| 132 Views
Pajak Kendaraan Dipalak, Bukti Negara Tidak Melayani Umat

Oleh : Risma Ummu Medinah
Para pemilik kendaraan bermotor yang nunggak bayar pajak kendaraan kali ini dibuat ketar ketir. Pasalnya ada rencana tim pembina Samsat yang akan mendatangi rumah secara door to door juga ada penegakan hukum yang diterapkan untuk mengingatkan pemilik kendaraan bermotor agar taat membayar pajak.
Menurut Kakorlantas Polri Irjen Aan Suhanan tingkat kesadaran masyarakat pemilik kendaraan untuk membayar pajak masih minim sekali. Dari 165 juta pemilik kendaraan bermotor kurang dari 50 persen yang sudah menunaikan pajak. Diharapkan kepatuhan membayar pajak dan pengesahan STNK ini adalah untuk mempermudah Korlantas mendapatkan data kendaraan yang lebih valid.
Kewajiban membayar pajak kendaraan ini sudah di sahkan melalui Undang Undang no 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Dalam pasal 4 disebutkan wajib pajak bagi kendaraan bermotor adalah orang privadi atau badan yang memiliki kendaraan bermotor(derik.otto.co, 7 Nov 2024).
Namun berbeda perlakuan kepada para perusahaan besar baik domestik atau asing. Pemerintah melalui Menteri Investasi dan Hilirisasi sekaligus Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan Roeslani, berencana untuk memperpanjang tax holiday sampai tahun 2025.. Hal ini dilakukan karena pemerintah optimis akan meningkatkan perekonomian global dengan mendorong pertumbuhan aliran investasi asing yang harus terlihat signifikan. Yang akan berdampak juga terhadap penciptaan lapangan kerja,keberlanjutan bisnis di tengah persaingan bisnis yang semakin kompetitif. (www.cnbcindonesia.com, 4 Nov 2024)
Terlihat jelas pemerintah malah memihak kepada para perusahaan besar dengan diberikan keringanan pajak. Sementara rakyat jelata terus dipalak harus membayar pajak sampai dikejar untuk menunaikannya. Perealiasasian pajak yang ditunaikan oleh rakyat ternyata tidak berkorelasi dengan tingkat kesejahteraan yang diterimanya.
Terlebih di era resesi ekonomi global hari ini yang sangat diasakan dampaknya oleh rakyat kecil. Sudahlah mereka hidup sangat kesusahan untuk mecukupi kebutuhan pokok, apalagi untuk membayar pajak. Hal ini membuat mereka semakin tercekik dan terbebani sehingga hidup dalam keterpurukan. Negara pun tidak menunaikan kewajibannya untuk menjamin tecukupinya kebutuhan pangan ,sandang dan papan bagi seluruh rakyat.
Namun untuk para kapitalis justru negara semakin membuka lebar -lebar kran investor dengan alasan klise untuk pertumbuhan ekonomi. Nyatanya itu adalah hanya untuk kepentingan para kapitalis (pemilik modal) bukan untuk kesejahteraan rakyat.
Begitulah hidup di alam sekuler kapitalis. Pajak menjadi sumber pendapatan negara yang sangat diandalkan. Namun sangat miris pajak sebagai pemasukan negara malah dibebankan kepada rakyat jelata. Karena sejatinya para investor (kapital) adalah penguasa dalam sistem ekonomi kapitalis. Mereka berkuasa untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif sesuai keinginannya.
Terlihat hari ini para penguasa semakin bergantung kepada para investor khususnya asing. Apalagi sistem ekonomi negara kita hari tegak atas landasan ribawi,maka tidak heran para kapitalis akan semakin diuntungkan.
Kebijakan Khilafah dalam urusan pajak
Berbeda dalam pandangan syariat Islam, pajak tidak dijadikan sebagai pos / sumber pemasukan bagi negara. Karena negara punya banyak potensi yang bisa dikelola untuk dijadikan sebagai sumber pemasukan negara. Negara dengan penerapan sistem ekonomi Islamnya akan mampu mandiri dan berdaya tanpa pajak.
Dan dari situlah negara mampu untuk menunaikan kewajibannya dalam memenuhi kebutuhan pokok seluruh rakyatnya.
Pajak tidak diwajibkan dan tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan bagi negara khilafah.
Istilah pajak dalam Islam dikenal dengan dharibah. Syekh Abdul Qadim Zalum mendefiniskan dharibah sebagai harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslimin ketika kondisi negara tidak ada harta untuk membiayai urusan umat.
Jadi penarikan pajak dalam Khilafah adalah bersifat insidental dan instrumental. Artinya insidental berarti tidak diambil secara tetap, karena tergantung kebutuhan.yang dibenarkan syara untuk mengambilnya.
Dan bersifat instrumental artinya penunaian dharibah ini menjadi instrumen dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapi negara.
Kewajiban menunaikan dharibah dalam kondisi insidental dan instrumental ini juga diatur sedemikian rupa. Maka khilafah menetapkan tidak semua kaum muslim wajib membayar pajak apalagi non muslim. Kaum muslim pun dilihat kondisi nya. Jika benar benar mempunyai kelebihan harta setelah dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekundernya maka mereka wajib bayar pajak.
Mekanisme penghitungan nya adalah pendapatannya dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder pribadi. Kemudian dikurangi biaya kebutuhan pokok dan sekunder keluarga yaitu istri dan anak . Kemudian dikurangi lagi biaya kebutuhan orangtua, saudara, mahram yang menjadi tanggunagnnya. Setelah ada kelebihan dari pengurangan prioritas nafkah dari pendapatanya maka bagi dia berlaku wajib pajak.
Oleh karena itu pajak dalam Islam tidak akan sampai menghalangi untuk kaya, atau untuk menekan pertumbuhan atau untuk menambah pendapatan negara. Negara khilafah tidak akan memungut pajak secara langsung seperti PPN, pajak barang mewah, pajak jual beli, pajak hiburan dll.
Begitupun Khilafah tidak akan memungut biaya apapun dalam pelayanan publik seperti biaya pendidikan, kesehatan dan keamanan. Khilafah tidak akan mengambil biaya admisnitrasi dan denda dalam layanan publik seperti PLN, PDAM dan juga dalam biaya pembuatan SIM, KTP, KK dan lainnya.
Begitulah pengaturan pajak dalam Syariat Islam yang tidak akan menjadikan rakyat sebagai subjek bagi pendapatan negara. Dalam khilafah biaya administrasi yang disebutkan diatas menjadi kewajiban negara untuk melayani rakyatnya. Subhanallah, Islam menjadi rahmat bagi seluruh alam ketika diterapkan dalam setiap aspek kehidupan.
Wallahu a'lam bishawab