| 3 Views
Matinya Rasa Kemanusiaan, Buah Dari Sistem Kapitalisme

Oleh: Ummu Haziq
Muslimah Ngaji
Di Gaza, senjata tak selalu berbentuk peluru dan bom. Kini, senjata itu bernama kelaparan. Dan sayangnya, ia digunakan dengan sangat sistematis dan terencana. Satu demi satu, anak-anak meregang nyawa bukan karena serangan udara, tetapi karena perut kosong yang tak lagi bisa bertahan. Zionis Israel telah menjadikan lapar sebagai alat genosida baru, senjata yang sunyi namun mematikan.
Sejak peningkatan serangan militer Israel pada Oktober 2023, Gaza menghadapi blokade menyeluruh yang memutus pasokan listrik, air bersih, dan bahan bakar, serta merusak sistem logistik dan distribusi makanan. Akibatnya, pasar-pasar mengalami kelangkaan barang, harga kebutuhan pokok meroket, dan bantuan kemanusiaan tertahan di perbatasan, sebagian di antaranya dihancurkan atau tidak diizinkan masuk
Baru-baru ini, pesawat Israel tanpa awak / drone menyerang warga Palestina sejak fajar telah menewaskan 86 orang termasuk 56 orang di dekat pusat distribusi bantuan AS, di Jalur Gaza. Berdasarkan laporan Al Jazeera sebanyak 27 pencari bantuan ditembak mati oleh militer Israel di Rafah pada Selasa, 25 Juni 2025. Kepala Badan Bantuan dan Pekerjaan Perserikatan Bangsa-bangsa untuk Pengungsi Palestina (UNWRA) menyebut lokasi itu sebagai "perangkap maut". (tempo.co, 25-06-2025)
Otoritas militer Israel mengeluarkan larangan bagi warga Palestina di Jalur Gaza untuk mendekati pusat distribusi bantuan. Juru bicara militer Israel, Avichay Adraee, mengimbau agar masyarakat Gaza mengikuti informasi resmi dari Yayasan Kemanusiaan Gaza (GHF). Pusat bantuan ditutup hari Rabu. Penutupan dilakukan sehari setelah militer Israel dilaporkan menyerang warga Palestina yang tengah menunggu bantuan. Serangan tersebut menewaskan 27 orang. (beritasatu.com, 4-06-2025)
Melihat fenomena penyerangan Israel pada warga Gaza saat menunggu bantuan merupakan saksi atas matinya rasa kemanusiaan yang melanda Gaza. Sementara itu kelaparan melanda Gaza. Karena itu menjadi pertanyaan besar pula atas diamnya para penguasa Arab dan penguasa muslim di berbagai negara. Diamnya penguasa Arab merupakan sebuah pengkhianatan atas muslim Palestina. Mereka menyaksikan ketika bayi-bayi yang masih merah dibunuh. Sebab bagi zionis, dosa mereka adalah karena mereka bayi Muslim keturunan Palestina. Muslim Palestina merupakan musuh yang harus dimusnahkan.
Karena itu Zionis menjadikan kelaparan sebagai senjata untuk membunuh secara pelan-pelan generasi Palestina. Bahkan saat hari raya Iduladha serangan pun kian membabi buta. Sedikitnya 17 meninggal dunia akibat serangan udara dan tembakan militer Israel di wilayah selatan Jalur Gaza. Namun, penguasa besar dunia diam. Bahkan Penguasa muslim sibuk beretorika tanpa tindakan nyata dengan mengirimkan pasukan untuk mengusir penjajah. Mereka diam meski rasa kemanusiaan terkoyak. Padahal rasa kemanusiaan merupakan fitrah yang ada pada diri manusia untuk menolong sesamanya apalagi ketika melihat bayi yang lemah tak berdaya. Telah nyata rasa kemanusiaan para penguasa telah mati. Seiring dengan matinya rasa kemanusiaan, pun menunjukkan matinya sifat dasar manusia.
Matinya rasa kemanusiaan sejatinya adalah buah dari sistem kapitalisme sekuler. Kapitalisme sekuler mengagungkan nilai materi dan rasa superior yang disertai dengan kebencian atas manusia lain. Penindasan terhadap suatu kaum atas nama agama dan kepentingan politik untuk menguasai merupakan tabiat manusia yang rakus dan tamak. Akhirnya kaum lemah mudah ditindas bahkan dimusnahkan agar dapat menguasai. Bentuk penjajahan sistem kapitalisme telah merusak tatanan hidup manusia dan alam. Penjajahan zionis yang kejam ditunjukkan dengan matinya rasa kemanusiaan. Namun herannya, kekejaman yang begitu rupa tak mengusik nurani para pemimpin Muslim bahkan di negeri ini.
Gaza hari ini bukan hanya soal penjajahan brutal. Ia merupakan potret buram dari kerusakan sistem global yang selama ini dibangun di atas pijakan rapuh bernama kapitalisme. Sebuah sistem yang menjadikan kepentingan dan keuntungan sebagai nilai tertinggi, mengesampingkan keadilan, mengabaikan kemanusiaan
Kapitalisme tidak menjadikan kebenaran sebagai tolok ukur, melainkan semata-mata keuntungan. Selama tragedi kemanusiaan di Gaza tak memberikan nilai ekonomi atau kepentingan strategis, penderitaan itu akan terus dibiarkan. Sebaliknya, rezim penjajah yang menawarkan peluang bisnis dan kerjasama politik justru terus didukung, meski secara nyata melanggar hukum internasional.
Dalam sistem kapitalisme, keadilan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. Hak hidup anak-anak Palestina dikorbankan demi kepentingan lobi industri senjata dan ambisi bisnis di sektor energi. Kebenaran pun dibentuk oleh narasi media yang tunduk pada kendali korporasi dan negara-negara besar. Gaza bukan sekadar wilayah yang dijajah, melainkan cerminan runtuhnya sistem global yang mengagungkan materi dan mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan.
Tragedi di Gaza mencerminkan dunia yang telah kehilangan arah dan ruh moral. Kapitalisme menempatkan akal manusia yang terbatas sebagai penentu utama, sementara wahyu dan nilai-nilai ilahiah disingkirkan. Hasilnya adalah tatanan dunia yang sarat ketidakadilan, krisis kemanusiaan tanpa henti, dan eksploitasi yang terus berulang.
Berbeda dengan Islam yang tidak semata-mata sebagai agama yang mengatur urusan spiritual dan ibadah, tetapi juga merupakan sebuah din dan mabda’ yaitu sebuah ideologi menyeluruh yang mencakup seluruh sisi kehidupan. Saat diterapkan secara total dalam bentuk institusi politik bernama Khilafah, Islam telah terbukti mampu menyatukan umat, membebaskan wilayah-wilayah yang tertindas, dan melindungi kehormatan kaum Muslimin.
Sejarah mencatat, ketika seorang wanita Muslimah diganggu di wilayah Romawi, Khalifah menurunkan pasukan untuk membebaskannya. Bandingkan dengan hari ini, disaat ribuan Muslimah Gaza dibantai, para pemimpin negeri Muslim justru tunduk di hadapan negara-negara penjajah
Hanya dengan ideologi Islam, umat memiliki visi yang utuh dengan menjadikan syariat Allah sebagai satu-satunya sumber hukum, mempersatukan negeri-negeri Muslim, dan menjadikan Khilafah sebagai institusi yang bertanggung jawab menjaga, melindungi, dan membebaskan kaum Muslimin dari penindasan.
Islam sebagai ideologi bukanlah wacana utopis. Ia pernah hadir dalam sejarah dan terbukti mewujudkan keadilan dan kesejahteraan, bukan hanya untuk Muslim, tetapi juga untuk non-Muslim. Dalam Khilafah, warga non-Muslim (dzimmi) hidup aman, haknya dilindungi, dan kehormatannya dijaga.
Dalam peperangan, Islam memiliki etika yang tinggi, tidak boleh membunuh anak-anak, wanita, orang tua, atau merusak tempat ibadah.
Gaza memanggil kita untuk kembali kepada jalan ini bukan sekadar solusi instan, tapi solusi ideologis yang menyeluruh. Saatnya umat Islam mencampakkan ideologi-ideologi buatan manusia yang gagal menyelesaikan problem dunia.
Sudah waktunya umat Islam bersatu dalam barisan dakwah dan perjuangan politik demi menegakkan kembali sistem Islam yang akan menjadi pelindung sejati umat. Khilafah tidak akan lahir dari kekosongan, apalagi sekadar doa tanpa arah, Ia membutuhkan infrastruktur perjuangan yang terorganisir, konsisten, dan berbasis ideologi Islam yang murni. Di sinilah peran strategis partai politik ideologis Islam menjadi sangat krusial.
Berbeda dengan partai politik pragmatis yang hanya mengejar kekuasaan dan elektabilitas, partai politik ideologis Islam memiliki misi suci untuk mewujudkan perubahan sistemik menuju penerapan Islam secara kaffah. Tugas mereka adalah mendidik umat, menyatukan visi perjuangan, mengoreksi penguasa yang menyimpang, dan menyiapkan kepemimpinan Islam global.
Jika kesadaran politik umat telah terbentuk, maka kebangkitan Islam hanyalah persoalan waktu. Dan saat Khilafah tegak kembali, ia akan menyatukan negeri-negeri Muslim, menjadi perisai rakyat Gaza, dan membebaskan Palestina dengan langkah nyata mengirim pasukan, mengusir penjajah, menjatuhkan sanksi, serta mengembalikan bumi suci itu ke pelukan umat. Bukan dalam retorika, tapi dalam aksi geopolitik yang nyata dan efektif.
Karena hanya ketika Islam ditegakkan sebagai ideologi hidup bukan hanya dijadikan identitas budaya atau spiritual barulah umat Islam akan kembali memimpin dunia. Gaza tidak menanti kecaman, tapi kekuatan. Dan kekuatan itu hanya bisa lahir jika umat kembali menjadikan Islam sebagai ideologi dan Khilafah sebagai institusi global.
Wallahua’lam bissawab