| 164 Views

Misi Kunjungan Paus dan Bahaya Respon Kepemimpinan Sekuler

Oleh : Dewi yuliani

Baru - baru ini Indonesia digemparkan oleh kedatangan Paus yang dimana ini menjadi penomena yang baru dan nyata untuk menjadikan Indonesia sebagai buah bibir perbincangan yang hangat ditengah - tengah umat.

Presiden Joko Widodo dan Sri Paus Fransiskus menyampaikan pesan mendalam tentang pentingnya toleransi, keberagaman, dan perdamaian dunia dalam kunjungan kenegaraan bersejarah Paus Fransiskus ke Indonesia pada Rabu, 4 September 2024. Kedua pemimpin menekankan perlunya menjadikan perbedaan sebagai kekuatan dalam memperkuat persatuan, serta pentingnya menyuarakan perdamaian di tengah meningkatnya konflik global.

Dalam pidatonya di Istana Negara, Presiden Jokowi menyoroti betapa pentingnya menjaga harmoni di negara Indonesia yang memiliki lebih dari 714 suku dan 17.000 pulau. Presiden Jokowi menggarisbawahi peran vital Pancasila dan semboyan Bhinneka Tunggal Ika dalam menjaga kohesi sosial di Indonesia yang majemuk.

“Indonesia mengapresiasi, sangat menghargai sikap Vatikan yang terus menyuarakan, menyerukan perdamaian di Palestina dan mendukung two-states solution karena perang tidak akan menguntungkan siapapun, perang hanya akan membawa penderitaan dan kesengsaraan masyarakat kecil,” ujar Presiden Jokowi.

“Oleh sebab itu, marilah kita rayakan perbedaan yang kita miliki, marilah kita saling menerima dan memperkuat toleransi untuk mewujudkan perdamaian, untuk mewujudkan dunia yang lebih baik bagi seluruh umat manusia,” sambungnya.

Sementara itu, Sri Paus Fransiskus, dalam sambutannya, menyatakan kekagumannya terhadap Indonesia sebagai negara yang mampu menjaga persatuan dalam keberagaman. Ia memuji semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang mencerminkan bagaimana perbedaan-perbedaan di Indonesia tidak menjadi pemecah belah, melainkan kekuatan yang menyatukan.

Acara yang dihadiri berbagai perwakilan instansi pemerintah, organisasi masyarakat, dan tokoh agama ini menghasilkan sepuluh rekomendasi yang berfokus pada upaya pencegahan dan resolusi konflik sosial berdimensi keagamaan.

Ironinya, semua statement Paus direspon positif oleh para pemimpin dan masyarakat muslim. Contoh, kasus usulan azan running text yang dianggap wajar oleh kalangan mahasiswa muslim, antusiasme tokoh-tokoh muslim yang kebablasan, Adanya target tadlil siyasi oleh kepemimpinan sekuler untuk memenangkan program moderasi beragama yang sejatinya menggerus akidah umat.
Umat Islam harus kritis dan punya sikap yang benar sesuai tuntunan syariat terkait bahaya toleransi dan moderasi beragama yang dibawa oleh Paus dan diberi jalan oleh rezim sekuler.

Indonesia menjadi negara pertama yang dikunjungi Paus Fransiskus dalam lawatannya di Asia-Pasifik. Setelah dari Indonesia, ia melakukan kunjungan ke Papua Nugini, Timor Leste, dan Singapura. Ini merupakan kunjungan pertama Paus ke Indonesia setelah kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada 1989.
Ada beberapa catatan kritis terkait kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia, di antaranya sebagai berikut.

Polemik azan, kekalahan umat Islam.
Kementerian Agama telah menyampaikan surat kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika terkait penyiaran azan Magrib dan misa akbar bersama Paus Fransiskus. Surat tersebut berisi dua substansi. Pertama, saran agar misa bersama Paus Fransiskus pada 5 September 2024 disiarkan secara langsung pada pukul 17.00—19.00 WIB di seluruh televisi nasional. Kedua, agar penanda waktu Magrib ditunjukkan dalam bentuk running text sehingga misa bisa diikuti secara utuh oleh umat Katolik di Indonesia (Kemenag, 4-9-2024).

Penyiaran misa secara langsung di seluruh televisi nasional ini tentu menjadi sebuah pertanyaan besar. Umat Kristen secara jumlah merupakan minoritas di Indonesia, tetapi mengapa misa akbar sampai harus disiarkan langsung di seluruh televisi nasional? Sebuah acara yang disiarkan langsung oleh televisi nasional seharusnya adalah acara yang ditonton oleh mayoritas rakyat Indonesia, bukan minoritas. Jika yang menonton adalah minoritas, tentu tidak perlu siarannya demikian masif.

Apalagi penyiaran misa akbar yang menabrak waktu salat Magrib sampai harus menggeser tayangan azan di televisi dan pemberitahuan waktu Magrib hanya disampaikan melalui running text. Hal ini menimbulkan kesan bahwa misa lebih penting dari azan yang merupakan panggilan salat.

Bukankah semestinya sesuatu yang dianggap penting akan diprioritaskan? Dengan penyiaran misa yang meniadakan tayangan azan, tampak bahwa urusan kaum minoritas lebih penting daripada umat Islam. Urusan umat Islam dinomorduakan dan umat Islam harus menerima kebijakan ini atas nama toleransi. Jika menolak, umat Islam dianggap intoleran dan tidak menghormati umat agama lain.

Di sisi lain, di negara minoritas muslim, umat Islam dituntut untuk tahu diri dan mengalah. Mereka tidak mendapatkan pemberitahuan waktu salat melalui televisi sehingga harus mencari sendiri di internet. Azan juga tidak diperbolehkan menggunakan pengeras suara. Salat dan khotbah Idulfitri tidak disiarkan secara langsung di seluruh televisi nasional setempat. Kaum muslim di sana harus menerima aturan tersebut mengingat posisinya sebagai minoritas.



Meski dituntut selalu mengalah, umat Islam tidak protes. Mereka selalu mengalah demi mencegah terjadinya gesekan antaragama. Namun, ternyata hal ini dianggap belum cukup. Umat Islam masih mengalami diskriminasi, misalnya larangan hijab di daerah minoritas muslim.

Miris, umat Islam seperti direndahkan dan terus diinjak-injak. Sekadar mengenakan hijab saja dipersulit, padahal posisi umat Islam adalah sebagai mayoritas. Demikianlah, doktrin toleransi telah memaksa umat Islam untuk selalu kalah dan terzalimi.

Kebijakan penyiaran misa ini juga menegaskan betapa sekulernya penguasa negeri ini. Azan sebagai bagian dari syiar Islam diberangus agar bisa digeser ketika ada siaran langsung acara agama tertentu. Siaran langsung itu dianggap lebih penting daripada syiar azan. Ini menunjukkan bahwa penguasa tidak memandang penting syiar azan tersebut. Apakah ini berarti penguasa tidak menganggap penting aktivitas salat.

Inilah yang terjadi ketika sistem di negara kita sekuler. Urusan agama diposisikan sebagai urusan individu dan negara tidak ikut campur mengurusinya. Rakyat melakukan salat atau tidak, dianggap sebagai urusan personal, bukan tanggung jawab negara.

Demikianlah, polemik azan ini membukakan mata kita bahwa sebenarnya penguasa, meskipun beragama Islam, tidak pernah membela hak-hak umat Islam. Penguasa bahkan ikut mengamputasi hak-hak umat Islam.

Toleransi yang kebablasan.
Kedatangan Paus Fransiskus di Masjid Istiqlal disambut dengan pembacaan Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 62 dan surah Al-Hujurat ayat 13 yang dianggap mengajarkan toleransi. Selain itu, Imam Besar Masjid Istiqlal Nasaruddin Umar tampak mencium kening Paus Fransiskus. Hal ini merupakan penghormatan yang berlebihan terhadap nonmuslim.

Allah Swt. memerintahkan sikap seorang muslim terhadap nonmuslim adalah sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Fath ayat 29, yang artinya,

“Muhammad adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia bersikap keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu melihat mereka rukuk dan sujud mencari karunia Allah dan keridaan-Nya.”

Seharusnya sikap berkasih sayang itu ditunjukkan kepada sesama muslim, bukan nonmuslim. Ini karena dasar persaudaraan antarmanusia adalah keimanan pada Allah Swt. dan Rasul-Nya. Hal ini sebagaimana firman-Nya dalam QS Al-Hujurat ayat 10, yang artinya,

“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara.”

Penyambutan gegap gempita terhadap Paus Fransiskus oleh negara merupakan sikap toleransi yang kebablasan dan tidak dicontohkan di dalam Islam. Sikap ini justru menegaskan inferioritas para pemimpin negara kita terhadap Paus Fransiskus. Miris, jumlah kita (umat Islam) besar, tetapi posisinya inferior (rendah diri). Parahnya lagi, para pemimpin tersebut justru melakukan dialog antaragama yang memosisikan Islam sama dengan agama lainnya dan bahkan dengan aliran kepercayaan. Ini benar-benar merendahkan.

Tidak hanya menyamakan dengan agama lain, para penguasa bahkan merendahkan Islam di hadapan agama lain. Paus Fransiskus diposisikan sebagai pihak yang lebih tinggi dan mulia sedangkan penguasa muslim bersikap seolah-olah menjadi “pelayannya”. Paus Fransiskus bahkan dipuja-puji demikian luar biasa seolah-olah orang suci. Paus juga diposisikan sebagai orang yang harus diteladan gaya hidupnya.

Para penguasa itu tampak pura-pura lupa bahwa yang seharusnya dijadikan uswatun hasanah adalah Rasulullah saw., bukan Paus. Mereka juga nyata-nyata abai bahwa Paus tidak membenarkan kenabian Rasulullah Muhammad saw.. Sungguh aneh, bagaimana mungkin para penguasa yang mengaku muslim mengelu-elukan orang kafir sedemikian rupa, padahal orang kafir tersebut tidak mengesakan Allah Swt. dan tidak mengakui Rasulullah saw.. Benar-benar sesat pikir!

Pidato Paus Fransiskus tersebut jelas-jelas mengampanyekan toleransi ala Barat yang selama ini selalu dipromosikan kepada umat Islam agar diadopsi. Toleransi yang dimaksud bukanlah konsep “lakum dinukum waliyadin” sebagaimana menurut Islam, melainkan semangat moderasi agar umat Islam tidak kafah dalam menjalankan agamanya dan justru berbelok menjadi muslim moderat.

Jelas, toleransi dan moderasi merupakan senjata Barat untuk menyerang umat Islam yang hendak menjalankan agamanya. Umat Islam tidak boleh menjalankan syariat Islam kafah karena dianggap tidak moderat. Jika tidak toleran dan moderat, umat Islam akan dicap radikal dan termasuk fundamentalis. Umat Islam bahkan dilabeli sebagai teroris. Semua politik “label” ini bertujuan menjauhkan umat dari Islam kafah.

Promosi toleransi dan pluralisme oleh Paus Fransiskus merupakan bagian dari moderasi yang diaruskan Barat di Dunia Islam untuk mencegah munculnya Islam ideologis yang mereka sebut sebagai Islam radikal. Kampanye ini penting bagi Barat untuk menjaga eksistensi hegemoninya di dunia Islam. Tujuannya adalah agar penjajahan Barat atas dunia Islam tetap eksis dan tidak mendapatkan perlawanan dari umat Islam.

Ideologi Islam mengajarkan haramnya penjajahan sehingga mendorong meletusnya perlawanan terhadap penjajahan Barat. Hal ini tentu mengancam Barat. Walhasil, kedatangan Paus Fransiskus memiliki agenda politik, yaitu mengukuhkan penjajahan Barat di Indonesia. Umat Islam dikondisikan agar jauh dari agamanya sehingga jauh dari kebangkitan.

Toleransi dalam Sistem Islam
Islam memiliki konsep toleransi yang khas berdasarkan akidah Islam. Konsep toleransi inilah yang harus kita gunakan, bukan toleransi kebablasan ala Barat. Konsep toleransi dalam Islam berawal dari keyakinan tentang kebenaran dinul Islam sebagaimana firman Allah Swt.,

“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah ialah Islam.” (QS Ali Imran [3]: 19).

Oleh karenanya, umat Islam tidak boleh menyamakan Islam dengan agama lain. Umat Islam juga tidak boleh mengikuti agama lain, baik ibadahnya, aturannya, pakaiannya, maupun kebiasaannya.
Allah Swt. berfirman,
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (QS Al-Kafirun [109]: 6).

Umat Islam tidak boleh terjebak dalam narasi-narasi yang dibangun oleh Barat, seperti toleransi, moderasi, dan dialog antaragama. Respons atas kezaliman sistem dan penguasa hari ini terhadap umat Islam, umat seharusnya marah dan tidak rida, bukan diam saja saat dizalimi. Wala’ (loyalitas) umat Islam hanya layak kepada akidah Islam dan bara’ (berlepas diri) dari orang kafir.

Umat Islam harus menyadari bahwa saat ini posisinya terjajah oleh orang-orang kafir. Negara-negara dan orang-orang kafir tidak akan rida hingga umat Islam mengikuti millah (ideologi) mereka. Dengan demikian, umat Islam harus kembali pada syariat Islam kafah dan berjuang mewujudkan tegaknya Khilafah. Khilafah akan menjadi pembebas umat Islam dari penjajahan dan melindungi mereka dari kezaliman musuh.

Khilafah akan menerapkan syariat Islam secara kafah sehingga terwujud kesejahteraan dan kemuliaan di tengah-tengah umat Islam. Umat Islam akan menjadi umat terbaik yang akan menggelorakan dakwah dan jihad ke luar negeri, termasuk ke Roma. Khalifah akan mengunjungi Roma, bukan untuk dialog antaragama atau bermesraan dengan Paus, tetapi untuk mendakwahkan Islam dan merealisasikan janji Allah Taala, yaitu membebaskan Roma.

Rasulullah saw. pernah ditanya, “Dua kota ini, manakah yang dibuka lebih dahulu, Konstantinopel atau Roma?” Rasulullah saw. menjawab, “Kota Heraklius dibuka lebih dahulu, yaitu Konstantinopel.” (HR Ahmad) Wallahualam bissawab


Share this article via

123 Shares

0 Comment