| 61 Views

Merindu Pemimpin Idaman

Oleh : Nurida Badar
Aktivis Dakwah dan IRT

Kepemimpinan dan kekuasaan selalu menjadi perhatian semua pihak. Khusus di negeri ini, diskursus tersebut pada tahun ini menemukan momentumnya, sebab merupakan momentum pergantian kepemimpinan. Masyarakat tentu menginginkan adanya kepemimpinan dan kekuasaan yang baik.
Kepemimpinan dan kekuasaan yang baik akan menjadikan kondisi masyarakatnya baik. Tentu hal tersebut terkait dengan dua hal sekaligus, yakni terkait kualitas personal orang yang akan menjadi pemimpin serta kualitas sistem yang akan diterapkan. Sayangnya di Publik didominasi tawaran beragam sosok pemimpin dan model kepemimpinan.

Di saat kesenjangan kaya miskin makin melebar akibat praktik kapitalisme, tampilnya sosok yang  peduli rakyat jelata dan banyak menebar bantuan tunai dan kenaikan gaji seolah memenuhi kriteria pemimpin idaman. Kriteria yang lebih mendasar tentang pola pikir dan sikapnya terhadap kekuasaan dan pemerintahan nyaris luput dari perhatian. Pemimpin beginilah yang dikenal sebagai sosok populis.
Sosok pemimpin yang populis (populer) akan mendapat dukungan rakyat, baik secara individunya, memikat hati dengan janjinya yang berpihak rakyat dalam kebijakan-kebijakannya. Tapi apakah benar demikian? Karena pada saat yang sama, ketika para pemimpin ini berkuasa, justru mereka bertindak otoriter, yaitu memaksakan berbagai kebijakan yang menyengsarakan rakyat dan anti kritik. Inilah yang disebut dengan Pemimpin Populis Otoriter, dan dengan kepemimpinannya yang dinamakan kepemimpinan Populisme Otoritarian

Pemimpin Populis Otoriter Produk System Sekuler, Hanya Menambah Derita Rakyat

Populisme otoritarian adalah suatu kepemimpinan populer yang mengklaim didukung oleh rakyat, tetapi dibalik itu ada sifat dan kepentingan sewenang-wenang atau otoriter. Pemimpin populis otoriter menjadikan populismenya (dukungan rakyat terhadapnya) untuk mengontrol penuh parpol, TNI/Polri, media hingga ormas untuk melakukan tindakan represif/otoriter pada kelompok kritis (seperti media massa, content creator, kelompok masyarakat sipil kritis dan kelompok Islam kritis).

Berbagai pelayanan publik yang diselenggarakan dengan anggaran terbatas ini berdampak rakyat harus membayar mahal, pajak terus dinaikkan, akses pelayanan publik terbatas, rakyat pun dilarang protes. Sungguh menyengsarakan rakyat, karena barang-barang kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, dan kemaslahatan lainnya makin susah dijangkau.

Beban hidup rakyat pun makin berat karena pada saat yang sama kasus PHK tenaga kerja pun makin meningkat di Inodnesia. Tercatat per Januari-Juni tahun 2024 bahkan mencapai 101.536 PHK. Lebih tinggi dibandingkan tahun 2023 sekitar 80.303 PHK dan tahun 2022 berjumlah 3.321 kasus. (Media Indonesia). 

Inilah kerusakan kepemimpinan populisme otoritarian yang merupakan buah dari sekularisasi politik dan ekonomi. Sekularisme adalah paham yang memisahkan agama dari kehidupan (fashluddin ‘anil hayah). Sekularisme tidak sekedar menjadi paham tapi sudah sekian lama diterapkan dalam kehidupan kaum muslim hari ini sebagai sebuah sistem kehidupan. Penerapan sekularisme di bidang politik pemerintahan disebut sistem pemerintahan demokrasi. Sedangkan sekularisme di bidang ekonomi dikenal dengan sistem ekonomi kapitalisme.

Sekularisme jelas bertentangan dengan Islam sebagaimana Allah SWT berfirman: “Apakah kalian akan mengimani sebagian kitab dan mengingkari sebagian yang lain, maka pastilah balasan bagi orang-orang yang melakukan yang demikian itu kehinaan di dunia dan hari kiamat. Mereka dikembalikan ke dalam adzab yang pedih, dan tidaklah Allah itu lupa terhadap apa yang kalian lakukan.” (QS Al Baqarah : 85)

Sosok Pemimpin Islam Hanya Lahir dalam Sistem Kepemimpinan Islam

Sosok pemimpin idaman harapan umat tidak mungkin lahir dalam politik sekuler demokrasi yang menopang sistem kapitalisme. Hanya sistem kepemimpinan Islam (Khilafah) yang mampu mewujudkannya.

Pada masa Nabi Saw. Beliau menyediakan pendidikan untuk kaum muslim dan memberikan gaji yang layak untuk para pengajar. Khalifah Umar ra juga memberikan insentif untuk anak-anak. Khalifah berikutnya, Utsman bin Affan ra memberikan insentif 1 (satu) dirham setiap hari untuk kaum muslim selama Ramadhan.

Masa Khalifah Umar bin al-Khaththab (13-23 H/634-644 M). Hanya dalam 10 tahun masa pemerintahannya, kesejahteraan merata ke segenap penjuru negeri. Pada masanya, di Yaman, Muadz bin Jabal sampai kesulitan menemukan seorang miskin yang layak diberi zakat (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 596). Pada masanya, Khalifah Umar bin al-Khaththab mampu menggaji guru di Madinah masing-masing 15 dinar (1 dinar=4,25 gr emas). (Ash-Shinnawi, 2006).

Para khalifah dari Bani Umayah juga melanjutkan kewajiban mengurus umat seperti membangun rumah sakit-rumah sakit, termasuk rumah sakit khusus untuk penderita kusta, secara gratis. Ini adalah rumah sakit pertama untuk penderita kusta dalam sejarah dunia. Mereka juga mendirikan rumah-rumah panti jompo, juga rumah-rumah untuk orang-orang yang tersesat.

Masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz (99—102 H/818—820 M). Yahya bin Said, seorang petugas zakat masa itu, berkata, “Ketika hendak membagikan zakat, saya tidak menjumpai seorang miskin pun. Umar bin Abdul Aziz telah menjadikan setiap individu rakyat pada waktu itu berkecukupan.” (Ibnu Abdil Hakam, Sîrah ‘Umar bin Abdul ‘Azîz, hlm. 59).

Pada masanya, kemakmuran tidak hanya ada di Afrika, tetapi juga merata di seluruh penjuru wilayah Khilafah Islam, seperti Irak dan Bashrah. Begitu makmurnya rakyat, Gubernur Bashrah saat itu pernah mengirim surat kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz, “Semua rakyat hidup sejahtera sampai saya sendiri khawatir mereka akan menjadi takabur dan sombong.” (Abu Ubaid, Al-Amwâl, hlm. 256).

Dalam Islam, kepemimpinan tidak sekadar mendudukkan seorang Muslim di panggung kekuasaan. Yang lebih penting adalah bagaimana kekuasaan digunakan untuk menjaga, menerapkan dan mendakwahkan Islam serta bertanggung jawab dunia akhirat dalam mengurus rakyat dengan hukum-hukum Islam. Khalifah ‘Umar ra. pernah berkata:

لَوْ مَاتَتْ شَاة عَلَى شَط الْفُرَاتِ ضَائِعَة لَظَنَنْتُ أَنَّ اللهَ تَعَالَى سَائِلِي عَنْهَا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

“Andai seekor domba mati di pinggiran sungai Eufrat dalam kondisi terbuang (tersia-sia), sungguh aku berpikir bahwa Allah akan meminta pertanggungjawabanku tentang itu pada Hari Kiamat.”
Wallaahu a'lam bisshowwab


Share this article via

69 Shares

0 Comment