| 129 Views
Rakyat Termiskinkan oleh Pajak

Oleh : Septy Widya
Mirisnya hidup di negri nan kaya sumber daya alam (SDA) ini. Harusnya rakyat bisa hidup sejahtera. Tapi malah diterpa badai dengan kabar kenaikan pajak. Lembaran baru tahun 2025 pemerintah justru memberikan kabar kenaikan PPN dari 11% menjadi 12%. Sontak pengumuman ini memicu berbagai reaksi, baik dari kalangan pedagang, konsumen, hingga para ahli ekonomi. Pasalnya, kenaikan PPN menjadi beban baru yang dikhawatirkan akan menekan daya beli masyarakat dan memperparah kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih pasca pandemi.
Bertempat di Gedung Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Jakarta Pusat, pada Selasa (31/12/2024), Presiden Prabowo Subianto secara resmi mengumumkan pemberlakuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% yang mulai berlaku pada 1 Januari 2025. Kebijakan tersebut merupakan amanah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dengan tujuan untuk menjaga daya beli masyarakat, menjaga inflasi rendah, dan mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mengulas sejarah perpajakan, PPN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Kemudian terjadi perubahan undang-undang hingga kini diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Sebelum April 2022, tarif PPN yang berlaku adalah 10% dan dihitung dari dasar pengenaan pajak (DPP) dari transaksi. Namun sejak 1 April 2022, tarif PPN yang berlaku adalah 11 % dan akan naik menjadi 12% paling lambat 1 Januari 2025. Perubahan ini diatur dalam PP bersama DPR dalam RAPBN.
Kenaikan ini tentu memicu reaksi penolakan dari kalangan masyarakat dan mahasiswa. Penolakan masyarakat terhadap kenaikan PPN jadi 12 persen semakin menguat. Sebanyak 197.753 orang telah meneken petisi menolak kenaikan PPN menjadi 12 persen. Jumlah tersebut merupakan data yang masuk hingga Sabtu (28/12), pukul 13.00 WIB. Inisiator petisi, Bareng Warga, menyatakan kenaikan PPN akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab, kebijakan tersebut diberlakukan di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang terpuruk. Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka masih di kisaran 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94 persen bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.(Jakarta, CNN Indonesia).
Cara Islam memandang Pajak.
Berbeda dengan kapitalisme yang mencekik rakyat dengan pajak bahkan keberadaan pajak dalam sistem ini adalah kepastian. Seperti Perkataan Benjamin Franklin "Tidak ada yang pasti di dunia ini kecuali kematian dan pajak". Kutipan ini ditulisnya dalam surat kepada Jean-Baptiste Le Roy pada tahun 1789.
Sementara dalam Islam, pajak dengan istilah dharibah, penerapan dan pengaturannya sangat berbeda secara diametral dengan konsep pajak dalam sistem kapitalisme. Syekh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah Swt. kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di baitulmal.
Pajak dalam sistem Islam diambil semata untuk membiayai kebutuhan yang ditetapkan syariat. Pajak dalam Islam hanya memiliki satu fungsi, yakni fungsi stabilitas dan bersifat insidental. Ia hanya dipungut saat kas negara kosong. Manakala problem kekosongan kas negara sudah teratasi, pajak pun harus dihentikan. Jadi, pajak dalam Islam hanya bersifat sementara bukan sesuatu yg pasti di tetapkan untuk rakyat. Allah Swt. berfirman, “Sesungguhnya, dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih.”(QS Asy-syura: 42).
Kepemimpinan Khilafah (yakni khalifah) benar-benar sangat istimewa. Mereka adalah orang yang secara individu memiliki kepribadian pemimpin yang kuat, yakni memiliki pola pikir sebagai penguasa yang paham cara mengurus dan memberikan solusi untuk urusan-urusan rakyatnya, sekaligus memiliki pola jiwa sebagai hakim yang mampu memutus segala perkara dengan adil dan bijaksana sesuai tuntunan syariat Islam.
Selain itu, mereka juga memiliki ketakwaan yang tinggi, sekaligus sifat lembut dan empati kepada rakyatnya. Syariat Islam kaffah yang ditegakkan oleh para penguasa atas dasar takwa benar-benar memberi tuntunan untuk solusi seluruh problem kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Sistem politiknya menjadikan negara begitu kuat dan disegani musuh-musuhnya. Begitu pun sistem ekonomi dan keuangan Islam yang diterapkannya membuat sumber daya alam milik rakyat yang melimpah ruah, benar-benar mampu mensejahterakan mereka secara adil dan merata.
Wallahualam bissawab.