada. Bulan suci ini adalah waktu untuk merenung, memaafkan, dan mendekatkan diri kepada Allah.
Masjid-masjid kami telah hancur, tetapi iman kami tetap teguh. Kami akan tetap melaksanakan tarawih di rumah-rumah yang setengah runtuh dan di tenda-tenda pengungsian. Kami akan tetap memanjatkan doa, membaca Al-Qur’an, dan mencari ketenangan dalam ibadah, dengan keyakinan bahwa Allah akan membalas semua penderitaan yang telah kami lalui.
Di tengah perang dan kehancuran, Gaza tetap bertahan. Ramadan, meskipun penuh luka, tetap menjadi sumber kekuatan, keimanan, dan harapan yang tak tergoyahkan.