| 21 Views
Menelisik Statement Presiden Prabowo bahwa Israel Berpeluang Diakui oleh RI Jika Palestina Merdeka

Oleh : Nina Nurhasanah
Aktivis Dakwah
Pernyataan mengejutkan datang dari Presiden Prabowo Subianto saat konferensi pers bersama Presiden Prancis Emmanual Macron di Istana Merdeka, Jakarta. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo menyatakan bahwa Indonesia siap menjalin hubungan diplomatik dengan Israel dengan syarat bahwa Palestina telah merdeka dan diakui sebagai negara oleh Israel. Presiden Prabowo menegaskan bahwa Indonesia mendukung jaminan keamanan dan kedaulatan Israel sebagai negara berdaulat, selama hak-hak Palestina dihomati dan kemerdekaannnya diakui. (CNN Indonesia, Rabu 28 Mei 2025)
Pernyataan ini menimbulkan berbagai reaksi, baik dari dalam negeri maupun komunitas Internasional. Indonesia selama ini dikenal sebagai negara yang tegas mendukung kemerdakaan Palestina dan menolak keras menjalin hubungan diplomatik dengan Israel yang dianggap penjajah atas tanah Palestina. Bagi sebagian pihak, pernyataan Prabowo ini dinilai melukai perasaan rakyat Palestina, khususnya mereka yang berada di Jalur Gaza dan masih mengalami kekerasan militer.
Dalam sejarah perjuangan umat Islam mulai dari Khalifah Umar bin Khattab, peristiwa Nakba, perjuangan Sultan Salahuddin al-Ayyubi, hingga para syuhada dalam perlawanan di Al-Aqsa, dianggap terkhianati dengan wacana normalisasi ini. Banyak yang melihat pernyataan tersebut sebagai bentuk kompromi yang justru tidak akan mengubah posisi Zionis Israel terhadap Palestina.
Selama ini, suara Indonesia dan dunia Islam sering kali diabaikan, bahkan di tingkat PBB. Langkah ini dapat dimaknai sebagai bentuk normalisasi terhadap penjajahan dan kekerasan yang dilakukan terhadap rakyat Gaza. Solusi dua negara dianggap bermasalah karena mengasumsikan pendirian negara Israel seolah-olah tidak memiliki latar belakang sejarah kekerasan dan perampasan tanah. Padahal, penderitaan rakyat Palestina masih terus berlangsung akibat penjajahan dan agresi militer yang dilakukan oleh pasukan Zionis. Fakta fakta ini tidak dapat di kesampingkan, dan menurut sebagian kalangan, mustahil untuk menerima kedaulatan Israel tanpa keadilan bagi Palestina terlebih dahulu.
Zionisme sendiri lahir dari gagasan Theodor Herzl dalam Kongres Ziones pertama di Basel tahun 1897, yang menyerukan pembentukan negara Yahudi. Namun ironisnya, banyak orang Yahudi pada masa itu justru menolak gagasan tersebut karena dianggap tidak memiliki dasar historis maupun teologis. Dalam sejarahnya, orang Yahudi tidak pernah memiliki negara dan tidak ada perintah teologis dalam ajaran mereka yang mewajibkan berdirinya negara Yahudi. Namun, Herzl tetap bersikeras membangun komunitas Zionis yang kemudian mengarah pada pendudukan wilayah Palestina hingga hari ini.
Penolakan terhadap proyek Zionis juga pernah dilakukan oleh Sultan Abdul Hamid II dari Khilafah Utsmaniyah yang menolak tawaran besar Herzyl untuk membeli tanah Palestina. Sultan Abdul Hamid menyadari bahwa Palestina bukanlah tanah kosong yang bisa diambil begitu saja. Namun setelah runtunya Khilafah, proyek Zionis berkembang pesat dan memperluas pendudukannya atas tanah Palestina secara sistematis.
Dengan melihat kenyataan ini, muncul pertanyaan penting “apakah kita harus begitu saja menerima bentuk penjajahan yang nyata dan terstruktur ini?”
Pernyataan Prabowo tentang penghapusan penjajahan justru menjadi ironis jika dalam praktiknya membuka pintu hubungan dengan pihak penjajah itu sendiri. Narasi solusi dua negara sering dianggap sebagai pengakuan terselubung terhadap keberadaan negara Israel di atas penderitaan rakyat Palestina. Apalagi, kebrutalan yang dilakukan oleh militer Israel tidak bisa dihentikan dengan kata damai. Bahasa diplomasi dianggap sudah tidak relevan karena kekerasan terus berlangsung, dan sejarah menunjukkan bahwa pihak Zionis kerap melanggar kesepakatan dan mengingkari perjanjian.
Sebagaimana difirmankan Allah SWT:
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ ثَقِفْتُمُوهُمْ وَأَخْرِجُوهُم مِّنْ حَيْثُ أَخْرَجُوكُمْ
"Perangilah mereka di mana saja kalian menjumpai mereka dan usirlah mereka dari tempat mereka telah mengusir kalian." (TQS Al-Baqarah [2]: 191)
Ayat ini dijadikan dasar oleh sebagian umat Muslim bahwa perlawanan terhadap penjajahan, termasuk dalam bentuk jihad, merupakan kewajiban. Namun jihad membutuhkan kekuatan, dan kekuatan membutuhkan persatuan. Dalam ajaran Islam, institusi pemersatu itu adalah Khilafah Islamiah.
Bantuan kemanusiaan seperti makanan, obat obatan, pembangunan rumah sakit dan sekolah tentu penting sebagai amal kebaikan. Tetapi jika hanya berhenti di sana, maka solusi itu bersifat jangka pendek. Faktanya, bantuan kemanusiaan seringkali dihalangi bahkan dihancurkan oleh serangan militer Zionis, sehingga dampaknya tidak maksimal.
Penderitaan rakyat Gaza adalah masalah besar yang menunjukkan kelemahan umat Islam secara global. Institusi seperti PBB, Liga Arab, hingga Organisasi Konferensi Islam (OKI) dinilai tidak mampu memberi tekanan yang berarti. Mereka bahkan dianggap tidak berdaya menghadapi kekuatan besar yang mendukung Zionis, seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa.
Sistem Islam dalam naungan Khilafah akan menangani masalah Palestina melalui beberapa langkah utama yaitu melalui persatuan umat Islam. Hari ini, dunia Islam terpecah, masing-masing sibuk dengan urusan dalam negerinya. Sedangkan dalam sistem Islam, semua kaum Muslim disatukan di bawah satu kepemimpinan. Ketika satu wilayah Muslim diserang, maka seluruh kekuatan umat akan digerakkan untuk membelanya. Sistem Islam tidak hanya akan memberi bantuan logistic, tetapi juga mengerahkan kekuatan militer secara langsung.
Dalam sistem ini juga, hubungan dengan negara lain tidak didasarkan pada kepentingan ekonomi semata, tetapi berdasarkan prinsip benar dan salah menurut syariat. Negara penjajah seperti Israel yang membunuh dan merampas tanah umat Islam, tidak akan didekati dengan kompromi, tetapi dihadapi dengan tegas sebagai musuh.
Dengan demikian, tidak ada solusi lain yang dianggap mampu menyelesaikan masalah Palestina selain jihad dan berdirinya kembali Khilafah Islamiah. Umat Islam perlu memiliki agenda besar untuk mengembalikan kehidupan Islam yang kuat dan bermartabat, demi membela saudara-saudara mereka di Palestina dan wilayah yang tertindas lainnya.
Wallahu a'lam bish shawab