| 25 Views

Memaknai Hari Kartini Bukan Menyaingi Laki laki

Oleh : Tri Siswoyo

Aktivis Dakwah 

Sekprov Sri wahyuni mengajak kaum perempuan bisa memaknai peringatan Hari Kartini. Itu sebagai titik balik merefleksikan peran dan kontribusi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Hal tersebut disampaikan Sri Wahyuni saat menjadi narasumber dalam program Dialog Publika di TVRI Kaltim, Senin (21/4).

“Peringatan Hari Kartini adalah ruang dan media bagi perempuan untuk menilai kembali sejauh mana kita sudah memberdayakan diri, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam wilayah otoritas kita,” ujar Sri.

Dia mengatakan semangat Kartini harus menjadi inspirasi untuk terus maju, tanpa melupakan jati diri sebagai perempuan. Sri juga menegaskan perjuangan perempuan masa kini harus dilanjutkan dengan semangat yang sama. Namun dengan cara dan tantangan yang berbeda, termasuk menghadapi derasnya arus digitalisasi.

“Kartini mewariskan semangat melalui literasi. Kini kita bisa menyalurkan semangat itu dalam berbagai bentuk media, dengan makna dan dampak yang positif. Bukan hanya simbolik mengenakan kebaya, tetapi sejauh mana kita berdaya dan memaknai peran kita," katanya.

Dalam dialog yang dipandu host, Dwi Rahma itu, Sri menyoroti pentingnya perempuan memiliki daya saing, kualitas, dan keberanian untuk mengambil peran penting, termasuk dalam sektor yang selama ini didominasi laki-laki. Perempuan kini sudah bisa menjadi pilot, menteri, bahkan presiden. Itu menunjukkan bahwa kesempatan terbuka lebar.

“Perempuan tidak perlu takut. Kita punya kemampuan untuk memberikan dampak besar di masyarakat. Setiap orang pasti memiliki kesempatan untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga, masyarakat dan bangsa,” tegasnya.

Menanggapi tantangan perempuan pada era yang semakin dinamis, Sri menekankan pentingnya ketangguhan dan kemampuan adaptasi. Dia berharap perempuan di Kaltim terus meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar tetap relevan menghadapi perubahan zaman. (Kaltimpost.id, 22/4/2025)

Hari Kartini memang selalu dijadikan ajang bagi kaum feminis gender untuk memperjuangkan kesetaraan, perempuan dituntut mempunyai pemikiran yang sama tentang kesetaraan. Para perempuan tidak menyadari bahwa ada skenario besar di balik gagasan kesetaraan gender di dunia Islam. Skenario itu berupa perang pemikiran yang dilancarkan oleh Barat untuk menjauhkan umat dari Islam dan mengokohkan hegemoni Kapitalisme global, salah satunya slogan keseteraan yang diaruskan oleh feminis gender.

Kartini Melihat Kemuliaan pada Islam

"Kami di sini memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan, bukan sekali-kali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan laki-laki dalam perjuangan hidup. Namun, karena kami yakin akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum perempuan, agar perempuan lebih cakap dalam melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam (sunatullah) sendiri dalam tangannya. Menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama". (surat RA Kartini kepada Prof Anton dan nyonya 4 Oktober 1902)

Itulah cita-cita Kartini yang sesungguhnya yang tidak mau disadari oleh pejuang emansipasi, mereka telah membajak nama Kartini sebagai legitimasi perjuangan yang disetir oleh Barat untuk mengalihkan fungsi perempuan sebagai pencetak peradaban mulia. Peran dan kontribusi perempuan dalam berbagai aspek kehidupan sudah menjadi fitrah, sebaliknya menyaingi laki laki adalah menyalahi kodrat.

Jabatan dan prestasi yang strategis menjadi kebanggaan tersendiri oleh kaum perempuan itu semua adalah bertentangan dengan Fitrah dan Agama Islam. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, wanita dibolehkan menjadi pegawai dan pimpinan swasta maupun pemerintahan yang tidak termasuk wilayâh alamri/wilâyah al-hukm antara lain sebagai kepala Baitul Mal, anggota Majelis Wilayah, anggota Majelis Ummah, qâdhi khushumât (hakim yang menyelesaikan perselisihan antar rakyat), qâdhi hisbah (hakim yang langsung menyelesaikan pengurangan atas hak-hak rakyat). Dibolehkan juga bagi wanita menjadi kepala departemen kesehatan, departemen pendidikan, departemen perindustrian, departemen perdagangan; rektor perguruan tinggi, kepala rumah sakit, direktur perusahaan; dan lain-lain.

Adapun dalam posisi sebagai hukkam wanita tidak dibolehkan menduduki jabatan tersebut, antara lain: Khalifah (Kepala Negara Khilafah), Mu’awin (Pembantu Khalifah), Wali (Gubernur), Qadi qudat (Pemimpim para qâdhi/ hakim), Qâdhi Mazhâlim (Qâdhi/Hakim yang mempunyai kewajiban menghilangkan kezaliman, termasuk memecat Khalifah jika melakukan kezaliman kepada rakyat atau menyalahi al-Quran dan al-Hadis).

Imam Mawardi dalam kitab Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah  menyebutkan pendapat Abu Hanifah bahwa semua jabatan pemerintahan tidak boleh dijabat oleh wanita, namun wanita boleh menjabat sebagai hakim yang memutus perkara-perkara yang dia dibenarkan menjadi saksi di dalamnya. Sebaliknya, dia tidak boleh menjadi hakim yang memutus perkara-perkara yang dia tidak dibolehkan menjadi saksi didalamnya.

Menurut Muhammad bin Ahmad  Ismail al Qadir, Al-Mar’ah bayna Takrîm al-Islâm wa Ihânah al-Jâhiliyah, wanita tidak dibolehkan menjabat khalifah (kepala negara). Alasannya, kepala negara dalam Islam adalah  pemimpin masyarakat, pemimpin para intelektual dan cendekiawan baik Muslim maupun Muslimah.

Khalifah pun mempunyai wewenang mengumumkan perang kepada musuh, memimpin pasukan di medan perang, dan memutuskan perselisihan-perselisihan yang terjadi di antara masyarakat. Kepala negara dalam Islam adalah juga orang yang mempunyai wewenang dan paling layak untuk menjadi imam dan khatib Jumat. Tidak bisa dipungkiri bahwa tugas-tugas tersebut tidak sesuai dengan tabiat wanita. 

Karena itu posisi kepala negara atau posisi hukkam tidak dibolehkan bagi wanita.  Dari  Abi Bakrah berkata bahwa Nabi S.A.W. bersabda tentang negeri Persia yang dipimpin oleh putri Kisra: Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang urusannya diserahkan kepada wanita (HR al-Bukhari).


Share this article via

19 Shares

0 Comment