| 199 Views
Mandulnya Hukum di Indonesia Bagi Para Koruptor

Oleh : Ummu Fahri
Aktivis Muslimah
Penanganan korupsi di negeri ini tampak tidak serius. Hal ini terlihat dari beberapa kasus korupsi yang tengah viral. Kasus yang pertama adalah dugaan korupsi impor gula yang menjerat Tom Lembong menjadi tersangka. Ia diduga memberikan izin persetujuan impor gula kristal mentah sebanyak 105.000 ton ketika menjadi Menteri Perdagangan pada 2015—2016. Akibat kebijakannya, negara dirugikan Rp400 miliar.
Adapun kasus yang kedua adalah dugaan gratifikasi terhadap Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dalam kasus pemberian fasilitas jet pribadi. KPK menyatakan pemberian fasilitas kepada putra bungsu Jokowi itu bukanlah gratifikasi karena Kaesang bukan penyelenggara negara. Ia terpisah dari orang tuanya. Selain itu, fasilitas tersebut hanya berupa jasa yang langsung dinikmati oleh Kaesang, bukan barang atau bentuk gratifikasi lainnya yang memengaruhi kebijakan negara.
Merajalelanya korupsi tidak bisa dipisahkan dari sistem yang digunakan untuk mengatur kehidupan hari ini. Adapun beberapa poin mengapa korupsi sudah menjadi hal yang lumrah dalam sistem sekularisme.
Pertama, dalam sistem kapitalisme, korupsi memang terbuka luas. Peraturan perundang-undangan korupsi justru mempermudah timbulnya korupsi. Sanksi hukum yang terlalu ringan, penerapan sanksi yang tidak konsisten, serta lemahnya evaluasi dan revisi perundang-undangan, menjadi pintu masuk untuk melakukan korupsi.
Kedua, korupsi sudah menjadi budaya. Kerusakan sistem politik dan pemerintahan yang ada mengakibatkan korupsi membudaya. Sistem politik demokrasi dengan biaya mahal, membuka lebar pintu korupsi dengan nominal besar yang merugikan negara. Adanya mahar politik adalah suatu keniscayaan dalam demokrasi. Besarnya mahar menuntut untuk balik modal saat berkuasa.
Ketiga, lemahnya integritas individu. Mereka hanya menjadikan dunia sebagai tujuan, maka hidupnya penuh dengan upaya meraih keuntungan. Maka, lahirlah sosok pribadi yang tamak dan serakah demi meraih ambisi dengan cara haram.
Sekularisme, memisahkan urusan agama dan dunia menjadi rujukan dalam menjalankan kehidupan. Sehingga agama tidak menjadi sudut pandang seseorang dalam berpikir dan bertindak. Agama dibatasi dalam ruang ritual peribadatan. Tidak boleh menjadi petunjuk dan mewarnai perilaku seseorang. Agama dipelajari di sekolah hingga perguruan tinggi, tetapi tidak mampu dan tidak diwujudkan dalam perilaku sehari-hari.
Sementara pola hidup yang jauh dari agama dipromosikan setiap hari melalui berbagai media massa, baik cetak maupun elektronik. Yakni gaya hidup hedonis. Istilah hedonisme berasal dari Yunani. Berawal dari sebuah pertanyaan seorang filsuf Yunani bernama Socrates kepada muridnya, Aristippos mengenai tujuan hidup manusia. Menurut Aristippos tujuan hidup manusia yang paling baik adalah kesenangan. Dalam perkembangannya, hedonisme adalah konsep bahwa tujuan hidup manusia adalah kesenangan dan kepuasan tanpa batas.
Ruang-ruang publik hari ini dipenuhi dengan konten hedonisme. Dikonsumsi berbagai kalangan masyarakat, dari tingkat ekonomi tinggi hingga rendah. Dari level birokrat hingga buruh bayaran. Hedonisme melahirkan kelas-kelas di masyarakat, ketika seseorang dinilai dari apa yang dipunya dan dipakai. Jika tidak mengikuti gaya hidup hedonis tidak akan bisa memasuki kelas sosial tertentu.
Sistem sekuler kapitalis hanya menyuburkan para pelaku korupsi, begitu pun dengan vonis yang di dapat tidak mengefek jerah bagi para pelakunya, sebut saja kasus korupsi yang menimpa artis ternama SD yang merugikan negara kurleb 300 triliun, hanya di vonis 6,5 tahun penjara karena berkelakuan baik dan punya keluarga. Miris, inilah bobroknya sistem kapitalisme.
Berbeda halnya dengan Islam yang sangat melarang adanya korupsi. Tidak berhenti hanya pada tataran konsep, Islam menyelesaikan korupsi secara konkret dengan menutup semua celah korupsi. Secara asasi, sistem Islam membentuk akidah Islam pada diri setiap rakyat melalui sistem pendidikan, halaqah para ulama, dakwah para dai, dan konten Islami di media massa maupun media sosial. Dengan demikian akan terwujud self control pada diri umat Islam untuk selalu taat pada syariat dan menjauhi kemaksiatan yang salah satunya adalah korupsi.
Pada saat yang sama, sistem Islam (Khilafah) menjalankan sistem perekrutan pegawai dan pejabat negara sesuai syariat, yaitu hanya orang adil yang akan direkrut. Sedangkan orang fasik (gemar maksiat, termasuk suka berbuat korup) akan dilarang menjadi pegawai atau pejabat negara.
Khilafah juga akan rutin menghitung harta kekayaan para pejabat dan membandingkan antara sebelum dan sesudah menjabat. Jika ada kenaikan jumlah harta secara tidak wajar, ia diminta mempertanggungjawabkan asal harta tersebut. Jika ia tidak mampu mempertanggungjawabkan asal usul hartanya. Apabila terjadi tindakan korupsi, hartanya akan disita oleh negara dan dimasukkan ke baitulmal. Begitu juga dengan sanksi yang tegas agar ada efek jera bagi para koruptor.
Wallahu'alam bishowwab