| 171 Views

Pembungkaman Aktivis, Semakin Masif

Oleh : Maheasy Ummu Mahir
Komunitas Muslimah Arsitek Peradaban

Kebebasan berpendapat dalam alam demokrasi sekarang semakin diredam. Slogan kebebasan mengeluarkan pendapat hanyalah pepesan kosong yang didendangkan para penguasa kala berkontestan meraup suara rakyat dalam pemilu. Ketika sudah menduduki kursi-kursi empuk kekuasaan justeru menjadi pejabat yang anti kritik bahkan membungkam suara rakyat ketika rakyat mengingatkan kebijakan penguasa yang dzalim. 

Baru-baru ini sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bogor melakukan aksi unjuk rasa di depan Istana Bogor. Salah satu tuntutan yang disampaikan adalah meminta Presiden Jokowi menindak pejabat yang antikritik terhadap aktivis, sebagaimana dilansir Kompas.com  (14/05/2024). Selain itu Ketua HMI Cabang Bogor menilai bahwa Pemerintahan Jokowi  jauh dari asas Good Governance yang seharusnya pemerintah berorientasi pada masyarakat bukan birokrat, bahkan menutup mata dengan berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat. Seperti kasus yang menimpa Haris dan Fatia yang melaporkan Menko Manves, Luhut Binsar Panjaitan dan yang terbaru pelaporan mantan Wakil Sekretaris Jendral PB HMI Akbar Idris oleh Bupati Bulukumba.

Tiga kasus pembungkaman tersebut merupakan bagian rentetan upaya peredaman kiritik terhadap pejabat yang sudah terjadi sebelumnya. Tentulah kita tidak lupa pada tahun 2021 begitu masifnya pembungkaman terhadap aktivis. Upaya pembungkaman meliputi penghapusan mural, perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, hingga penangkapan sewenang-wenang aparat dengan jerat UU ITE. Kita juga masih ingat pada tahun 2019 tiga petani di Blitar ditangkap korp Bhayangkara gegara protes karena kecewa lahannya diambil alih paksa buat kepentingan proyek, kendati akhirnya ketiganya dibebaskan lantaran kejadian tersebut menjadi sorotan dan komentar pedas warganet.

Hal ini berbanding terbalik dengan pemerintah yang menyatakan terbuka terhadap kritik, sebagaimana yang dinyatakan langsung oleh Presiden Jokowi dalam pidatonya di peluncuran laporan tahunan Ombusman RI tahun 2020 pada tanggal 2 Februari 2021 silam bahwa masyarakat harus lebih akitf menyampaikan kritik, masukan atau potensi maladministrasi dan pelayanan harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan. (idntimes.com, 19/10/2021).
Jadi, apabila pemerintah mengemukakan terbuka terhadap kritik, itu bak tong kosong nyaring bunyinya. Seleret fakta di atas merupakan bukti tidak terbantahkan bahwa sesungguhnya masyarakat telah dibuat ketakutan dalam melakukan kontrol dan koreksi atas jalannya pemerintahan hari ini. Mereka diintai dengan narasi negatif dan ancaman pidana dengan satu senjata ampuh berlabel UU ITE.

Kontrol dan koreksi terhadap jalannya pemerintahan sesungguhnya merupakan keniscayaan. Lord Acton seorang sejarawan dan politis Inggris pernah mengatakan bahwa “Power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely” maka dari itu kritik terhadap pejabat negara merupakan suatu bentuk partisipasi publik dalam pengawasan terhadap kekuasaan yang memiliki kecenderungan korup. Aa Gym sampai menyebut kritik sebagai aset dunia dan akhirat, tentu dalam Islam mengajarkan untuk meluruskan yang bengkok serta mengoreksi yang salah.

Namun begitulah wajah asli demokrasi. Realitas demokrasi sebenarnya bergantung pada siapa yang berkuasa. Apabila corak kepemimpinannya diktator, demokrasi menjadi alasan pembenar atas segala kebijakan dan tindak-tanduk penguasa. Sedangkan apabila corak kepemimpinannya liberal, maka gaya kepemimpinananya adalah demokrasi liberal.

Demokrasi mahsyurnya dengan adagium “Suara rakyat, suara Tuhan”. Namun yang terjadi sesungguhnya yakni suara rakyat dibeli dengan janji, pencitraan, dan rayuan materi supaya rakyat menentukan pilihan para calon peserta pemilu. Suara mayoritas yang disebut oleh DPR itu sesungguhnya suara partai politik dengan mengatasnamakan diri sebagai wakil rakyat. Sedangkan keputusan dan kebijakan yang diambil oleh DPR selajuh ini tidak mengakomodir kepentingan rakyat. 

Seharusnya apabila konsisten dengan demokrasi, maka tidak perlu adanya upaya pembungkaman dan peredaman kepada rakyat yang kritis, tidak ada kriminalisasi terhadap aktivis, tidak ada pembubaran ormas yang konsisten menyuarakan amar makruf nahi mungkar, dan tidak perlu juga melakukan tuduhan-tuduhan keji terhadap aktivis Islam, serta tidak perlu pula memonsterisasi ajaran Islam sebagai paham radikal.

Hal ini merupakan segelentir cacatnya demokrasi. Yang tentunya sangat jauh berbeda dengan Islam, mulai dari prinsip kebebasan sampai kedaulatan. Kedaulatan dalam Islam bukan di tangan rakyat, namun Allah-lah sebagai pemilik hukum Islam. Sedangkan mengkritik dan mengontrol penguasa, merupakan aktivitas yang sudah menjadi kebiasaan bagi kaum muslim dalam melaksanakan amar makruf nahi mungkar. Pada masa kekhalifahan, para pemimpin Islam merespon kritik rakyat dengan sikap bijak dan lapang dada. 

Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ketika dikritik keras oleh seorang wanita yang menolak kebijakan beliau tentang mahar laki-laki yang akan menikahi wanita hendaknya tidak lebih dari 400 dirham. Namun Umar bin Khattab dengan bijak menerima kritik dari wanita tersebut dan  berkata ”Tiap orang lebih paham ketimbang umar”. 

Pada waktu yang lain, seorang Arab Badui pernah mendatangi Umar bin Khattab dan mengacungkan pedang dihadapan beliau dan berkata ”Seandainya engkau wahai Khalifah benar, maka aku akan menaatimu. Namun seandainya engkau menyimpang, maka pedang ini yang akan meluruskanmu”. Ketika Umar RA mendengar kalimat ini beliau mengucapkan alhamdulillah dan bersyukur karena masih ada rakyat yang berani mengingatkan beliau apabila beliau menyimpang dari syariat Allah.

Dalam Islam, masukan, saran dan kritik digolongkan dalam dua hal.  Pertama, saling menasihati. Nasihat dilaksanakan dalam kebaikan dan kebenaran, bukan dalam keburukan dan kesesatan. Adab dalam menyampaikan nasihat adalah bersifat privasi, tidak dilakukan pada ruang terbuka atau pada tempat umum. Penyampaian nasihat juga dilakukan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti. 

Kedua, muhasabah lil hukkam, yakni mengoreksi kebijakan penguasa. Muhasabah dilakukan rakyat kepada penguasa yang berbuat zalim dan melanggar syariat Allah. Rakyat melakukan muhasabah kepada penguasanya dalam rangka mencegah terjadinya kemaksiatan dan kezaliman yang dilakukan oleh penguasa. Aktivitas muhasabah ini merupakan kewajiban bagi rakyat yang pahalanya setara dengan jihad. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. “Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran di hadapan penguasa yang zalim.” (HR. Abu Daud no. 4344, Tirmidzi no. 2174, Ibnu Majah no. 4011).

Maksud dari hadis tersebut menurut Al-Mubarakfuri dalam kitab Tuhfatul Ahwadzi (6/330) yakni menegakkan amar makruf nahi mungkar, memperjuangkan kebenaran, dan melawan kebatilan yang dilakukan penguasa zalim, merupakan bentuk jihad yang paling mulia, baik hal tersebut dilakukan secara langsung dengan lisan, tulisan, dan berbagai sarana lainnya. Wallahu a’lam bishowab.

 


Share this article via

76 Shares

0 Comment