| 104 Views
Menyoal Regulasi Pagar Laut yang dikuasai Oligarki

Oleh : Ummi Yourin
BBC News Indonesia, Berdasarkan data BHUMI, situs web informasi spasial yang dikelola Kementerian Agraria dan Tata Ruang, Elisa memperkirakan total wilayah laut yang masuk area HGB mencapai 537,5 hektare.
Senin (20/01), Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid membenarkan bahwa sertifikat HGB telah terbit untuk 263 bidang di dan sekitar wilayah perairan tersebut. Selain itu, ada sertifikat hak milik (SHM) untuk 17 bidang lainnya. Nusron bilang ada sembilan bidang yang mendapat sertifikat HGB atas nama perorangan. Sementara itu, sertifikat HGB untuk 254 bidang dimiliki dua perusahaan. Keluarga konglomerat Sugianto Kusuma alias Aguan dan Agung Sedayu Group memiliki dua perusahaan yang memegang sertifikat hak guna bangunan (HGB) untuk ratusan bidang di dan sekitar lokasi pagar laut di Tangerang, Banten, sebagaimana tertera pada data pemerintah.
Bersama Salim Group, Agung Sedayu Group mengembangkan kawasan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2, yang bersebelahan dengan titik awal pagar laut di Desa Tanjung Burung, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang.
Tak jauh dari pagar laut itu, Agung Sedayu Group juga bermaksud membangun PIK Tropical Coastland, yang telah masuk daftar proyek strategis nasional (PSN) sejak Maret 2024. Dari sana, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menduga Agung Sedayu Group yang bertanggung jawab membangun pagar laut dari bambu untuk membatasi area yang bakal jadi sasaran reklamasi untuk kepentingan PSN. Walaupun Kuasa Hukum Agung Sedayu Group, Muannas Alaidid, membantah hal tersebut.
Secara langsung dan tak langsung, PT Agung Sedayu menguasai saham PT Intan Agung Makmur dan PT Cahaya Inti Sentosa. Kedua perusahaan ini disebut pemerintah memegang sertifikat HGB untuk total 254 CV bidang di dan sekitar lokasi pagar laut misterius di Tangerang.
HGB adalah hak yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas lahan yang bukan miliknya. PT Cahaya Bintang Sejahtera dan PT Catur Kusuma Abadi Sejahtera menguasai PT Agung Sedayu, masing-masing dengan kepemilikan saham 50%. Susanto Kusumo, adik dari Aguan, memegang 99,6% saham PT Cahaya Bintang Sejahtera. Sementara itu, kepemilikan PT Catur Kusuma Abadi Sejahtera dibagi rata antara Aguan dan tiga anaknya: Alexander Halim Kusuma, Richard Halim Kusuma, dan Luvena Katherine Halim. Masing-masing punya 25% saham.
Sementara itu, berdasarkan hasil investigasi, Kementerian ATR/BPN menemukan bahwa HGB dan SHM di perairan utara Tangerang cacat prosedural dan material. Belum lagi, pagar laut terbukti dibangun di luar garis pantai. Oleh karena itu, Kementerian ATR/BPN pun memutuskan untuk mencabut HGB dan SHM yang terdaftar di area pagar laut Tangerang.
“Karena itu, kami memandang bahwa sertifikat tersebut yang berada di luar garis pantai, cacat prosedur dan cacat material. Karena cacat prosedur dan cacat material, berdasarkan PP Nomor 18 Tahun 2021, selama sertifikat belum berusia lima tahun, maka Kementerian ATR/BPN mempunyai kewenangan untuk mencabutnya atau membatalkan,” jelas Nusron dalam konferensi pers di Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, Kabupaten Tangerang, Rabu (22/1/2025).
Selain mencabut sertifikat-sertifikat kepemilikan tersebut, Nusron juga akan memanggil sejumlah pihak yang terlibat dalam penerbitannya. Pihak-pihak yang telah dipanggil oleh Kementerian ATR/BPN untuk dimintai keterangan di antaranya adalah petugas juru ukur hingga pihak yang bertugas menandatangani atau mengesahkan sertifikat HGB dan SHM.
Dengan adanya regulasi yang ada di birokrasi pemerintahan yang mengakibatkan masyarakat di kawasan tersebut merasa dirugikan karena tidak bisa lagi mengakses wilayah yang sudah dipagari dan pengelolaannya diserahkan kepada pemegang SHGB dan SHM. Padahal Masyarakat sekitar juga memiliki hak untuk memanfaatkan sumberdaya alam yang sudah menjadi pencaharian mereka seperti nelayan.
Menurut pakar ekonomi Nida Saadah, S.E., Ak., M.E.I. menegaskan, persoalan ini mesti dilihat berdasarkan syariat Islam.
“Pemanfaatan laut tidak diberikan kepada individu. Laut merupakan kepemilikan umum, bukan kepemilikan individu atau negara sehingga negara pun tidak berhak memprivatisasi dan menasionalisasinya,” jelasnya dalam Economic Understanding: “Pagar Laut menurut Ekonomi Syariah”, Jumat (24-1-2025).
Ia mengutip penjelasan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nizhamul Iqtishady fi al-Islam, benda-benda yang diciptakan Allah di muka bumi ini ada yang menjadi milik individu, milik negara, dan milik umum.
“Seharusnya kita mengenal pengaturan syariat ini lebih jauh supaya bisa menata negeri ini lebih baik karena segala sesuatunya akan jelas dan adil,” urainya.
Nida menjabarkan bahwa dalam kepemilikan umum terdapat tiga klasifikasi. Pertama, sebutnya, barang yang menjadi kebutuhan masyarakat luas sebagaimana hadis yang mengatakan bahwa kaum muslim berserikan dalam air, padang gembalaan, dan api.
“Namun, pada saat yang sama Rasulullah saw. mendiamkan perbuatan orang-orang Thaif yang memiliki sumur pribadi. Artinya, menjadi kepemilikan umum jika menjadi kebutuhan masyarakat luas, tetapi jika jumlahnya sedikit, maka bisa dimiliki individu,” terangnya.
Kedua, lanjutnya, aset yang tersedia dalam deposit sangat besar. “Itu juga bukan milik negara, bukan milik perusahaan pribadi, tetapi milik umum. Artinya, semua orang mendapat hak untuk merasakan kemanfaatannya. Aksesnya tidak boleh ditutup,” ucapnya.
Dalam hal ini, ungkapnya, negara bertanggung jawab melakukan proses eksplorasi. “Ini tampak ketika Rasulullah menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyad bin Hammal setelah beliau memberikannya, padahal ada hadis Rasulullah yang melarang orang menarik sesuatu yang sudah diberikan,” ungkapnya.
Ia menuturkan, ini menunjukkan sedemikian gentingnya perkara itu sehingga Rasulullah saw. menarik kembali apa yang sudah diberikan karena deposit yang tersedia sangat besar.
Ketiga, ujarnya, barang yang tidak mungkin dimiliki individu. “Dalilnya diriwayatkan Abu Dawud bahwa ketika Rasulullah ditanya oleh para sahabatnya. ‘Bolehkah kami membangun rumah untuk tempat berteduh bagimu di Mina?’ Rasulullah menjawab, ‘Tidak boleh. Mina adalah tempat bagi orang yang datang terlebih dahulu.’,” ujarnya.
Jadi, tuturnya, ada aset-aset di muka bumi ini yang memang Allah ciptakan tidak bagi orang tertentu, bahkan negara juga tidak memiliki hak untuk memberikan keistimewaan kepada siapa pun.
“Bisa kita lihat di sini, sebetulnya regulasi Islam sudah sangat jelas kalau mengacu kepada penerapan syariat yang dicontohkan Rasulullah dalam kehidupan bernegara sebagaimana yang dibangun di Madinah dan dilanjutkan oleh para khalifah sepeninggal beliau,” paparnya.
Oleh karena itu, polemik membangun pagar di atas laut tentu bertentangan dengan fikih Islam tentang pengaturan laut karena termasuk dalam al-milkiyatul ammah atau kepemilikan umum.
Sudah sekian kalinya tampak banyak kelemahan pada diri manusia. Kalaupun hari ini banyak yang berbeda pendapat, tetapi kalau ending-nya kembali ke regulasi yang tidak jelas dalam memposisikan persoalan tersebut, niscaya ini akan berlarut-larut bahkan akan ada banyak lagi persoalan dan permasalahan baru yang serupa.
Untuk itu, ia menegaskan, harapan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan dengan jelas, transparan, dan adil tentu hanya dengan berpegang kepada syariat Islam secara kafah yang diterapkan dalam kehidupan bernegara sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasullullah SAW.
Wallahualam bissawab.