| 94 Views

Petisi PPN 12% Tidak Diterima, Apakah Negara Tutup Telinga?

Oleh : Lestia Ningsih S.Pd

Pajak naik lagi, terus naik dan tidak pernah turun atau berhenti. Jelas ini sangat membebani rakyat mengingat ekonomi negeri ini yang terjun payung menghantam tanpa belas kasih. Penolakan dan berbagai aksi demo dilakukan tidak mengurungkan niat pemerintah untuk mempertimbangkan keputusan yang tidak empati pada kondisi rakyat saat ini

Sebagaimana yang dilakukan oleh Risyad Azhary selaku inisiator petisi tolak PPN 12 persen, bertindak sebagai perwakilan massa aksi untuk menyerahkan petisi yang telah ditandatangani lebih dari 113.000 orang secara online kepada pihak Sekretariat Negara.
Namun, Risyad mengungkapkan, respons yang diterima Setneg terkesan sebatas administratif. "Responsnya seperti biasa, hanya formalitas saja, secara administratif. Kami hanya menyerahkan surat pengantar dan petisi ini," ujar Risyad (beritasatu.com, 20/12/24)

Menjadi tanda tanya besar, ketentuan PPN 12% yang sebelumnya 11% dengan alasan demi pertumbuhan ekonomi negara namun beban pertumbuhan ekonomi dilimpahkan kepada rakyat adalah alasan klise. Apakah negara tidak dapat mendengar? Petisi dan beberapa aksi penolakan kenaikan pajak tersebut telah disuarakan oleh rakyat bahwa kenaikan pajak tersebut menjadi tambahan  beban besar dalam ekonomi rakyat.

Menganalisis bagaimana luas dan banyaknya SDA negeri ini, sebenarnya dalam katagori berlimpah ruah cukup untuk menjadi pemasukan negara sebagai modal untuk mengurusi rakyatnya. Faktanya negara justru menjadikan SDA negeri ini hanya sebagai ladang bisnis dan industri.

Beginilah hidup dalam sistem kapitalisme yang diemban oleh negeri ini, kemaslahatan bersandarkan untung dan rugi bukan karena kesadaran kepentingan rakyat negeri ini. Maka tidak heran negara hanya memberlakukan hukum bisnis kepada rakyatnya, tidak ada yang gratis, semua berbayar, sakit bayar, makan bayar, belajar bayar, bahkan matipun harus bayar.

Bukan rahasia lagi bahwa kita juga mengetahui bahwa para wakil rakyat  dan pemimpin dinegara adalah pengusaha yang berkedok penguasa. Kapitalisme-sekuler adalah sistem buatan manusia yang rusak dan merusak. Dan pajak diberlakukan sebagai penopang satu-satunya keuangan negara padahal sumber daya alam dikapitalisasi dikeruk dan dirusak yang berimbas pada rakyatnya sendiri.

Begitu pilu hidup dinegara kapitalisme saat ini, yang miskin makin miskin dan yang kaya semakin kaya. Berbeda dengan Islam yang menjadikan pendapatan negara menghindari pajak. Sebab negara akan membagi kepemilikan menjadi tiga bagian. 1) kepemilikan Negara, 2) kepemilikan umum, 3) kepemilikan pribadi. Kepemilikan negara dan umum berupa sumber daya alam dan fasilitas umum akan dikelolah penuh oleh negara dan tidak akan diserahkan oleh korporasi apalagi asing dan kemaslahatannya akan diserahkan secara total untuk kemaslahatan umatnya.

SDA yang dikelola secara penuh oleh negara tentu ini cukup bahkan lebih tanpa harus memberlakukan pajak. Pajak hanya diberlakukan jika dalam pos Baitul mal kosong maka negara akan memungut pajak, dan pungutan ini hanya berlaku bagi orang kaya saja dengan mengambil sisa hartanya setelah ia memenuhi kebutuhannya dan pajak tidak berlaku bagi orang miskin. Pajak juga bukan sebagai penopang wajib negara sebab pajak diberlakukan bersifat temporal dan accident saja sebab pajak adalah alternatif terakhir jika Baitul mal kosong.

Islam adalah sistem kehidupan yang Allah SWT ciptakan untuk kebaikan umat manusia, berikut kerusakan negeri ini bahkan dunia akibat manusia enggan menerapkan sistem yang telah Allah tetapkan. Maka tidak heran jika negeri kita yang kita cintai ini diterpa kesulitan, kesengsaraan, kemiskinan. Bahkan merusak manusia mulai dari akal dan mentalnya dan alam juga menampakan kerusakannya akibat mengikuti sistem yang merusak saat ini yaitu kapitalisme. Masihkah kita ingin mempertahankan sistem sekuler-kapitalisme saat ini?

Allahu a'lam bishowab


Share this article via

61 Shares

0 Comment