| 222 Views

Negara Nir Pajak Mampukah Diwujudkan?

Oleh: Tati Sunarti, S.S

Kenaikan PPN atau Pajak Pertambahan Nilai akan direalisasi di awal tahun 2025, tepatnya tanggal 1 Januari besok. Naiknya PPN ini memang sudah menjadi kebijakan bertahap pemerintah sejak beberapa tahun lalu. 

Kebijakan ini sebetulnya menuai pro dan kontra. Aliansi warga sipil yang diinisiasi oleh Risyad  Azhary bahkan menggelar aksi damai di depan Istana Negara, Jakarta Pusat, demi menyampaikan aspirasi dan petisi penolakan kenaikan PPN tersebut. 

Banyak ragam aksi yang dilakukan oleh Aliansi warga sipil yaitu berupa aksi damai, penggalangan petisi, kampanye dengan poster dan stiker guna tersampaikannya penolakan itu pada pemerintah. Petisi penolakan naiknya PPN ditandatangani oleh 113.000 koresponden dan diserahkan pada Sekretriat Negara (Setneg) pada aksi damai itu. Namun, Risyad menyebutkan respon dari Setneg nampak sebatas administrasi saja. Aliansi warga sipil akan tetap mengawal kebijakan ini hingga apakah aspirasi mereka didengar ataukah diabaikan (beritasatu.com, 20/12/2024).

Pemerintah dalam hal ini, melalui Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian, Airlangga Hartanto, mengatakan terdapat beberapa alasan mengapa PPN dinaikan dari 11persen menajdi 12 persen.

Kenaikan PPN ini dimaksudkan untuk menopang program-program pemerintah diantaranya adalah program Makan Bergizi Gratis, perkembangan infrastruktur, sektor pendidikan, kesehatan dan perlindungan sosial masyarakat. Semua itu membutuhkan anggaran APBN di tahun 2025 hingga mencapai 71 triliun (beritasatu.com, 16/12/2024).

Kenaikan PPN meski akan mulai berlaku awal tahun mendatang, tentu meresahkan masyarakat. Karena, tidak dapat dipungkiri bahwa kenaikan PPN ini akan memberikan efek domino, dan imbasnya berdampak pada masyarakat  di semua kalangan. Meskipun PPN 12 persen tidak berlaku untuk semua barang-barang pokok kebutuhan masyarakat (bbc.com, 21/12/2024). 

Di lain pihak, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, Febrio Kacaribu menjamin dan memastikan bahwa dampak kebijakan ini sangat minimal dirasakan. Jika saat naiknya PPN dari 10 persen menjadi 11 persen, inflasi yang terjadi adalah 1,6 persen. Maka naiknya dari 11 persen menjadi 12 persen, inflasi akan dirasakan sebanyak 0,2 persen. 

Untuk meminimalisir dampak naiknya PPN tahun 2025 mendatang, pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah stimulus ekonomi seperti diantaranya  bantuan pangan, memberikan diskon tarif pada pengguna listrik, memutihkan pajak penghasilan untu karyawan buruh sektor tekstil, pakaian, alas kaki. Pembebasan PPN juga diberikan pada warga yang hendak membeli rumah. Semua stimulus ekonomi itu dilakukan selama satu tahun. 

Kebijakan menaikan PPN, walaupun pada sektor tertentu sepertinya akan tetap memberatkan ekonomi rakyat. Karena dalam sistem ekonomi di sebuah negara apapun kebijakan yang berlaku pada satu sektor maka akan berimbas pada semua sektor, baik cepat ataupun lambat. Karena semua saling terkait satu sama lain. Jelas saja ini akan menjadikan tahum 2025 mendatang menjadi tahun dimulainya kehidupan yang semakin sulit.

Stimulus ekonomi memang nampak meringankan, namun perlu dicatat bahwa itu berlaku hanya untuk satu tahun. Setelahnya stimulus tersebut akam dihentikan. Langkah ini Bak obat penghilang rasa sakit jika dihentikan, rasa sakit tetap akan terasa, obat seperti ini jelas bukanlah penyembuh. Efek sampingnya bersifat temporal, begitupun dengan stimulus ekonomi yang tidak lantas menanggulangi efek kenaikan PPN.

Pemerintah seyogyanya mengkaji alternatif lain sebagai jalan agar ekonomi negara menguat. Misalnya dengan menguatkan kedaulatan ekonomi melalui pengelolaan sumber daya alam secara mandiri seperti yang termaktub dalam syariat Islam. Betul. Artinya tidak ada dan tidak diberikan kepada pihak manapun untuk swastanisasi di sektor penting dan itu merupakan hajat hidup warga negara.

Sistem ekonomi Islam meniscayakan pengaturan sumber daya alam oleh negara langsung karena itu tidak bisa lepas dari kebutuhan dan kemaslahatan rakyat.

“Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad)

 Apa sajakah sektor penting yang seharusnya dikelola oleh negara secara mandiri tanpa campur tangan pihak swasta? Pertambangan baik batubara, emas, dan mineral lainnya. Kemudian, kekayaan alam hutan, laut, dan juga sungai. 

Pengelolaan sumber daya alam tersebut di atas sudah lebih dari cukup untuk menguatkan ekonomi negara, bahkan tanpa pungutan pajak sekalipun. Penting sekali memahami bahwa semua sektor yang berkaitan dengan kemaslahatan atau kepentingan rakyat rawan menimbulkan kemadhorotan jika diswastanisasi. Hal itu akan timbul monopoli kekayaan di segelintir orang. 

Pengelolaan sumber daya alam bahkan sudah diatur dalam Undang-undang Dasad 1945 pasal 33 ayat 3 bahwan air, bumi, dan segala yang terkandung di dalamnya dikuasai negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. 

Jadi, apakah ekonomi negara akan menguat meski tanpa pajak? Jelas bisa. Cara atau jalan yang ditempuh mungkin akan sangat sulit, tapi hal itu bisa dilakukan oleh lingkup negara. Mengalihkan sumber APBN dari pajak ke pemberdayaan sumber daya alam akan menjadi langkah baik agar tidak membebani rakyat lebih banyak lagi.

Bahkan Islam telah menyodorkan seperangkat sistem yang sangat pasti bisa diadopsi. Islam juga mendorong penguasa sebagai raa’in dan junnah. 

Islam menetapkan bagaimana profil penguasa dalam Islam dan juga mengatur bagaimana relasi penguasa dengan rakyatnya. Penguasa dalam Islam wajib mengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan individu per individu. Islam mewajibkan penguasa membuat Kebijakan yang tidak menyulitkan hidup rakyat.

Islam pun menjadikan pajak sebagai pilihan terakhir dalam kondisi kritis, dan terjadi kekosongan APBN. Itupun diberlakukan pada orang-orang kaya saja. Artinya pajak tidak dipungut dari seluruh warga negara.

Wallahu'alam


Share this article via

75 Shares

0 Comment