| 381 Views

Mahalnya UKT, Imbas Visi Pendidikan tidak Jelas

Oleh : Ummu Aqilla
Aktivis Dakwah

Mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia menjadi sorotan publik dan membuat para calon -calon mahasiswa resah dan bingung menghadapi (UKT) yang begitu mahal. Pasalnya komisi X DPR RI menggelar rapat kerja bersama Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim untuk membahas kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di perguruan tinggi negeri yang menuai polemik belakangan ini. Dalam rapat yang berlangsung pada Selasa, (21/5/2024) itu Nadiem dan jajarannya menjelaskan mengenai Peraturan Mendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yang disebut sebagai pangkal masalah kenaikan UKT.

Nadiem mengatakan Permendikbud 2/2024 hanya berlaku untuk mahasiswa baru alias maba. Dia mengatakan tingkatan UKT yang diatur dalam Permendikbud tersebut tidak akan berlaku untuk mahasiswa lama yang sudah berkuliah sebelum aturan itu diterbitkan. Jadi Permendikbud ini, peraturan UKT baru ini hanya berlaku kepada mahasiswa baru, tidak berlaku untuk mahasiswa yang sudah belajar di perguruan tinggi," kata Nadiem. Akibat dari kebijakan baru ini, munculnya berbagai protes berupa demo akan kenaikan UKT yang digelar di beberapa daerah di Indonesia.

Pasalnya kenaikan UKT kuliah ini sudah bisa dikatakan sangat gila-gilaan. Apalagi saat ini juga bahan-bahan pokok masih di angka tinggi sehingga banyak keluarga yang terjebak dengan kondisi yang tidak baik ini. UKT yang kian hari kian melejit, diprotes banyak mahasiswa PTN. Protes mengenai UKT mahal ini pun diperkeruh dengan respons dari pihak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).

Awal tahun 2024 publik riuh dengan pemberitaan pinjaman onlain untuk pembayaran UKT mahasiswa IFB kini publik tersakiti kembali dengan ucapan sekretaris derektorat jendral Pendidikan tinggi yang menyatakan bahwa Pendidikan tinggi adalah kebutuhan tresier. Bukankah berarti PT sangat eksklusif karena diperuntukkan bagi orang- yang mampu saja? lantas dimana letak keadilan dan inklusivitasnya? sedangkan menurut surve angkatan kerja nasional (akernas)2021,hanya ada8,31% penduduk Indonesia yang mengenyam pendidikan level S1dan S3. Ini juga yang kemudian membuat sistem pendidikan hingga hari ini tidak baik-baik saja, karena paham sistem kapatalisme-sekulerisme selalu mengutamakan materi untuk diri sendiri (para penguasa) tanpa mau memikirkan kemaslahatan bagi umat (rakyat).

Kemudian daripada itu pemerintah bukannya berperan untuk mencerdaskan kehidupan berbangsa melainkan pemerintah malah menyusahkan kehidupan berbangsa demi kepentingan pribadi, dengan UKT yang terbilang mencekik para calon mahasiswa(i) yang kerap mengkhawatirkan biaya. Jangan sampai karena hal tersebut, ada mahasiswa yang tidak bisa kuliah karena kesulitan UKT. Ini yang kemudian menjadi salah satu penunjang serta problem cacatnya dunia pendidikan kita hari ini.

Dalam masalah ini, setidaknya sudah ada tujuh platform yang menyediakan layanan pinjaman terhadap mahasiswa. Beberapa di antaranya adalah Danacita, Briguna Pendidikan Bank BRI, EduFund, CICIL, Mandiri, Koin Pintar (Koin Work), dan DANAdidik. Solusi dengan menggunakan pinjaman daring sebagai opsi sesungguhnya solusi yang tidak arif secara umum. Ini berisiko menambah jumlah kredit macet dari kalangan usia muda. Sejauh ini, berdasarkan laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tren kredit macet pinjaman daring didominasi oleh kalangan anak muda, yaitu yang berusia 19 tahun hingga 34 tahun.

Menolong atau Mencari Kesempatan?

Bagi lembaga keuangan seperti platform keuangan digital atau perbankan, mahasiswa merupakan sasaran empuk. Meskipun tidak semua mahasiswa berpenghasilan, lembaga keuangan itu selalu pintar mencari celah. Mereka menawarkan pinjaman dengan berbagai keunggulan. Lembaga tersebut berharap akan mendapatkan imbalan dari jasa pinjamannya. Inilah pola pikir bisnis zaman sekarang. Kesempatan apa pun tidak akan dilewatkan untuk mendapatkan cuan.

Tingginya pembiayaan kuliah ini juga menyebabkan generasi muda saat ini memilih bekerja. Mereka berpikir, buat apa kuliah susah dan mahal jika tidak menjamin langsung dapat kerja. Apalagi pemerintah juga mengarahkan lebih banyak sekolah kejuruan agar lulusannya bisa langsung kerja. Hal ini wajar saja terjadi karena orientasi pendidikan saat ini adalah materi, mengenyam pendidikan pun demi mendapatkan pekerjaan. Semua masalah ini membuktikan bahwa sistem pendidikan yang ada sekarang telah gagal mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sedangkan dalam demokrasi kapitalis ranah pendidikan diukur dengan untung rugi maka rugi kalau tak dijual dengan harga tinggi, dalam kapitalisme harta umat tersebut diserahkan kepada perusahaan swasta. Para kapitalistik akhirnya pendidikan menjadi komunitas jualan sebagai komoditas jual beli dalam negri kapitalis tife buruh seperti negri iq 78 pendidikan perguruan tinggi dianggap kebutuhan tersier maka rakyat wajib membayar dengan harga tinggi.

Terlepas dari itu, yang sudah pasti rezim negara demokrasi dan wakil rakyat yang sejatinya tidak mewakili rakyat itu bersepakat membuat undang-undang untuk melegalkan kampus memungut duit dari mahasiswanya guna membiaya pendidikan di kampus. Kalau kampus swasta sih masih kebayang, tetapi ini malah kampus negeri. Dalam negara demokrasi, yang harus membayarnya adalah rakyat, baik secara langsung dengan membayar uang kuliah yang begitu mahal, yang disebut UKT, maupun dari rakyat secara tidak langsung dengan membayar pajak barang dan jasa.

Alokasi APBN untuk pendidikan yang hanya 20%, tidak sanggup membiayai biaya operasional pendidikan secara keseluruhan. Alih-alih mencari dana, negara malah menyerahkan dana pendidikan pada masing-masing kampus atas nama otonomi kampus. Alhasil, industri kian masuk pada kampus dan UKT kian tinggi. Namun demikian, wajar jika negara selalu saja defisit sebab tata kelolanya yang kapitalistik. Dikatakan kapitalistik sebab negara membolehkan siapa pun mengelola SDA, padahal SDA merupakan sumber pemasukan negara yang melimpah, yang jika dikelola sendiri, kebutuhan hidup rakyatnya akan sangat bisa terpenuhi, termasuk kebutuhan akan pendidikannya.

Ini lebih dari sekedar sulitnya anak bangsa mendapatkan pendidikan yang murah. Kapitalisasi pendidikan juga menjadikan pendidikan kian salah arah dan penjajahan kian masuk ke dalam urat nadi. Anak bangsa hanya diproyeksikan sebagai buruh murah bagi perusahaan raksasa milik para pemodal. Begitu pun yang bersekolah tinggi, paradigma kapitalistik yang sukses diinjeksikan, menjadikan mereka bungkam saat kekayaan negaranya dirampas oleh asing. Akhirnya, mereka sekadar mengabdikan ilmunya pada cuan dan perolehan kesenangan dunia. 

Inilah potret buram SDM yang lahir dari rahim sistem pendidikan kapitalisme. Kebanyakan mereka berujung menghamba pada uang, tidak peduli nasib sesamanya. Ini pula yang makin memperlihatkan buruknya tata kelola negara berlandaskan demokrasi kapitalisme, penguasanya abai terhadap nasib rakyatnya. Mereka tidak acuh terhadap rakyatnya yang dilanda kebodohan dan kemiskinan.

Di dalam Islam, negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak, termasuk untuk membiayai pendidikan warganya. Pasalnya, Islam sudah menetapkan sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan hukum syariah  Artinya, individu rakyat membiayai dirinya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Harta yang dikeluarkan untuk meraih ilmu akan menjadi pahala besar. Nabi saw bersabda:

مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَطْلُبُ فِيْهِ عِلْمًا سَلَكَ اللهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَى الْـجَنَّةِ

Siapa saja yang menempuh jalan untuk meraih ilmu, maka Allah memudahkan bagi dirinya jalan menuju surga (HR Ahmad).

Sedangkan dalam negara Islam Khilafah, bandingnya, biaya pendidikan bukan diambil dari itu semua, tetapi dari milkiyyah ammah dan pos pendapatan negara lainnya yang sudah barang tentu bukan dari pajak barang dan jasa karena itu haram hukumnya.

Jadi, rakyat sama sekali tidak dibebani untuk membiaya pendidikan. Namun, Islam juga memberikan kesempatan bagi rakyat yang muslim untuk berkontribusi harta di dunia pendidikan, tapi sifatnya hanya sunah, tidak sampai wajib. Kontribusi itu disebut wakaf dan sedekah.

Pendidikan dalam Islam
Islam memiliki konsep sendiri dalam menyelenggarakan pendidikan. Islam memandang bahwa pendidikan merupakan kebutuhan dasar rakyat. Sudah menjadi kewajiban negara memenuhi tanggung jawabnya. Cara negara menjalankan tanggung jawab adalah menyelenggarakan pendidikan sesuai syariat.

Dengan demikian, hanya Islam yang dapat memberikan pelayanan pendidikan terbaik untuk masyarakat. Islam akan mengoptimalkan pembiayaan negara terlebih dahulu agar kegiatan pendidikan terus berjalan, sedangkan PT bisa berkonsentrasi pada tugas utamanya tanpa dihantui rasa waswas dan bersalah.

Islam memiliki pengelolaan keuangan yang cukup untuk membiayai kebutuhan dasar masyarakat, termasuk pendidikan. Oleh karena itu, dalam Islam, pendidikan itu akan diberikan secara merata. Negara tidak memandang kaya atau miskin, setiap masyarakat akan mendapatkan pelayanan pendidikan gratis. Mereka tidak perlu berpikir dari mana memperoleh uang untuk membayar UKT. Mereka dapat konsentrasi menuntut ilmu dan menyiapkan diri untuk mengamalkan ilmunya.

Maka dari itu umat muslim harus berfikiran jernih selain tuntutan keimanan penegakkan khilafah itu perupakan fardukifayah menegakkannya merupakan solusi praktis atas berbagai masalah kehidupan saat ini termasuk dalam pembiyayaan pendidikan saat ini.

Mahasiswa dan umat secara keseluruhan juga harus terus berjuang menerapkan syariat Islam Kaffah dalam bingkai khilafah. Sistem inilah yang akan menciptakan kehidupan yang bebas dari kebodohan dan kemiskinan, serta melahirkan generasi emas pembangun peradaban mulia.


Share this article via

85 Shares

0 Comment