| 600 Views
Makan Bergizi Gratis, Siapa Yang Untung?

Oleh : Wakini
Aktivis Muslimah
Program unggulan Presiden terpilih Prabowo Subianto yakni makan bergizi gratis telah resmi masuk dalam anggaran Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Hal ini pun menjadi perhatian para investor dalam negeri, karena akan membawa dampak positif terhadap beberapa sektor di dalam negeri.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengalokasikan anggaran program makan bergizi gratis sebesar Rp71 triliun dalam RAPBN 2025. Namun, kementerian yang mendapatkan mandat untuk menyalurkan diserahkan kepada Prabowo Subianto.
Dalam hal ini, cita-cita presiden terpilih Prabowo Subianto yang dengan kerasnya menyuarakan tentang makan gratis untuk para siswa menjadi perbincangan publik yang dirasa cukup panjang dibicarakan. Yang mana isu ini tak habis dibicarakan selama kampanye saja melainkan sampai saat ini, bahkan sepertinya akan berlanjut sampai Prabowo Subianto mengeban pemerintahan nanti.
Makan siang gratis yang berubah nama menjadi makan bergizi gratis, menjadi serius dibicarakan karena dalam hal ini Prabowo menyatakan bahwa program tersebut merupakan suatu program unggulan yang akan dilaksanakan dalam masa pemerintahannya, menjadi fokus utama dan harus dijalankan sebaik-baiknya.
Progam makan bergizi gratis sebagai progam pemerintah dalam memperbaiki kualitas gizi anak Indonesia. Tapi dibalik itu ada unsur ‘ada udang di balik batu’. Alih-alih membuat progam perbaikan gizi anak-anak, ada unsur bagi-bagi keuntungan kepada pihak swasta yang bekerjasama dengan pemerintah dalam menjalankan progam ini. Pemerintah mengimpor 1,3 juta sapi hidup, haruskah ini dilakukan di Indonesia? Sebagai negara muslim yang terbanyak di dunia sepertinya agak janggal jika pemerintah memang harus mengimpor sapi sebanyak 1,3 juta.
Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik J Rachbini, menyarankan agar pemerintah mendesentralisasikan pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada usaha mikro, kecil dan menengah di daerah. Tidak hanya itu, meski anggaran yang dialokasikan untuk program andalan Presiden Terpilih, Prabowo Subianto itu berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), pelibatan pemerintah daerah juga dapat mengurangi potensi diintervensinya pelaksanaan program MBG oleh ‘bandit-bandit’ atau pihak yang hanya mengambil untung. (tirto.id, 21/10/24).
Di sisi lain, program MBG juga diperkirakan akan meningkatkan impor, terutama bahan pangan karena Indonesia belum dapat mencukupi kebutuhan sendiri. Meski demikian, ia berharap agar pengadaan pasokan bahan pangan tidak pemerintah serahkan kepada pengusaha asing. Hal itu cukup beralasan mengingat pernyataan Wamentan Sudaryono pada akhir masa pemerintahan Jokowi, bahwa untuk memenuhi kebutuhan susu dan daging, Indonesia memberikan peluang bagi sektor swasta untuk mengimpor sapi hidup. Ia juga menyatakan bahwa ada sekitar 46 perusahaan lokal dan internasional yang berkomitmen untuk mengimpor 1,3 juta ekor sapi. Meskipun tidak disebutkan secara detail, terlihat bahwa 46 perusahaan akan bekerja sama untuk kesuksesan MBG.
Program ini juga akan melibatkan penggunaan barang dan jasa dari sektor pertanian dan perkebunan, barang konsumsi (untuk makanan olahan seperti bumbu dapur dan pendukungnya), susu olahan, barang nonsiklikal seperti beras, hingga logistik berupa pengiriman bahan baku makanan. Dalam rantai pengolahan hingga pendistribusian yang melibatkan banyak pihak ini, muncul pertanyaan kritis, siapa yang diuntungkan dari program MBG ini, rakyat atau pebisnis?
Meski berkilah bahwa sumber pembiayaan murni dari APBN, tetapi tahapan implementasi program ini makin tampak melibatkan swasta. Ini menguatkan dugaan bahwa perbaikan gizi anak sekolah melalui MBG hanyalah klaim yang sejatinya membuka pintu masuknya para pebisnis.
Sebagai pemasok bahan baku, tentu saja pihak swasta memperoleh pasar yang baru. Meski pemerintah mengungkap bahwa program tersebut berpotensi membuka lapangan kerja, proses rekrutmen SDM yang perusahaan butuhkan hingga penentuan upah pekerja tetap dikembalikan ke pihak swasta. Artinya, penentuan rekrutmen pekerja hingga upah tenaga kerja akan mengikuti ritme bisnis ala kapitalis yang berorientasi pada profit/keuntungan.
Niat untuk membuka lapangan kerja melalui program ini seakan-akan blunder. Alih-alih menyelesaikan pengangguran yang merebak, menyerahkan permasalahan ini kepada pihak swasta tidak lain hanyalah upaya cuci tangan pemerintah dalam menyelesaikan peliknya permasalahan pengangguran di Tanah Air. Masuknya swasta dalam program pemerintah ini menunjukkan bahwa MBG tidak lebih sebagai ruang bisnis bagi segelintir orang. Cita-cita mewujudkan generasi sehat nyatanya belum mampu diwujudkan pemerintah secara mandiri.
Kebijakan ini tak lepas dari kegagalan sistem Kapitalisme, alih-alih memenuhi kebutuhan gizi bagi rakyatnya namun tidak ada kemandirian dalam menjaga kestabilan pangan sehingga impor sebagai solusi. Sangat jauh berbeda dengan Islam dalam mengatasi berbagai problem yang di timbulkan dari Kapitalisme demokrasi termasuk masalah kesehatan dan kecukupan gizi generasinya. Islam memiliki solusi yang menyeluruh dan menyentuh akar dari masalah yang dihadapi. Masalah kecukupan gizi ataupun pencegahan stunting tidak bisa diatasi hanya sekedar memberikan makan gratis ataupun bantuan bahan makanan karena kebutuhan ini sifatnya kontinyu. Untuk itu Islam menjamin kebutuhan pangan, sandang dan papan rakyat melalui mekanisme tidak langsung dengan penyediaan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Kebutuhan kolektif seperti pendidikan, kesehatan, transportasi, dan lainnya.
Wallahu a'lam bishowwab