| 86 Views
Pajak Membebani Rakyat

Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I.,
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Allah SWT telah menyiapkan semua kebutuhan umat-Nya di dunia ini dengan fasilitas yang tidak terhitung nilainya. Tetapi tidak ada satu pun beban berlebih yang diharapkan Allah SWT sebagai balasan atas nikmat yang diberikan kepada hamba-Nya kecuali hanya diperintahkan untuk taat, atau hanya memerintahkan 2,5 % untuk menyerahkan zakat dari harta yang diperoleh atau dimiliki.
Namun, sungguh sangat berbeda hidup di dunia ini terutama di Indonesia yang tidak pernah terlepas dari pungutan pajak ke pungutan pajak, karena inilah salah satu sumber pendapatan bagi negara. Pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme merupakan sebuah keniscayaan. Lebih dari 80 persen pembiayaan negara bersumber pada pajak. Padahal jika kita kaji lebih jauh, Indonesia memiliki begitu banyak sumber daya alam, yang bisa dijadikan sebagai sumber pendapatan negara yang besar.
Pajak di Indonesia sudah ada sejak masa lalu, bahkan sejak masa klasik atau masa kerajaan. Dengan beban pajak yang diwajibkan kepada rakyat tetapi fasilitas hidup yang diterima tidak sebanding, hingga besaran pajak jauh lebih besar dari zakat. Seperti saat ini, pemerintah menetapkan pajak sebesar 12 %. Kebijakan ini sungguh sangat terasa bagi rakyat sebagai sapi perah yang diperas tanpa ampun, beginilah hidup di negara kapitalis. Pajak sangat membebani rakyat.
Memang, sistem ekonomi kapitalis memandang bahwa manusia menjadi pemilik satu-satunya terhadap harta yang diusahakan. Kata lainnya, tidak ada hak orang lain atas harta tersebut. Dalam bidang ekonomi, sistem ekonomi kapitalis memberi kebebasan penuh kepada tiap orang untuk melakukan kegiatan ekonomi, yakni produksi, distribusi, serta konsumsi, dan sistem ekonomi kapitalis memberikan kebebasan hak milik secara individual atas harta kak milik perseorangan menjadi hal penting dalam sistem ekonomi kapitalis.
Dalam perekonomian ini, tidak ada hak milik yang berfungsi sosial atau yang dapat digunakan secara bersama oleh masyarakat luas. Kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi di dalam sistem ekonomi kapitalis memberikan kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi, seperti mendirikan usaha dan mencari keuntungan sebesar mungkin dan negara tidak boleh ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi.
Pemerintah memberi kebebasan bagi para pemodal untuk mengembangkan usahanya. Dengan demikian, masyarakat bebas membentuk kegiatan usaha, serta dapat memunculkan banyak inovasi kreatif. Kemakmuran masyarakat juga meningkat, karena harta yang diusahakan atau dihasilkan akan menjadi hak milik perseorangan atau individual. Itu semua menyebabkan kesenjangan sosial serta sikap individualisme yang tinggi. Kesenjangan sosial bisa terjadi karena hanya masyarakat yang memiliki modal dan mampu mengembangkan kegiatan usahanya yang akan hidup makmur. Terlebih lagi dengan adanya persaingan atau kompetisi bebas.
Terkait kebijakan pemerintah yang menaikkan PPN 12 persen dikatakan tidak menyasar semua barang dan jasa, hanya berlaku pada barang mewah saja. Namun, masyarakat masih mempertanyakan definisi barang mewah yang dimaksud, sebab pada akhirnya kenaikan pajak 12 persen menyasar hampir semua barang dan jasa terkena dampaknya. Maka tidak heran jika kenaikan PPN menuai pro kontra di tengah masyarakat luas.
Definisi mewah pada PPN 12 persen sendiri masih menjadi perbincangan, karena pengecualian hanya terbatas pada bahan pangan, pendidikan, kesehatan serta transportasi, itu pun masih ada yang di luar daftar seperti pangan, pendidikan serta kesehatan premium tetap mengalami kenaikan. Di luar itu, alat mandi, cuci, tepung, bumbu, alat elektronik, transaksi elektronik dan berbagai kebutuhan lainnya mengalami kenaikan. Yang diyakini pasti akhirnya rakyatlah yang akan dibebankan sepenuhnya.
Dan, kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber dana pembangunan. Diterapkan kepada siapa saja karena merupakan kewajiban rakyat. Meskipun begitu, kapitalisme sering tidak berlaku adil kepada rakyat. Bahkan, dalam sistem ini, negara berperan sebagai regulator dan fasilitator yang sering berpihak kepada para pengusaha dan abai kepada rakyat. Pengusaha mendapat kebijakan keringanan pajak, sementara rakyat dibebani berbagai pajak yang makin memberatkan hidup rakyat. Maka, kewajiban pajak menyengsarakan rakyat, karena hasil pajak tidak kembali kepada rakyat untuk menyejahterakan, tapi hasilnya sering dikorupsi pejabat.
Padahal, dalam Islam pajak dikatakan batil karena pungutan tersebut dilakukan dengan memaksa, sebagai suatu kewajiban, tanpa melihat kemampuan orang yang dibebani pajak apakah ia mampu dan ridha. Di luar itu, pembiayaan negara seharusnya menjadi kewajiban negara sebagai pengurus. Sebagaimana Islam mengatur pembiayaan negara melalui baitul maal.
Baitul maal merupakan jantung sebuah negara, pendapatan dan pembelanjaan negara bersandar pada izin Allah SWT melalui wewenang Khalifah. Penerimaan negara diperoleh dari 3 pos yakni, yakni pos fa’i dan kharaj (meliputi ghanimah, anfal, khumus, jizyah dan lainnya), pos kepemilikan umum (meliputi minyak dan gas, listrik, tambang, laut, sungai hutan, padang rumput dan lainnya) dan pos shadaqah (meliputi shadaqah wajib, seperti zakat harta, zakat perdagangan perdagangan dan lainnya).
Oleh karena itu, pungutan pajak dalam Islam hanya diambil jika kondisi baitul maal kosong, itu pun hanya dalam kondisi darurat dan kapan negara boleh memungut pajak, merupakan alternatif terakhir, dan hanya dipungut pada rakyat yang mampu/kaya.
Melalui penerapan Islam kaffah, negara akan memperoleh pendapatan yang besar dan melimpah sehingga memungkinkan mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memaksimalkan Pembangunan tanpa membebani rakyat. Dalam Sistem Islam menetapkan negara bertindak sebagai raa'in yang mengurus rakyat, memenuhi kebutuhannya dan menyejahterakan, membuat kebijakan yang membuat rakyat hidup tenteram.