| 52 Views

Mengejar Pajak Rakyat

Oleh : Sartinah
Pegiat Literasi

Kewajiban membayar pajak menjadi "harga mati" bagi rakyat negeri ini. Semua rakyat wajib patuh menunaikan kewajibannya terhadap negara. Salah satu pungutan wajib bagi rakyat negeri ini adalah pajak kendaraan. Negara melalui pihak kepolisian, bahkan mengejar pajak kendaraan sampai ke rumah-rumah. Inilah yang kini tengah dilakukan pemerintah demi membuat masyarakat patuh menunaikan pajak kendaraannya. 

Langkah tersebut, bukan tanpa alasan. Menurut Kakorlantas Polri Irjen. Pol. Aan Suhanan, langkah pihak kepolisian tersebut dilakukan karena masih minimnya kepatuhan masyarakat dalam melakukan perpanjangan STNK lima tahunan. Menurutnya lagi, dari total 165 juta unit kendaraan yang sudah terdaftar, jumlah yang membayar pajak tak sampai setengahnya. Karena itu, pihak kepolisian melakukan pendekatan soft power, salah satunya dengan mendatangi rumah-rumah warga untuk mengingatkan kewajiban pajaknya. (detik.com, 7-11-2024)

Rakyat Dikejar, Pengusaha Dilepas

Memburu pajak atas rakyat terus digencarkan pemerintah. Semua demi mengejar target pendapatan negara dari sektor pajak. Sayangnya, kebijakan pungutan pajak seperti tebang pilih. Bagi rakyat kelas menengah ke bawah, nyaris tak ada ruang yang bebas dari pajak. Namun, bagi para pengusaha kelas elite, negara justru membuat berbagai kebijakan yang meringankan pemilik kendaraan.

Sebut saja kebijakan pajak impor mobil listrik yang tergolong barang mewah.  Pemerintah disebut menanggung pajak impor bagi kendaraan listrik berbasis baterai roda empat tersebut dalam anggaran tahun 2024. Tak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan sampai menanggung pajak impor kendaraan listrik sebesar 100 persen. Artinya, selama Januari—Desember 2024, pembelian mobil listrik tidak dipungut pajak. 

Tak hanya itu, pemerintah juga telah memperpanjang fasilitas tax holiday hingga Desember 2025. Kebijakan tersebut diambil guna menarik banyak investasi asing ke dalam negeri di tengah penerapan pajak minimum global sebesar 15 persen oleh berbagai negara. Dua kebijakan yang terkesan berbeda tersebut sejatinya menunjukkan keberpihakan negara pada para pengusaha.

Pajak dalam Kapitalisme

Langkah pemerintah dalam memberlakukan kebijakan pungutan pajak jelas tebang pilih. Di satu pihak, rakyat terus diburu pajak, bahkan setiap celah yang bisa menghasilkan pemasukan negara akan dikenakan pajak. Hidup rakyat yang sudah susah makin sekarat. Penghasilan yang tak seberapa harus rela dibagi untuk membayar berbagai potongan pajak.

Di pihak lain, pemerintah justru sangat "ramah" terhadap para pengusaha kelas kakap dan investor asing. Berbagai kebijakan yang meringankan pajak bagi mereka begitu mudah diterbitkan. Dengan dalih memberikan kemudahan bagi para pengusaha untuk membangun industrinya di Indonesia, pajak pun dibebaskan. Bukankah ini sebuah ironi? 

Pajak merupakan instrumen utama penopang pendapatan negara. Tentu saja pendapatan dari sektor pajak terbilang cukup besar. Berdasarkan data dari Kemenkeu.go.id, total penerimaan pajak hingga Juli 2024 sebesar Rp1.045,32 triliun atau setara dengan 52,56 persen dari target yang ditetapkan APBN. Karena itu, guna mendapatkan pemasukan secara maksimal, negara terus menggenjot pendapatan dari sektor pajak.

Selain itu, pajak juga disebut sebagai penunjang kebijakan pemerintah dalam meningkatkan investasi, daya saing, pembangunan, dan kemakmuran rakyat. Namun, berbagai dalih yang dikemukakan pemerintah seolah hanya retorika. Dalam hal pembangunan misalnya, realisasi pajak nyatanya tidak berdampak nyata pada nasib rakyat. Hanya segelintir pihak yang benar-benar merasakan dampak dari pembangunan. Mereka adalah para pengusaha dan pemilik modal. 

Di pihak lain, rakyat tetap kesulitan, baik dalam mendapatkan fasilitas pembangunan maupun dalam memperoleh berbagai layanan. Pungutan pajak bahkan membuat banyak pengusaha kecil gulung tikar. Sebut saja peternak asal Boyolali yang memilih "menyerah" dari usahanya karena tak mampu membayar pajak yang terus membengkak.

Inilah kesalahan paradigma dalam sistem kapitalisme yang menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara. Sistem ini telah melegalkan pengelolaan dan penguasaan sumber daya alam oleh swasta sehingga negara tak mampu memaksimalkan potensi SDA yang ada. SDA yang memiliki potensi sangat besar sebagai sumber pemasukan negara, justru diberikan kepada swasta atas nama liberalisasi. 

Saat SDA yang melimpah diambil alih oleh swasta, negara hanya bisa memburu pemasukan yang remeh dari sektor pajak. Walhasil, lagi-lagi rakyat yang harus menanggung anggaran negara melalui pajak. Dengan demikian, selama sistem kapitalisme masih diemban, pajak akan terus menjadi "monster" yang menakutkan.

Pemasukan Negara dalam Islam

Jika sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai sumber utama pemasukan negara, berbeda halnya dengan Islam. Dalam sistem ekonomi Islam, pendapatan negara diperoleh dari banyak sumber, salah satunya dari kepemilikan umum. Syekh Abdul Qadim Zallum dan Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan bahwa kepemilikan umum meliputi fasilitas/sarana umum, barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas, dan SDA yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu.

Sumber kepemilikan umum inilah yang memberikan pemasukan terbesar bagi negara. Untuk itu, negara akan mengelola kepemilikan umum tersebut secara mandiri dan hasilnya digunakan untuk mewujudkan kemaslahatan rakyat. Negara juga menjamin pemenuhan kebutuhan pokok bagi seluruh rakyatnya tanpa membeda-bedakan antara satu dengan lainnya. 

Negara benar-benar menjadi pengurus rakyat sehingga rakyat merasa aman dan sejahtera. Peran negara sebagai pengurus rakyat tercantum dalam hadis riwayat Bukhari, "Imam (khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya."

Adapun mengenai pajak, negara Islam (Khilafah) tidak menjadikannya sebagai sumber pendapatan negara. Dalam Islam, pajak dikenal dengan istilah dharibah. Meski begitu, pajak dalam Islam sangat berbeda tata cara pemungutannya dengan sistem kapitalisme. Dalam Islam, pemungutan pajak hanya dilakukan pada kondisi tertentu, yakni saat baitulmal benar-benar kosong. Pungutan tersebut pun hanya diberlakukan pada kaum muslim saja.

Setelah kebutuhan baitulmal terpenuhi dan pemasukan dari sumber-sumber rutin sudah stabil, pungutan pajak harus segera dihentikan. Artinya, pajak hanya diberlakukan secara temporal, bukan sebagai sumber utama pemasukan negara yang dipungut secara kontinu.

Khatimah

Negara di bawah payung kapitalisme akan terus menjadi "monster" yang memberi ketakutan pada rakyat. Karena itu, sudah saatnya rakyat dan bangsa ini mencampakkan sistem kapitalisme yang telah melahirkan kerusakan dan kezaliman. Di bawah naungan Islam, rakyat sejahtera. Bukankah hidup dalam sistem Islam yang menerapkan syariat kafah adalah pilihan terbaik?
Wallahualam bissawab.[]


Share this article via

25 Shares

0 Comment