| 163 Views

PPN 12% : Rencana Program Bansos, Rakyat Tetap Boncos

Oleh : Wahyuni M
Aliansi Penulis Rindu Islam

Pemerintah Indonesia berencana memberlakukan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% sebagai bagian dari upaya reformasi perpajakan yang tertuang dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembangunan nasional dan mengurangi defisit anggaran. Meski demikian, rencana ini menuai berbagai tanggapan dari masyarakat dan pelaku usaha yang khawatir kenaikan tarif PPN akan berdampak pada daya beli konsumen dan harga barang atau jasa.

Menanggapi hal tersebut, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan, dampak kebijakan ini terhadap inflasi dan ekonomi akan sangat minimal. Dalam menyambut penerapan kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen yang akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2025, pemerintah telah menyiapkan 15 paket insentif kebijakan. Insentif tersebut mencakup pembebasan hingga keringanan pajak yang ditujukan bagi berbagai kalangan masyarakat dan sektor usaha. Langkah ini bertujuan untuk meringankan beban masyarakat sekaligus menjaga stabilitas perekonomian nasional.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa salah satu alasan diberlakukannya tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen mulai 1 Januari 2025 adalah untuk mendukung program prioritas Presiden Prabowo Subianto, termasuk program makan bergizi gratis. Airlangga menambahkan bahwa peningkatan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara, yang kemudian akan dialokasikan untuk mendukung prioritas pemerintahan Prabowo di bidang pangan dan energi.

Kebijakan ini direspons masyarakat dengan sebuah aksi damai yang berlangsung di depan Istana Negara, Jakarta Pusat sebagai bentuk protes terhadap rencana kenaikan tarif PPN menjadi 12 persen. Demonstrasi ini diikuti oleh berbagai kelompok, termasuk mahasiswa, akademisi, serta komunitas pencinta budaya.

PPN merupakan salah satu sumber penerimaan pajak terbesar dalam APBN Indonesia. Menurut data hingga 2023, PPN berkontribusi cukup besar terhadap total penerimaan pajak di Indonesia dan menjadi salah satu penyumbang utama APBN. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan laporan Kementerian Keuangan, PPN menyumbang sekitar 30—35% total penerimaan pajak Indonesia.

Untuk meredam dampak kenaikan ini, pemerintah merancang berbagai stimulus ekonomi. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengungkapkan sejumlah langkah perlindungan sementara yang akan diberikan, antara lain:

1. Bantuan pangan berupa beras 10 kg untuk 16 juta keluarga penerima manfaat selama 12 bulan.
2. Diskon tarif listrik sebesar 50% selama dua bulan untuk daya terpasang 450 VA hingga 2.200 VA. Kebijakan ini mencakup 81,4 juta pelanggan PLN, termasuk 24,6 juta pelanggan 450 VA, 38 juta pelanggan 900 VA, 14,1 juta pelanggan 1.300 VA, dan 4,6 juta pelanggan 2.200 VA.
3. Perlindungan bagi pekerja terdampak PHK melalui akses jaminan kehilangan pekerjaan, serta insentif bagi UMKM dan industri berupa kompensasi PPh final 0,5% dari omzet hingga 2025.
4. Percepatan program bantuan sosial, seperti; Program Keluarga Harapan (PKH) untuk 10 juta Keluarga Penerima Manfaat (KPM) yang jadwalnya dimajukan menjadi awal 2025, bantuan sembako untuk 18,8 juta KPM yang akan disalurkan setiap bulan mulai awal 2025, bantuan makanan bergizi gratis bagi 36.000 penyandang disabilitas dan 101.000 lansia yang juga dimulai awal 2025.

Dengan kata lain, menaikkan PPN menjadi 12% kemudian menawarkan solusi berupa bansos dan subsidi di tengah penolakan masyarakat dapat dikategorikan sebagai kebijakan populis otoriter. Pemerintah merasa cukup sudah memberikan bansos, subsidi listrik, dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN.  Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat.  Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN diabaikan. Kebijakan semacam ini tampak berpihak pada masyarakat luas dengan memberi kesan melindungi rakyat kecil, namun sebenarnya lebih mengutamakan kepentingan para elite, khususnya kaum pemodal (kapitalis) yang jumlahnya relatif kecil.

Hal serupa juga terlihat dalam pelaksanaan proyek strategis nasional berupa pembangunan infrastruktur secara masif. Proyek seperti jalan tol, bandara, kereta cepat, hingga kawasan industri tampak sebagai pencapaian besar yang membanggakan. Namun, di balik itu proyek-proyek tersebut lebih condong mengakomodasi kepentingan kapitalis dengan agresif membuka peluang investasi.

Kenaikan PPN tetap diberlakukan meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, tetapi sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat. Bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN, penderitaan rakyat tak terelakkan

Kepemimpinan sekuler kapitalisme saat ini sangat jauh dari gambaran kepemimpinan Islam. Islam telah menetapkan bahwa kepengurusan atas kemaslahatan serta kesejahteraan rakyat berada di pundak penguasa. Mereka wajib memenuhi dan menjamin kebutuhan rakyat. Inilah tugas pokok negara, yakni ri’ayah asy-syu’un al-ummah (mengurus berbagai keperluan umat).

Islam menjadikan penguasa sebagai raa’in dan junnah. Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Pemimpin sudah seharusnya melayani, menuntun, mengarahkan, menjamin, dan membantu terpenuhinya kebutuhan gembalaannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Kiasan ini digambarkan Rasulullah ﷺ dalam makna bahwa pemimpin laksana penggembala yang bertanggung jawab atas rakyat yang percaya kepadanya untuk mengurus kebutuhan mereka.

Seorang penguasa yang bertakwa kepada Allah, takut akan hukuman-Nya, dan merasa selalu diawasi oleh-Nya, baik dalam keadaan tersembunyi maupun terbuka, akan terhindar dari sikap tirani terhadap rakyatnya. Namun, ketakwaan tersebut tidak menghalanginya untuk bersikap tegas dan disiplin, karena dalam menjalankan amanah ia senantiasa berpegang teguh pada perintah dan larangan Allah. Sebagai penguasa, sifat tegas dan disiplin merupakan bagian dari tugasnya untuk menjaga ketertiban. Meski demikian, Allah Taala memerintahkan agar ia bersikap lemah lembut dan tidak memberatkan rakyat.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Ya Allah, siapa saja yang memimpin umatku kemudian menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Dan siapa saja yang memimpin umatku lalu bersikap lemah lembut kepada mereka, maka bersikaplah lemah lembut kepadanya.” (HR Muslim). (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyah Islamiyah, Juz II, hlm. 158).


Share this article via

99 Shares

0 Comment