| 141 Views
Penambahan Menteri Bukan untuk Kepentingan Rakyat

Oleh: Alin Aldini, S.S.,
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Ketuk palu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI akhirnya mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang perubahan atas UU Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara menjadi undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam Rapat Paripurna DPR ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Kompleks Parlemen, Jakarta, pada Kamis (19/9).
Namun, dengan pengesahan penambahan menteri tersebut banyak pakar yang tidak setuju, salah satunya, Pengajar Hukum Tata Negara dari Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah 'Castro' menyatakan penambahan pos kementerian merupakan upaya politik hukum untuk mengakomodasi kepentingan pemerintahan Prabowo Subianto. Menurutnya, jumlah kementerian 34 sebagaimana aturan sebelumnya pun terlalu banyak (CNNIndonesia.com, 20/9/20224).
Begitu juga, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah berpendapat menambah pos kementerian merupakan langkah yang keliru. Seharusnya yang ditambah adalah kantor dinas-kantor dinas. Kementerian sebagai wilayah administratif hanya perlu mengawal regulasi dan implementasi yang dibebankan pada kedinasan di wilayah (CNNIndonesia.com, 20/9/2024).
Di lain sisi, Sekretaris Jenderal Partai Gerindra Ahmad Muzani mengatakan kabinet gemuk yang diproyeksikan dibentuk pada pemerintahan Prabowo-Gibran dengan menambah nomenklatur kementerian akan lebih efektif sebab fokus kementerian akan menjadi lebih tersentral. Ia menilai kalangan profesional untuk mengisi kabinet zaken tak melulu harus dari unsur non-partai politik, sebab profesional bisa pula datang dari partai politik. Menurutnya, Gerindra memiliki sejumlah kader terbaik untuk mengisi kursi kabinet pemerintahan Prabowo-Gibran mendatang, namun komposisi-nya harus berbagi dengan partai politik anggota koalisi lainnya.
Namun, belajar dari sejarah Indonesia, kabinet atau kementerian dalam jumlah berapa pun dan dalam bentuk apa pun tidak menjamin kesejahteraan rakyat. Rakyat akan tetap sengsara. Hal tersebut tidak akan terjadi, jika rumah reyot yang disebut dengan demokrasi milik kapitalisme ini dibongkar dan direnovasi dengan sistem Islam.
Pasalnya, sistem pemerintahan yang berasal dari ideologi kapitalisme-liberal ini membuat siapa saja yang berkuasa wajib membagi ‘kue’ kekuasaannya, termasuk dalam hal menambah jumlah kursi menteri, ya tentu orangnya tetap itu-itu saja, kalau bukan keluarga ya partai politik yang punya afiliasi dengan para pemilik modal alias korporasi. Jadi yang diuntungkan ya tentunya mereka yang memiliki modal yang banyak.
Oleh karenanya, penambahan kementerian dalam pemerintahan Indonesia, bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan demi kepentingan orang-orang yang berada dalam lingkaran kekuasaan. Apalagi demokrasi memang sistem yang sarat dengan kepentingan atau manfaat, tidak ada kawan dan lawan yang sejati, yang ada hanyalah ‘kepentingan/manfaat’ yang abadi.
Ditambah dengan adanya politik dinasti yang membuat penguasa dibebankan oleh kalangan tertentu, atau biasa disebut dengan oligarki. Jelas sudah kekuasaan yang seharusnya milik rakyat kini hanyalah dimiliki oleh segelintir orang, yaitu oligarki. Kedaulatan yang digadang-gadang dari rakyat pun, nyatanya hukum bisa dibeli dan undang-undang bisa diganti-ganti sesuai kebutuhan oligarki. Tak ada koalisi atau oposisi yang abadi, kecuali korporasi yang memodali.