| 265 Views

Mungkinkah Dana Haji Dikorupsi?

Oleh : Ummu Karimah
Guru Honorer 

Beberapa waktu lalu DPR RI membentuk panitia khusus (Pansus) hak angket ibadah haji 2024. Pansus ini diharapkan dapat membongkar masalah pelaksanaan haji. Salah satunya adalah dugaan penyelewengan dana haji.

Pansus ini dibentuk menyusul adanya berbagai temuan tim pengawas (Timwas) DPR RI dalam penyelenggaraan ibadah haji 2024 yang dilaksanakan pemerintah.

Anggota pansus haji dari PKB, Luluk Nur Hamidah mengatakan, pansus hak angket ini diharapkan bisa membongkar masalah pelaksanaan haji. "Ada informasi yang kami terima, jika pengalihan haji reguler ke haji khusus sebanyak 50% itu terindikasi ada korupsi. Kami akan dalami dan selidiki, apa benar informasi yang kami terima itu. Kami akan panggil para pihak terkait hal itu", imbuh Luluk. (Tempo, Minggu 22/7/2024).

Timwas DPR menemukan adanya jemaah haji yang harus membayar 300 juta untuk diberangkatkan dengan kuota haji khusus setelah ditakut-takuti bahwa keberangkatan mereka akan ditunda meski mereka sudah membayar 160 juta sebagai pengguna kuota haji khusus.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan bakal mendalami laporan dugaan korupsi kuota haji' 2024. (The Topics, Muslimah Media Hub, 4 Agustus 2024).

Persoalan korupsi di negeri ini memang tiada habisnya.
Meski belum terbukti dugaan penyalahgunaan dana haji oleh Kemenag, tetap menjadi perhatian besar. Pasalnya kementerian inilah yang bertanggung jawab atas dana haji yang cukup besar milik rakyat yang sudah mendaftar diri berhaji.
Hal ini menjadi isu tahunan musim haji selain mahalnya biaya haji, antrian yang panjang, dan pelayanan yang tidak maksimal.

Kita bisa amati, pembedaan dua jenis haji adalah biang kisruhnya. Diskriminasi ini membuka celah korupsi bagi pejabat Kemenag, anggota DPR, serta biro perjalanan yang berebut mendapatkan kuota terbanyak melalui persetujuan Kemenag.

Perkara ibadah, kok, dikorupsi? Pertanyaan seperti ini tentu sering kita dengar. Ibadah yang kental dengan spirit keimanan identik pula dengan kesucian dalam pengurusannya. Kesan yang masyarakat inginkan, bahwa haji adalah ibadah yang penuh kesadaran dan kepatuhan pada Sang Pencipta, serta tuntas pengelolaannya di tangan orang-orang amanah.

Hanya saja, harapan masyarakat itu harus pupus di tengah sistem yang tidak peduli akan moralitas. Ketika ibadah menjadi ladang korupsi, ekspektasi masyarakat harus terpaksa berbalik arah. Miris, masyarakat harus berhadapan dengan realitas bahwa selama ada celah untuk menilap dana umat, pejabat korup akan menjadikannya sebagai bancakan.

Penyelenggaraan ibadah haji dalam sistem sekuler kapitalis akan selalu menimbulkan masalah. Asas manfaat yang senantiasa menjadi spirit dalam menjalankan amanah, menjadikan jiwa-jiwa sekuler dan oportunistis menggila begitu ada kesempatan. Inilah yang terlihat dalam penyelenggaraan ibadah haji di negeri ini.

Hal ini terjadi karena sistem hari ini bukanlah sistem yang menjadikan aturan Allah sebagai sandaran. Sistem ini bahkan menafikan aturan Allah dalam mengurus urusan umat, termasuk ibadah haji. Sumpah jabatan di atas kitabullah saat pelantikan tidak lebih dari sekadar simbol. Pada praktiknya, urusan umat adalah tentang nominal keuntungan yang bisa pejabat peroleh, tidak lagi seputar perkara amanah atau pun khianat saat mengembannya.

Inilah yang kerap memantik suara-suara kritis. Tidak kita mungkiri, dana haji dengan perputaran dana dari para pendaftar calon haji adalah lahan basah yang sangat subur untuk dikorupsi. Terlebih lagi masyarakat di negeri ini, mereka rela melakukan apapun semata agar terdaftar sebagai calon jemaah haji. Sayangnya, besarnya niat dan harapan mereka adalah bancakan menggiurkan dalam sudut pandang pejabat oportunis.

Namun pada saat yang sama, penambahan kuota jemaah justru menambah margin keuntungan pejabat korup. Pemerintah juga seolah hanya mengejar target jumlah jemaah, tetapi menafikan terpenuhinya seluruh rangkaian ibadah secara sempurna dan sesuai standar syariat. Jelas bahwa dalam sistem dengan asas manfaat ini menghasilkan penyelenggaraan ibadah haji yang tidak menjamin kenyamanan dalam beribadah bagi umat Islam.

*Penyelenggaraan Ibadah Haji dalam Islam.*

Jemaah haji adalah tamu Allah. Status tersebut mengharuskan negara benar-benar serius dalam mempersiapkan pelaksanaannya.
Dalam rentang sejarah peradaban Islam, Khilafah mengelola penyelenggaraan ibadah haji dengan penuh tanggung jawab. Hal ini sebagai implementasi secara paradigmatis dan mendasar bahwa pemimpin adalah pengurus dan pelayan bagi rakyatnya.

Khilafah juga memahami betul mekanisme agar seorang jemaah bisa meraih predikat haji mabrur. Oleh karena itu, para pejabat yang mendapat amanah dalam penyelenggaraan haji akan memperhatikan setiap detil wajib, rukun, dan sunnah haji agar semuanya terlaksana secara sempurna sesuai syariat.

Untuk itu, Khalifah akan mengatur adanya suatu organ pemerintahan untuk mewujudkan kemaslahatan umat dalam penyelenggaraan ibadah haji. Khalifah akan berupaya maksimal untuk memudahkan jemaah dalam menjalankan seluruh tahapan termasuk saat di tanah suci, dengan menyediakan segala sarana dan prasarana.

Hal ini dapat kita telusuri dari jejak penyelenggaraan ibadah haji di era kejayaan Islam. Sebagaimana pada masa Khilafah Utsmani, yang tidak lain bisa menjadi salah satu model pengurusan haji oleh Khalifah pada masanya. Saat itu, persiapan sarana haji telah dimulai tiga bulan sebelum musim haji. Khilafah Utsmani, di bawah pimpinan Sultan Utsmani, telah memberikan perhatian lebih dan besar pada aktivitas ini. Melalui lajnah khusus, Khalifah memberi amanah berkaitan dengan penyelenggaraan ibadah haji. Tugas utamanya adalah memonitor dan memperhatikan semua urusan rombongan haji di wilayah-wilayah Islam, serta menginstruksikan kepada wali di wilayah-wilayah itu untuk memenuhi kebutuhan para jemaah haji.

Selain itu, Khalifah juga berupaya membangun sarana dan prasarana yang memudahkan para jemaah dalam melaksanakan ibadah. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Hamid II pada 1900 M, beliau memerintahkan pembangunan jalur Kereta Api Hijaz (Hejaz Railway) untuk memudahkan jemaah haji menuju Makkah. Kebijakan ini direalisasikan karena sebelumnya para jemaah haji harus melakukan perjalanan selama berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan jika menunggang unta.

Begitu Khalifah membangun jalur kereta api di Hijaz, para jemaah dapat memperpendek perjalanan dan waktu tempuh. Khalifah juga membangun sejumlah tempat yang berfungsi sebagai rumah singgah sekaligus tempat menambah perbekalan bagi para jemaah. Dengan demikian, para jemaah dapat dengan nyaman melaksanakan rangkaian ibadah haji.

Demikian juga perihal sikap tegas yang Sultan Abdul Hamid II lakukan terhadap Belanda saat berupaya menghalangi kaum muslim Aceh melakukan ibadah haji. Warga Aceh lantas mengirim surat kepada Sultan dengan maksud mendapat pembelaaan. Sultan Abdul Hamid II pun memanggil duta besar Belanda untuk menyelesaikan masalah tersebut.

Inilah role model kepemimpinan yang benar-benar mewujudkan kemaslahatan umat dalam menjalankan ibadah. Ini tidak lain karena Khalifah memandang bahwa rangkaian ibadah haji bukan ibadah ritual semata, melainkan menyimpan unsur politis yang mampu menggentarkan musuh-musuh Islam, sekaligus menjadi sarana untuk mendakwahkan Islam ke penjuru dunia.  Sayangnya, aspek politis ibadah haji ini kian terdistorsi seiring dengan sekat-sekat geografis negara bangsa yang menghalangi persatuan kaum muslim.

Semua gambaran ini kontras dengan pengurusan ibadah haji di dalam sistem sekuler. Alih-alih mewujudkan kenyamanan beribadah, penguasa sistem sekuler kapitalisme bahkan hanya mementingkan keuntungan dari penyelenggaraan ibadah tersebut. Lebih parahnya lagi, aspek politis ibadah yang menyatukan kaum muslim sedunia ini telah tergerus dalam bingkai ibadah mahdlah saja.

Wallaahualam bishshawab.


Share this article via

117 Shares

0 Comment