| 123 Views

Perbedaan Standar Kemiskinan Dalam Sistem Kapitalisme

Oleh : Ummu Alvin
Aktivis Muslimah

Kejomplangan terjadi dari pengukuran standar kemiskinan yang dilakukan oleh Bank Dunia dan BPS (Badan Pusat Statistik), menurut versi Bank Dunia bahwa penduduk miskin Indonesia mencapai 60,3% dari total penduduk atau sebesar 171,8 juta jiwa, sementara dari versi BPS angka kemiskinan hanya berada di 8,57% atau sekitar 24,06 juta jiwa per September 2024. Bank Dunia menetapkan bahwa ambang kemiskinan ekstrem pada pengeluaran  Rp 13.777 per hari atau sekitar Rp 413 ribu per bulan, sementara dari BPS menggunakan garis kemiskinan Rp 550 ribu per bulan per kapita. Perbedaan tersebut menyebabkan miskin dalam kategori global Bank Dunia namun belum terkategori miskin secara nasional dalam BPS.

Perbedaan angka dalam penetapan standar kemiskinan bukan hanya sekedar perbedaan angka akan tetapi ada fenomena kemiskinan yang tertutupi dan ini dikarenakan perbedaan sudut pandang dalam melihat kesejahteraan dan ini berakar dari ideologi yang digunakan oleh negara saat ini, sistem kapitalis yang mendominasi dunia saat ini menganggap apabila pemerintah mampu menekan kemiskinan serendah mungkin maka akan menunjukkan keberhasilan negara dalam mengentaskan kemiskinan, padahal pada kenyataannya masyarakat hidup serba kekurangan.

Sistem kapitalisme telah gagal dalam mensejahterakan rakyatnya, Kemiskinan justru terjadi secara struktural, kebebasan kepemilikan yang dijamin dalam sistem kapitalisme juga telah menciptakan ketimpangan ekonomi diantara rakyatnya, di antara sebagian besar rakyat yang hidup dalam kemiskinan terdapat segelintir elite yang memiliki kekayaan melebihi dari total kekayaan 100 juta penduduk termiskin di negeri ini. Penguasa dalam sistem kapitalis hanya bertindak sebagai regulator, abai akan tanggung jawabnya dalam mengurusi rakyatnya dalam menyediakan pendidikan serta kebutuhan hidup lainnya. Kapitalisme juga menyerahkan urusan pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya kepada mekanisme pasar, harga kebutuhan dasar rakyat seperti pangan, sandang dan papan serta kesehatan dan lain-lain bergantung kepada korporasi atau pasar.

Berbeda dengan Islam, dalam memandang kemiskinan, Islam memandang pemenuhan kebutuhan setiap rakyatnya adalah tanggung jawab negara dan tidak boleh diserahkan kepada korporasi ataupun swasta, negara lah yang wajib memastikan agar seluruh rakyatnya dapat terpenuhi kebutuhan dasarnya tanpa terkecuali. Penguasa dalam Islam adalah pengurus urusan rakyat, tidak boleh menjadi regulator saja, tapi juga harus menjadi fasilitator yang aktif dalam membangun sektor-sektor strategis seperti pertanian dan industri yang penting bagi kelangsungan dan kesejahteraan rakyatnya.

Islam juga memiliki mekanisme yang mengatur tentang kepemilikan harta agar tidak terjadi penumpukan kekayaan pada segelintir orang, negara lah yang berhak dalam mengelola sumber daya alam yang strategis, seperti minyak bumi, gas,tambang dan mineral dan dimanfaatkan hasilnya untuk kesejahteraan rakyatnya, sehingga kekayaan tidak terpusat pada segelintir orang yang menyebabkan masyarakat kehilangan hak-haknya.

Islam memiliki sistem ekonomi yang mengatur tentang zakat infaq sedekah dan wakaf, untuk distribusi dan pemerataan kekayaan di tengah-tengah Zakat wajib dikumpulkan untuk diberikan kepada 8 golongan yang berhak termasuk kepada fakir dan miskin Hal ini dilakukan agar tidak ada satupun anggota masyarakat yang diabaikan hak-haknya oleh negara. Dengan diterapkannya Islam secara kaffah maka angka kemiskinan akan dapat diminimalisir bahkan dihilangkan, kepemilikan umum juga akan dikelola hanya demi kemaslahatan umat,tidak diprivatisasi, kesejahteraan rakyat lah yang menjadi tolak ukur keberhasilan pemerintah di dalam Islam. Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,"Imam/Khalifah itu laksana penggembala dan dia bertanggung jawab terhadap gembalaannya (HR Al Bukhari dan Muslim)

Wallahu a'lam bish showwab.


Share this article via

15 Shares

0 Comment