| 53 Views

Pagar Laut, Bukti Korporatokrasi Dalam Demokrasi

Oleh : Reni Susanti, S.AP

Rapat antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) untuk membahas persoalan pagar laut dan sejumlah isu kelautan harus segera ditindaklanjuti secara konkrit agar masalahnya tidak semakin berlarut-larut.

Langkah KKP yang melakukan respons terhadap pagar laut karena tidak memiliki izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL) belum memuaskan publik. Apalagi pihak KKP mengakui pihaknya masih punya kelemahan dalam pengawasan ruang laut. Begitu pun sanksi yang akan diberikan kepada pihak yang mengkapling wilayah laut hanya berupa sanksi administrasi berupa denda yang murah.

Mafia pagar laut yang marak di berbagai daerah kini mencuatkan paradoks. Sumber daya kelautan, pesisir dan pulau kecil kini bisa dikelola seenaknya tanpa campur tangan pemerintah daerah bahkan tanpa partisipasi penduduk lokal.
Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia dengan potensi sumberdaya kelautan yang mencapai 3.000 triliun rupiah per tahun belum terkelola dengan baik. UU Nomor. 11/2020 tentang Cipta Kerja mereduksi perizinan dan kemudahan investor. (Netizen. 2/02/2025)

Sebanyak enam pejabat di lingkungan Kementerian ATR/BPN telah dicopot dari jabatannya buntut kasus pagar laut sepanjang 30 km di Kabupaten Tangerang, sedangkan dua lainnya disanksi berat. Tidak dijelaskan secara rinci mana pejabat yang dicopot dan mana yang dikenakan sanksi berat. Namun, yang pasti, berdasarkan keterangan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, pada Kamis (30/1/2025), salah satu yang terkena imbas dari kasus pagar laut adalah mantan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang berinisial JS. "Kemudian SH, eks Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran. Kemudian ET, eks Kepala Seksi Survei dan Pemetaan. Kemudian WS, Ketua Panitia A. Kemudian YS, Ketua Panitia A. Kemudian NS, Panitia A. Kemudian LM, eks Kepala Survei dan Pemetaan setelah ET. Kemudian KA, eks PLT Kepala Seksi Penetapan Hak dan Pendaftaran," papar Nusron. (Kompas.com. 31/01/2025)

Mencopot pejabat internal seharusnya cuma menjadi langkah awal. Pemerintah tak boleh puas hanya dengan menjatuhkan sanksi etik kepada para pejabat di level daerah. Hal ini harus dilanjutkan dengan melakukan tindakan penegakan hukum pidana. Indikasi adanya pelanggaran hukum dan mal administrasi dalam pembangunan pagar laut yang punya Hak Guna Bangunan (SHGB) dan sertipikat hak milik (SHM) sudah terang-benderang.

Pasalnya, hampir sebulan kasus ini bergulir, belum ada nama-nama yang diumumkan untuk dilidik aparat penegak hukum. Tidak pula ada pengumuman resmi soal pelaku pemagaran laut di Tangerang. Padahal, Kementerian ATR/BPN sudah membuka nama-nama korporasi pemegang SHGB dan SHM, yakni PT Intan Agung Makmur, PT Cahaya Inti Sentosa, serta bidang lain milik perorangan. Bahkan, sudah ada puluhan HGB yang dicabut karena terbukti ilegal dan menyalahi aturan.

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tak jauh berbeda. KKP menyampaikan secara tegas bahwa pagar laut itu tak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL). Tetapi KKP justru menyatakan cuma mampu memberikan denda administratif pada pelaku jika kelak terbukti. Mereka mengeluarkan perhitungan denda sebesar Rp18 juta per kilometer atas pembangunan pagar laut sepanjang 30 km di Tangerang, Banten. (tirto.id,31/01/2025).

Sekuler Kapitalisme Biang Permasalahan

Kasus pagar laut di berbagai tempat ini sejatinya sudah jelas ada pelanggaran hukum, namun  tidak segera ditindak lanjuti dan dibawa dalam aspek pidana. Bahkan nampak adanya beberapa pihak yang dijadikan kambing hitam, namun otaknya tidak tersentuh oleh hukum. Para pejabat pun sibuk bersilat lidah dan berlepas tangan.  

Kasus ini, sebagaimana juga kasus penjualan area pesisir laut di berbagai pulau menunjukkan kuatnya korporasi dalam lingkaran kekuasaan, atau yang disebut dengan istilah korporatokrasi. Negara kalah dengan para korporat yang memiliki banyak uang.  Bahkan aparat/pegawai negara menjadi fasilitator kejahatan terhadap rakyat, bekerja sama melanggar hukum negara membawa kemadaratan buat rakyat dan mengancam kedaulatan negara. Prinsip liberalisme dalam ekonomi kapitalisme membuka peluang terjadinya korporatokrasi, munculnya aturan yang berpihak pada oligarki.

Islam menjamin Kepemilikan Umum

Negara seharusnya berfungsi sebagai raa'in dan junnah bagi rakyat. Semua ini akan terwujud ketika aturan bersumber pada hukum syara, dan bukan akal manusia.

Islam memiliki sistem ekonomi Islam dengan konsep kepemilikan lengkap dengan aturan pengelolaannya. Islam juga memiliki sistem sanksi yang tegas bagi pelanggar hukum. Semua sama di hadapan hukum.

Dengan prinsip kedaulatan di tangan syara, maka korporatokrasi dapat dicegahApalagi Islam menetapkan penguasa wajib menjalankan aturan Islam saja, dan haram menyentuh harta rakyat atau memfasiliasi pihak lain mengambil harta miliki rakyat.

Allahu a’lam.


Share this article via

34 Shares

0 Comment