| 91 Views
Mudik 2025 Lesu, Ekonomi Terpuruk: Sudah Saatnya Islam Dijadikan Solusi

Oleh : Rizka Amalia
Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok
Lebaran selalu identik dengan tradisi mudik, yakni sebuah momen yang bukan hanya soal perjalanan pulang kampung, melainkan juga tentang silaturahmi, kerinduan akan kampung halaman, dan pemulihan batin setelah setahun penuh bekerja keras di kota. Namun, Lebaran 2025 ini tampak berbeda. Jalan-jalan yang biasanya macet, terminal yang biasa dipenuhi kerumunan pemudik, dan antrean tiket yang biasa jadi pembahasan di media sosial—semuanya tampak jauh lebih lengang.
Fenomena tersebut bukan tanpa sebab. Proyeksi Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat jumlah pemudik tahun ini hanya mencapai 146,48 juta orang, turun dari 193,6 juta pada 2024 (metrotvnew.com, 4/4/2025).
Faktor utama yang berkontribusi pada penurunan tersebut adalah perlambatan pertumbuhan ekonomi serta lonjakan angka Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Data menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal pertama 2024 hanya mencapai 5,03 persen, sedikit lebih rendah dibanding periode yang sama tahun sebelumnya.
Lesunya tradisi mudik tahun ini mencerminkan kondisi ekonomi Indonesia yang semakin memprihatinkan. Bukan lagi sekadar "tantangan pasca-pandemi", melainkan sebuah gejala keterpurukan sistemik. Dan sudah saatnya kita melihat lebih jernih dan berani bertanya: Apakah solusi dari sistem yang sama—kapitalisme—masih pantas terus dipercaya?
Harga Melambung, Rakyat Tercekik
Fakta di lapangan jelas berbicara. Harga kebutuhan pokok melonjak—beras, minyak, telur, hingga daging—semuanya naik. Transportasi umum juga tidak terjangkau. Tiket pesawat naik dua kali lipat. Kereta api penuh, tetapi hanya untuk mereka yang mampu membeli lebih awal dan lebih mahal. Sementara itu, pendapatan masyarakat stagnan. PHK masih terjadi di berbagai sektor, dan banyak pekerja informal tidak memiliki kepastian penghasilan.
Kondisi ini membuat banyak orang harus mengubur keinginan untuk mudik. Bagi sebagian besar, memilih bertahan di kota adalah keputusan pahit yang lebih masuk akal secara ekonomi.
Kegagalan Sistemik, Bukan Sekadar Kesalahan Manajemen
Kita terlalu sering menyalahkan "cuaca global", "situasi geopolitik", atau "ketidakefisienan birokrasi". Padahal masalah utamanya adalah fondasi ekonomi yang digunakan: sistem kapitalisme. Sistem ini menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai indikator utama, tapi mengabaikan pemerataan kesejahteraan. Negara lebih banyak berperan sebagai fasilitator pasar daripada pelindung rakyat.
Swastanisasi transportasi, liberalisasi pangan, dan ketergantungan pada impor adalah buah dari sistem ini. Maka wajar jika mudik—yang mestinya menjadi hak rakyat untuk berkumpul dengan keluarga—berubah menjadi kemewahan yang tak lagi terjangkau.
Islam Menawarkan Solusi Hakiki
Islam bukan sekadar agama spiritual. Ia adalah sistem hidup yang komprehensif, termasuk dalam bidang ekonomi. Dalam Islam, negara memiliki tanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat.
Ada 5 pendekatan mendasar yang bisa dijadikan solusi terhadap krisis ekonomi saat ini, yakni: Pertama, negara sebagai pelindung ekonomi rakyat. Dalam Islam, negara (Khilafah atau pemerintahan Islam) wajib menjamin kebutuhan pokok masyarakat (sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan). Negara juga bertanggung jawab atas transportasi umum dan infrastruktur agar rakyat bisa mudik tanpa beban biaya tinggi.
Kedua, distribusi kekayaan yang adil. Islam mewajibkan zakat dari orang-orang kaya untuk disalurkan langsung kepada delapan golongan yang membutuhkan, bukan untuk dana talangan korporasi. Sedekah dan infak juga diperluas sebagai sarana solidaritas sosial.
Ketiga, larangan riba dan sistem kredit konsumtif. Islam melarang riba karena menciptakan eksploitasi ekonomi. Sistem keuangan Islam berbasis pada transaksi riil dan kerja produktif, bukan pada utang konsumtif yang menjerat rakyat.
Keempat, pengelolaan SDA oleh negara. Sumber daya alam seperti tambang, air, dan energi tidak boleh dikuasai swasta. Islam menempatkannya sebagai milik umum yang dikelola negara demi kemaslahatan rakyat.
Kelima, transportasi sebagai layanan publik. Negara dalam sistem Islam wajib menyediakan transportasi murah dan aman untuk rakyat, bukan menjadikannya komoditas bisnis. Dalam konteks mudik, ini berarti ketersediaan moda transportasi massal yang terjangkau dan terintegrasi.
Menatap Masa Depan dengan Islam sebagai Solusi
Lesunya mudik 2025 cermin dari kondisi ekonomi yang tidak berpihak pada rakyat, kita telah terlalu lama bergantung pada sistem yang menciptakan jurang kaya-miskin makin lebar, harga makin tak terjangkau, dan hidup makin sulit.
Sudah saatnya umat Islam tidak hanya bangga dengan tradisi, tetapi juga kembali pada syariat Islam sebagai solusi sistemik. Islam tidak hanya mengatur ibadah, tetapi juga memberi jawaban atas persoalan ekonomi, sosial, hingga politik. Saat ekonomi terus menekan, maka solusi Islam bukan hanya layak untuk dibicarakan, tetapi harus mulai diperjuangkan.
Dengan penerapan syariat Islam secara kaffah dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, bukan hanya tradisi mudik yang kembali semarak, namun kesejahteraan umat secara menyeluruh dapat diwujudkan.