| 147 Views

Program Makan Siang Gratis Yang Miris

Oleh : Hany Rofiqoh
Ciparay Kab. Bandung

Program Makan Siang Gratis atau “Makan Bergizi Gratis” (MBG) yang dicanangkan oleh pasangan Presiden Prabowo-Gibran secara resmi telah dibahas dalam perencanaan anggaran tahun 2025. Pada saat kajian ini ditulis, Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian (Kemenko) dan tim transisi Prabowo-Gibran menetapkan besaran anggaran MBG sebesar Rp 71 triliun pada tahap pertama di tahun 2025. Besaran ini dinilai telah memperhitungkan target defisit fiskal sebesar 2.29% - 2.82%. Besarnya anggaran yang akan dikeluarkan serta efektivitas dampak yang akan dihasilkan dari program ini menjadi pro dan kontra diskursus publik. Terlebih anggaran publik dan kebijakan publik sepatutnya dipertanggungjawabkan oleh para pembuat kebijakan.  

Kebijakan MBG digembar-gemborkan oleh pemerintah dengan alasan menjadi solusi terbaik untuk mencegah stunting (Tirto.id, 21/1/2025). Namun, kebijakan seperti ini sama sekali tidak menyentuh akar masalahnya terkait masih tingginya kasus stunting karena masih banyak generasi yang belum terpenuhi gizinya secara sehat. Belum apa-apa kebijakan MBG ini sudah banyak menuai masalah. Mulai dari masalah pendanaan yang kurang, mengambil dana dari sana sini yang akhirnya rakyat pun dianjurkan harus ikut terlibat dalam pendanaan. Selain itu ditambah kualitas makanan yang masih membahayakan. Ini jelas, bahwa negara tak serius atau tidak becus dalam mengurus rakyatnya.

Jika, lagi-lagi rakyat yang jadi korban untuk menerima beban berat dalam kehidupan, sudah jelas kebijakan MBG ini sejatinya bukanlah didedikasikan untuk kepentingan rakyat, namun rakyat hanya dijadikan alat yang seolah demi kebaikan bersama tapi menyengsarakan. Ini hanyalah sebagai proyek pencitraan yang dibuat rapi oleh penguasa yang ujung-ujungnya rakyat yang dibebankan untuk membiayai mereka sendiri yang diatur oleh penguasa yang bertujuan demi kepentingan korporasi sebagai program populis.

Dalam Islam, pemimpin sejati akan menjalankan tugasnya berdasarkan syariat, bergerak dengan landasan keimanan, memahami bahwa kepemimpinan adalah amanah untuk menjadi ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) bagi rakyat. Oleh karena itu, setiap kebijakan yang diambil akan berorientasi pada kemaslahatan umat dan pembangunan peradaban Islam.

Negara bertanggungjawab dalam memastikan ketersediaan serta penjaminan kebutuhan pokok bagi masyarakat. Setiap kepala keluarga akan dijamin agar mampu memenuhi perannya dalam pemenuhan kebutuhan pokok, sementara negara akan memfasilitasi dengan membuka peluang kerja. Selain itu, penjaminan makanan bergizi bagi setiap individu juga harus dilakukan.

Sistem ini pernah diterapkan pada masa Kekhalifahan Utsmaniyah, di mana dapur umum didistribusikan ke pengurus mesjid, guru, murid, serta penduduk lokal yang membutuhkan. Negara juga menjamin pelayanan pendidikan, keamanan, dan kesehatan secara gratis, dengan dana yang diambil dari baitul maal. Allah SWT berfirman:

"Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk menguasai orang-orang beriman." (QS. An-Nisa’: 141). Dalam sistem Islam, negara tidak akan bergantung pada pihak asing. Pemimpinnya akan membangun ketahanan pangan serta sistem distribusi yang menjangkau seluruh wilayah. Pemanfaatan sumber daya alam (SDA), seperti tambang, minyak, gas bumi, listrik, dan hutan, akan menjadi sumber pendanaan utama dalam Daulah Islamiyah. Selain itu, negara juga memiliki sumber dana lain, seperti fai’, ushr, kharaj, jizyah, dan zakat. Jika negara berorientasi pada kemaslahatan generasi, kesejahteraan dan kemakmuran bukan lagi sekadar angan belaka. Hal ini dapat terwujud dalam bingkai Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam bish shawwab.


Share this article via

78 Shares

0 Comment