| 273 Views

Polemik Sertifikasi Halal, Potret Buruknya Kapitalisme

Oleh : Najma Alhumaira
Aktivis Muslimah

Belakangan ini ramai perbincangan dijaga sosial media mengenai kontroversi sertifikasi halal pada produk-produk dengan nama produk yang menunjukkan sebutan sesuatu yang tidak halal. Namun mirisnya hal tersebut disetujui oleh MUI aman karena dzatnya halal. 

Sebagaimana yang dikutip dari WartaBanjar.com, JAKARTA -Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.

Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10). Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare.

“Perlu kami sampaikan juga untuk produk-produk dengan nama menggunakan kedua kata tersebut yang ketetapan halalnya dari Komisi Fatwa MUI adalah produk yang telah melalui pemeriksaan dan/atau pengujian oleh LPH [Lembaga Pemeriksa Halal], dengan jumlah terbanyak berasal dari LPH LPPOM sebanyak 32 produk. Selebihnya berasal dari lembaga yang lain,” jelas Mamat. (KumparanNEWS.com)

Rusaknya Sistem Kapitalisme

Inilah model sertifikasi halal dalam sistem kapitalisme.  Nama produk tidak dipermasalahkan  asal dzatnya halal. Padahal berpotensi menimbulkan kerancuan yang dapat membahayakan masyarakat, karena persoalannya adalah pada kehalalan dan keharaman suatu benda, yang dalam Islam merupakan persoalan prinsip. Dimana jelas diatur dalam Islam batasan dan standar dari kehalalan suatu benda berdasarkan syariat Islam. Selain itu, dalam sistem kapitalisme hari ini, sertifikasi halal pun menjadi ladang bisnis bagi pemerintah.

Apalagi dengan adanya aturan batas waktu sertifikasi yang menyebabkan masyarakat mengalami kesulitan hanya untuk mengurus berkas pengajuan sertifikasi halal kepada MUI.
Hal ini menyebabkan masyarakat menjadi resah dan tidak sedikit yang memilih untuk tidak mengajukan sertifikasi halal karena sistem yang rumit. Sehingga mengakibatkan kebingungan ditengah masyarakat untuk memilih produk makanan yang benar-benar halal untuk dikonsumsi.

Perbedaan fatwa yang diberikan oleh ulama MUI hari ini, membuktikan bahwa dalam sistem kapitalisme standar halal dan haram tidak lagi bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits, melainkan dari fatwa ulama yang disandarkan pada undang-undang buatan manusia yang jelas sangat lemah dan bertentangan dengan Syariat. Asas keuntungan yg menjadi corak kapitalisme begitu kental bahkan dalam persoalan halal dan haram nya suatu produk yang mengesampingkan hukum Islam dan mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya. Masyarakat selalu menjadi korban dalam polemik aturan di negeri ini. Sehingga masyarakat berjalan dalam keragu-raguan tanpa ada tuntunan yang jelas dari negara.

Pemerintah juga nyatanya tidak peduli rakyatnya hidup dengan ketakwaan atau penuh dengan kemaksiatan. Sektor kemaksiatan justru semakin digencarkan demi memperbesar pemasukan kas negara. Pada 2023, Menkeu Sri Mulyani pernah mencatat bahwa Jakarta ditopang oleh lima pajak konsumsi, salah satunya pajak hiburan (diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa) yang tumbuh 88,2% dari Rp750 miliar menjadi Rp1,41 triliun. Ini menegaskan keberpihakan pemerintah bukanlah pada kedaulatan syariat padahal mayoritas penduduk negeri ini adalah muslim.

Islam Mengatur Konsep Halal dan Haram

Islam memiliki aturan terkait benda/zat, ada yang halal ada yang haram. Standar yang dipakai untuk mengidentifikasi mana yang halal dan haram sangat jelas diatur dalam kitab fiqh para ulama Hadits bahkan di dalam Al-Qur'an.

Standar halal-haram produk wajib bersandar pada Al-Quran dan Sunnah, baik dari sisi zatnya, prosesnya, hingga penamaannya tidak boleh melanggar syariat. Sedangkan mekanismenya, bisa dengan sertifikasi halal atau bentuk lainnya yang akan dikaji mendalam oleh khalifah terkait efektivitas pengawasan pangan halal. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya jika Allah mengharamkan sesuatu, maka Dia juga mengharamkan nilai harganya.” (HR Ahmad).

Negara islam wajib menjamin kehalalan benda yang dikonsumsi manusia, karena negara adalah pelindung agama rakyat. Sertifikasi halal adalah salah satu layanan umum yang diberikan oleh negara, dengan biaya murah bahkan gratis. Negara memastikan kehalalan dan kethayyiban setiap benda/makanan dan minuman yang akan dikonsumsi manusia. 

Negara akan menugaskan para qadhi hisbah untuk rutin melakukan pengawasan setiap hari ke pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang pangan, ataupun pabrik. Para qadhi bertugas mengawasi produksi dan distribusi produk untuk memastikan kehalalan produk, juga tidak adanya kecurangan dan kamuflase. Jika terjadi kecurangan yang dilakukan penjual makanan akan diberikan sanksi oleh qadhi sesuai dengan kesalahan yang diperbuat. Ketika ada produk yang tidak memenuhi kualifikasi halal maka dengan tegas negara akan menghentikan produksi dan distribusi barang tersebut dan jelas tidak akan masuk kedalam pasar-pasar.

Sebagaimana dahulu pada zaman kepemimpinan Rasulullah SAW, Qadhi hisbah menemukan ketidakjujuran penjual yang mencampur susu dengan air sehingga terlihat lebih banyak tetapi membohongi penjual, maka langsung diberikan peringatan dan tidak diperbolehkan untuk memproduksi dan menjual produk susu tersebut. Hal ini lah yang seharusnya dilakukan oleh aparat negara dalam menjaga aktivitas jual beli masyarakat senantiasa dalam koridor hukum syara' dan produk yang terdistribusi jelas kehalalan nya baik dari dzat nya maupun penamaan dari produk nya.

Sistem Islam Layak Jadi Solusi

Oleh karena itu sudah selayaknya kita meninggalkan sistem kufur kapitalisme hari ini yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya tanpa memedulikan koridor halal dan haram berdasarkan Syariat Islam. Dengan kembali menerapkan sistem Islam, Negara Khilafah akan menjaga keberlangsungan adanya kontrol masyarakat yang senantiasa terikat dengan hukum syara' dan ketakwaan individu yang senantiasa dijaga oleh Khalifah. diterapkan sistem Islam yang mampu menjaga masyarakat senantiasa berada dalam koridor syariat dan terfasilitasi dalam mengonsumsi atau memakai produk yang halal dan thoyyiban baik dari dzat nya, pengolahan nya, hingga pendistribusian nya senantiasa sesuai dengan standar Hukum Syara' dalam kontrol negara Khilafah Islamiyyah.

Wallahu A'lam


Share this article via

39 Shares

0 Comment